Mengembangkan Perhutanan Sosial Melalui Narasi

SWari Utami: Mari menulis perhutanan sosial

Oleh: Swary Utami Dewi

Semakin lama saya menjelajah dunia Perhutanan Sosial dengan seluk-beluknya, makin terasa cinta itu lekat di hati. Kerja pada Perhutanan Sosial bukan kerja biasa. Ia adalah kerja batin dan bakti untuk perjuangan dan kemanusiaan. Saat saya merenung lebih jauh, diksi-diksi Pramoedya Ananta Toer rekat saya temui dalam Perhutanan Sosial, terutama pada tiga novel pertama dari tetraloginya. Lebih daripada itu, diksi yang menjadi penanda filosofi buku-buku Pram, saya lihat begitu jelas.dan tegas muncul dalam filosofi dan praktik Perhutanan Sosial di berbagai tempat di Indonesia.

Bumi Manusia bercerita tentang pergulatan awal sang tokoh, Minke, yang melambangkan perjuangan rakyat melawan diskriminasi Belanda pada masa kolonial di awal abad ke-20. Ini mirip cerita Perhutanan Sosial yang menyimpan kisah-kisah perjuangan masyarakat pengelola kawasan hutan, yang pada periode awal harus berjuang mati-matian melawan kebijakan yang diskriminatif, bahkan meminggirkan mereka.

Diksi kedua adalah Anak Semua Bangsa. Sang tokoh, Minke, belajar mati-matian mengatasi segala kendala yang dihadapinya selaku anak blasteran. Maka Perhutanan Sosial juga mengalami masa-masa perjuangan bertumbuh kembang sesudah ia lahir. Ada rasa tidak percaya, ragu dan penuh tanda tanya dari banyak pihak. Namun bayi Perhutanan Sosial yang baru belajar berjalan ini memutuskan untuk terus maju dan berjuang. Lalu dalam novel Jejak Langkah, Minke makin menebalkan cintanya kepada sang negeri melalui organisasi dan literasi. Maka, masyarakat Perhutanan Sosial juga menjejakkan kaki lebih dalam melalui berbagai penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas sebagai bakti untuk membangun negeri. Ini juga merupakan tahap belajar berkembang untuk mengukuhkan diri. Jejak Langkah Perhutanan Sosial pun makin kuat menapak.

Semua diksi inilah –yang paling tidak– telah saya temui pada setiap momen, saat saya bertemu dengan masyarakat Perhutanan Sosial dan berbagai unsur pendukungnya; Saat saya turun ke lapangan, menjejak kaki turun ke banyak desa untuk bertemu, berdialog dan memahami suasana batin masyarakat pengelola Perhutanan Sosial. Ada rasa sayang jika diksi, nuansa, inspirasi dan segala pelajaran berharga –dengan istilah yang berbeda-beda– tidak tercatat dengan baik. Maka sedapat mungkin, meski tidak rutin, ada tulisan-tulisan yang muncul.

Dari menulis Perhutanan Sosial, saya belajar memahami fenomena yang saya saksikan di depan mata. Saat saya duduk mengamati dan mendengar cerita masyarakat, saya mulai merajut makna hakiki Perhutanan Sosial, yang nyata bisa ditarik hingga ke aras atas, yakni Pancasila sebagai falsafah dasar hidup kita. Nilai-nilai Pancasila dan beberapa nilai-nilai lain begitu kuat mewarnai praktik Perhutanan Sosial.

Lalu, ada pula singgungan tentang manfaat Perhutanan Sosial. Beberapa tulisan yang sempat saya hasilkan menunjukkan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi. Ketiganya saling berkelindan, tidak perpisahkan. Meski ada yang lebih menonjolkan kecintaan pada ekologi, tapi unsur lain tetap menyertai. Di sini, misalnya, ada petani dari Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, bernama Nibuan Syah, yang tegas memberi pesan, “Jangan mewariskan air mata, tapi wariskanlah mata air kepada anak cucu kita.”

Kemudian, ada berbagai inovasi nyata dalam Perhutanan Sosial, yang menyiratkan perkembangan dan dinamika yang mampu dilalui. Bahkan ada kemampuan mengatasi kendala di masa pandemi dengan menghadirkan inovasi pelatihan daring untuk peningkatan kapasitas sekitar tiga ribu petani dan pendamping Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menjadi pendukung sangat penting bagi Perhutanan Sosial. Juga ada inovasi kebijakan berhati dari Pemerintah, saat “berani” mengeluarkan kebijakan KHDPK atau Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus pada April 2022. Salah satu tujuannya adalah untuk memperbaiki tata kelola hutan di Jawa, termasuk memperbaiki kondisi penghidupan masyarakat dan petani gurem di Jawa.

Saya juga menemukan cerita-cerita penguatan, misalnya tentang perempuan dan Perhutanan Sosial. Isu ini menjadi penanda pentingnya Perhutanan Sosial dalam penguatan perempuan. Ia bukan hanya berhenti pada persoalan legalitas, tapi menjadi penjaga berbagai makna hutan bagi perempuan. Melalui perempuan, maka hutan tidak lagi hanya sekedar kayu. Hutan juga perlambang kerekatan perempuan dengan alam. Saat perempuan Dayak Kapuas merajut uwei atau rotan menjadi tas, saat itu mereka meletakkan simbol kecintaan mereka pada alam. Saat para perempuan Gayo menjadi Mpu Uteun, mereka menjelma menjadi garda terdepan penjaga hutan. Mitos perempuan di belakang menjadi terpinggirkan.

Contoh lain yang menarik adalah tentang kearifan lokal dan Perhutanan Sosial, yang memuat beberapa cerita unik dan lokal tentang Perhutanan Sosial. Bisa jadi kearifan lokal memang tidak terpisahkan dari nilai dan manfaat. Bisa jadi pula ia berkelindan dengan isu Perhutanan Sosial yang lain. Tapi yang jelas bagi saya, kearifan lokal menjadi salah satu bukti nyata bahwa Perhutanan Sosial bukan sesuatu yang ujuk-ujuk ada. Di banyak tempat di Indonesia, praktik Perhutanan Sosial telah lama dilakukan. Bahkan dilakukan turun temurun. Ia lekat dan rekat dalam keragaman Indonesia. Bahkan variasi praktik-praktik Perhutanan Sosial menunjukkan makna bahwa Perhutanan Sosial adalah salah satu penjaga keragaman Indonesia.

Pada akhirnya dengan menulis isu ini, saya ingin Perhutanan Sosial bisa tercatat dan menyejarah. Saya juga berkeyakinan bahwa dengan tulisan ada bahan bersama yang bisa dipertukarkan untuk pelajaran dan perbaikan, untuk memperbaiki praktik-praktik Perhutanan Sosial, untuk mempromosikan apa.yang sudah dilakukan, dan tentunya untuk memuliakan “kelompok masyarakat Perhutanan Sosial”, yang selama ini miskin dan terpinggirkan, menjadi mulia dan bermartabat.

Meski yang sudah ditulis belum tentu disepakati semua dan masih jauh dari kesempurnaan, atau ada yang belum dikupas mendalam, tapi sebagai catatan, ia tetap berharga untuk dipelajari. Karena itu saya meyakini, diperlukan semakin banyak tangan-tangan terampil lain untuk mampu mengabadikan cerita-cerita Perhutanan dalam tulisan. Maka kawan, mari terus menulis Perhutanan Sosial.

8 Januari 2024