Resolusi Konflik Pengelolaan Hutan di Tingkat

Prof Sibarudi;Tumpang tindih lokasi pemanfaatan hutan utamanya disebabkan pengukuhan kawasan hutan belum seluruhnya selesai. Hal ini diperburuk lagi dengan penetapan dan persetujuan IUPHHK yang tidak berkonsultasi dengan para pengelola KPH di lapangan. Di samping itu kepala daerah kabupaten/kota mengeluarkan izin pertambangan dan Perkebunan hanya di atas meja dan sangat jarang melibatkan atau konsultasi dengan para pengelola KPH di lapangan. Persoalan tumpang tindih pemanfaatan hutan tersebut di atas hanya dapat dilakukan dengan melibatkan para pengelola KPH di tingkat tapak karena mereka lebih mengenal kondisi dan situasi lapangan di areal wilayah kerjanya

TROPIS.CO, JAKARTA – Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai ujung tombak pengelolaan hutan negara di tingkat tapak memiliki peran sentral dan strategis dalam menentukan masa depan kehutanan Indonesia. Pengelolaan KPH dapat dikatakan masih belum ideal, saat ini mendapat tantangan baru dengan adanya UUCK dan peraturan turunannya (PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan).

Sejarah pembentukan KPH diawali dengan semangat pengelola tingkat tapak yang mandiri dan dapat berkontribusi kepada daerah, tetapi saat ini muncul kekecewaan dengan adanya perubahan wewenang, dari awalnya dapat “memanfaatkan hutan” menjadi “fasilitator kegiatan” (Nugroho et al., 2023). Berdasarkan perubahan tupoksi KPH hanya sebatas fasilitator dan hasil pengamatan lapangan yang memprihatinkan telah memicu tulisan Subarudi (2023) dengan judul “Revitalisasi Tupoksi KPH dalam Pengelolaan Hutan”. Artikel ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak.

Salah satu tanggapan datang dari Ketua Assosiasi Kestauan Pengelolaan Hutan se Indonesia yang sangat sepakat dengan pemikiran Prof Subarudi, terkait perlunya revitalisasi Topoksi KPH Untuk Pengelolaan Hutan Lestari di Tingkat Tapak. Pada prinsipnya, Asosiasi KPH siap menjadi pengusul untuk melakukan revisi terhadap PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan karena telah mereduksi 3 fungsi KPH sebagai fungsi administrasi, fungsi bisnis dan fungsi sosial (Mukarom, 2023). Tanggapan lainnya ada yang menyatakan bahwa KPH sendiri oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemndagri) dan pemerintah daerah provinsi sendiri hanya dijadikan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan bukat unit yang mandiri.

Proses pembentukan KPH didasarkan bahwa seluruh Kawasan hutan telah dibagi habis dalam KPH-KPH. Hal ini menjadi indikasi bahwa peran KPH dalam pengelolaan hutan lestari di tingkat tapak menjadi sangat penting dan stretegis. Walaupun dalam pelaksanaan tupoksinya, para pengelola KPH tidak saja menghadapi tantangan dalam pengelolaan hutan, tetapi juga dalam penanganan konflik tenurial di lapangan. Banyak publikasi yang mengupas konflik-konflik KPH dengan pelaku usaha, masyarakat dan para pelaksana program perhutanan sosial.

Tulisan ini akan mencoba membahas secara dalam terkait dengan konflik-konlfik yang dihadapi KPH dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak. Adapun tujuan penulisan artikel ini adalah: (i) menjelaskan tentang pengertian konflik sosial dan tenurial, (ii) mengidentifikasi konflik regulasi antara pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan, (iii) menganalisis konflik antara KPH dengan pelaku usaha, (iv) menjelaskan konflik KPH dengan masyarakat dalam pengusulan perhutanan sosial, dan (v) merumuskan resolusi konflik pengelolaan hutan di tingkat tapak.