Pengakuan Hak Masyarakat Adat Dalam Keadilan Pembangunan

Orang Rimba menerima bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19. Foto: ID COMM
Orang Rimba menerima bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19. Foto: ID COMM

TROPIS.CO, JAKARTA – Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus harus menjadi momentum untuk mengingatkan kembali pentingnya perlindungan untuk masyarakat adat bagi kelangsungan keanekaragaman alam kita.

Praktik-praktik pembangunan ekonomi berbasis lahan dan hutan serta pembangunan infrastruktur yang kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem menjadi ancaman serius bagi eksistensi masyarakat adat.

Emil Kleden, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) mengatakan, negara memiliki peran penting dalam menjamin perlindungan menyeluruh bagi masyarakat adat, tidak hanya berdasarkan status politiknya saja, melainkan terutama dalam konteks realitas sosio dan legal mereka.

“Keluhan kelompok-kelompok yang menyebut diri mereka sebagai masyarakat adat atau yang oleh negara disebut sebagai masyarakat hukum adat ini pada dasarnya sama, yakni diskriminasi, hutan dan tanah mereka hilang, dan isu-isu keadilan dalam pembangunan lainnya,” kata Emil dalam keterangan persnya, Jumat (6/8/2021).

Negara, lanjut Emil, memiliki kewajiban yang diatur Pasal 18B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“Hutan, tanah dan alam sekitar adalah basis material bagi masyarakat hukum adat untuk melangsungkan kehidupan ekonomi, spiritual dan kulturalnya.”

“Jika akses pada alam ditutup akibat hak pengelolaannya diberikan kepada pihak ketiga, maka eksistensi masyarakat adat terancam akan hilang.”

“Untuk itu peran negara di sini sangat penting,” kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL).

Perjalanan untuk memperjuangkan hak masyarakat memiliki banyak tantangan dan harus melewati proses yang panjang.

Riche Rahma Dewita, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyebut para pemangku kepentingan perlu menyamakan definisi perihal hak masyarakat adat terlebih dahulu sebelum menyusun kebijakan terkait.

Pertama, memahami kearifan masyarakat lokal dan nilai-nilai adat yang berlaku.

Kedua, memahami interaksi yang terjadi di dalam masyarakat lokal tersebut.

Ketiga, membangun gagasan bersama untuk membuat sebuah model pengelolaan hutan serta manfaatnya bagi semua pihak.

Terakhir, mendiskusikan gagasan tersebut secara terintegrasi di antara pusat dan daerah.

“Pada prinsipnya, kami berupaya mendorong pemerintah untuk mendukung kearifan masyarakat yang sudah berkembang dalam mengelola sumber daya mereka.”

“Pada prinsipnya pengelolaan sumber daya dilakukan masyarakat akan memberi dampak positif secara ekologi, ekonomi dan sosial dan ini sekaligus perbaikan tata kelola sumber daya alam secara keseluruhan,” kata Riche.

KKI Warsi yang telah terlibat dalam pendampingan masyarakat di sekitar hutan sejak tahun 1991 menilai bahwa praktik hidup masyarakat adat sangat penting untuk menyelamatkan hutan dan keanekaragaman hayati.