Bukan Food Estate, Pemberdayaan Keanekaragaman Pangan Lokal Solusi Hadapi Ancaman Krisis

Jika hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan mempengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di banyak tempat lainnya. Foto: Instagram @nyndaa_
Jika hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan mempengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di banyak tempat lainnya. Foto: Instagram @nyndaa_

TROPIS.CO, JAKARTA – Sejumlah pakar menilai alasan untuk mendorong program food estate bukan solusi efektif untuk ketahanan pangan.

Dari pengamatan para pakar, selama ini program food estate justru merusak ekosistem karena pembukaan lahan.

Program ini juga memantik sejumlah persoalan sosial-budaya. Mulai dari hilangnya hak atas tanah milik masyarakat, hingga hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat.

Wacana program food estate kembali mencuat saat agenda Forum Keamanan Pangan Dunia G20 pada November lalu.

Baca juga: COP27: Prediksi Pemanasan Global Memburuk, Indonesia Perlu Adaptasi

Ketika itu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan singkong, salah satu komoditas unggulan program food estate, sebagai solusi kerawanan pangan dunia imbas perang Ukraina dan Rusia.

“Narasi-narasi terkait food estate ini terus berkembang. Ketika pandemi, program ini dikaitkan dengan ketahanan pangan akibat pandemi Covid-19. Sekarang, narasi ini didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim.”

“Padahal, program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan kegagalan,” tutur Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Iola menambahkan, jika alasannya untuk mendukung ketahanan pangan, maka yang harus dipertanyakan adalah untuk siapa sebetulnya upaya perjuangan ketahanan pangan ini?

Baca juga: Bogor Go Green 7 Jadi Paduan Lingkungan, Ekonomi dan Sosial

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, mengingatkan kembali program food estate serupa dengan program pada masa Orde Baru yang sempat diperkirakan dapat menjadi penyangga ketahanan pangan nasional, juga berujung pada kegagalan.

“Food estate justru membuat pangan kita rentan. Jika hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan mempengaruhi suplai dan Harga produk pangan petani di banyak tempat lainnya.”

“Belum lagi dalam pelaksanaannya, food estate sangat bergantung terhadap pengendalian hama dan pupuk yang bersifat kimia yang juga mencemari lingkungan,” ujar Zenzi.

Zenzi berargumen, negara kepulauan seperti Indonesia seharusnya menerapkan sistem desentralisasi untuk pangan dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah, bukan dengan strategi lumbung pangan yang terpusat.

Baca juga: Musdhalifah: Industri Sawit Dapat Mendukung Target Penurunan Emisi

Dengan demikian, apabila terdapat satu daerah yang mengalami kerentanan pangan, maka daerah lainnya bisa mendukung penyediaan pangan dengan menerapkan suplai silang.

“Pemerintah harus berhenti menerapkan ketahanan pangan Indonesia dengan program food estate. Kita seharusnya belajar dengan kesalahan dari Presiden Soeharto dengan pengadaan program pencetakan sawah seluas satu juta hektare.”

“Jika Indonesia ingin berdaulat pangan, maka kenali setiap keunikan pangan rakyat dan keanekaragaman alamnya,” lanjut Zenzi.

Angga Dwiartama, dosen dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), turut bersepakat.

Baca juga: Jokowi: Lahan Tidak Produktif Diproduktifkan

Menurutnya, masalah ketahanan pangan di Indonesia sering kali berkaitan dengan akses terhadap pangan, bukan produksinya.

Produksi secara masif di satu lokasi tidak bisa menjadi solusi. Perlu ada peninjauan kembali bagaimana masyarakat mampu memiliki kedaulatan untuk bisa memproduksi dan mengatur sistem pangannya mereka sendiri, tanpa diintervensi oleh ekonomi pasar yang lebih luas.

“Program food estate justru akan melokalisir produksi pangan di satu tempat, yang kemudian akan membawa masalah pada proses distribusinya ke tempat lain. Jika akses terhadap pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi.”

“Akhirnya, daya beli masyarakat pun menurun. Imbasnya adalah masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan,” sambungnya.

Baca juga: Bogor Go Green 7 Jadi Paduan Lingkungan, Ekonomi dan Sosial