Revitalisasi Topoksi KPH Untuk Pengelolaan Hutan Lestari di Tingkat Tapak

Prof Subarudi: Kembalikan KPH ke kittah

Oleh Subarudi

(Peneliti Utama Pada Kelompok Riset Penduduk dan Manajemen SDA, Pusat Riset Kependudukan, BRIN)

Sejak keluarnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ditetapkan menjadi Undang-Undang, telah membuat demotivasi terhadap pengelola dan mitra Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat tapak.

Dalam berbagai kesempatan seminar, lokakarya, workshop dan diskusi dalam webinar terkait dengan KPH, penulis selalu menyuarakan bahwa lembaga KPH itu menjadi ujung tombak atau indikator keberhasilan pengelolan hutan Lestari (PHL) di tingkat tapak dan tanpa KPH hutan tidak akan lestari. Namun kenyataannya berbanding terbalik setelah keluarnya UUCK dan ditindaklanjuti dengan terbitnya aturan pelaksanaanya, yaitu Peraturan Pemerinah (PP) No. 23 Tahun 20021 (Penyelengaraan Kehutanan) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 8 Tahun 2021 (Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung Dan Hutan Produksi).

Keberadaan KPH yang diawalnya merupakan lembaga pengelola hutan di tingkat tapak dengan segala sumber daya yang dimilikinya dan dinamika pengelolannya diharapkan menjadi lembaga yang mandiri dan mampu berdiri di kaki sendiri dalam pelakasanaan operasionalnya. Sudah banyak program dan kegiatan yang diinisiasi oleh KPH sebagai upaya perwujudan kemandirian lembaganya. Hampir semua kepala-kepala KPH sudah diberikan pelatihan teknis PHL dan membuat rencana bisnis (business plan) di areal wilayah kerjanya.  Mereka begitu antusias dan bersemangat untuk merumuskan rencana bisnis dan melaksanakan rencana tersebut sesuai kondisi dan situasi yang ada di lapangan.

Keberadaan KPH pasca terbitnya UU No. 11/2020 Jo. UU No. 6/2003 yang ditindaklanjuti dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2021 dan Permen LHK No. 8 Tahun 2022 telah merombak total atau meporakporandakan tatanan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Sebenarnya mandat UUCK tidak menyasar pada keberadaan KPH, tetapi menyasar kepada penghapusan izin lingkungan dan luas kecukupan hutan 30 % karena kedua aspek tersebut menghambat masuknya investasi nasional.

Hal yang perlu diketahui perubahan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPH sebenarnya didasarkan kepada isu liar berkaitan “Institusi negara tidak boleh berbisnis” yang tidak jelas institusi mana yang mengeluarkan isu tersebut, sehingga mampu menyasar ke berbagai lembaga pemerintah lainnya. Kalau memang isu tersebut benar, semestinya Perhutani dilarang melakukan bisnis dan demikian juga dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak diperkenankan melakukan usaha yang menghasilkan profit. KPH merupakan salah satu korban perubahan tupoksi karena isu liar yang ditangkap oleh para birokrat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini berdampak kepada KPH menjadi seperti Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (Non- Government Organization-NGO) yang bersifat non-profit organization dengan tugas sebagai fasilitator.

Persoalan demotivasi para pengelola KPH sangat relevan untuk dibahas kembali berkaitan dengan kebijakan pemerintah (KLHK) yang mengeluarkan kebijakan multi usaha kehutanan (MUK) kepada setiap pemegang izin (baca: persetujuan) baik untuk areal konsesi hutan produksi (Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan-PBPH) maupun di berbagai fungsi hutan untuk persetujuan perhutanan sosial (PS) yang meliputi hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan adat (HA), hutan tanaman rakyat (HTR) dan kemitraan kehutanan (KK). Salah satu prinsip pelaksanaan MUK adalah prinsip keadilan, semua pelaku usaha dan/atau pemegang persetujuan PS memiliki hak dan peluang yang sama untuk menggunakan Kawasan dan memanfaatkan hutan dan hasil hutan secara optimal sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi hutan.

Dalam hal ini pengelola KPH juga memiliki hak dan peluang yang sama untuk terlibat langsung di dalam pengelolaan hutan dengan program MUK sebagaimana dilakukan oleh para pemegang persetujuan HD, HKm, HTR, HA dan KK. Oleh karena itu, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana perubahan tupoksi KPH dalam konteks pelaksanaan kebijakan pemerintah baik di bidang MUK maupun di bidang penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di tingkat tapak. Tulisan ini bertujuan untuk: (i) menjelaskan perbedaan tupoksi KPH sebelum dan sesudah UUCK, (ii) menganalisis keuntungan dan kerugian KPH sebagai fasilitator, (iii) mencari celah peraturan perundangan untuk mengembalikan tupoksi awal KPH, dan (iv) menyusun upaya-upaya penguatan lembaga KPH di masa depan.

Perbedaan Tupoksi KPH Sebelum dan Sesudah UUCK

Tupoksi KPK sebelum UUCK terletak kepada fungsinya sebagai pengelola hutan di tingkat tapak yang dapat melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dalam konteks untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Hasil analisis isi (content analysis) dari dua regulasi, yaitu PP No. 6 Tahun 2007 (Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan) dan PP No. 23 Tahun 2021 sebagai berikut:

  1. PP No. 6/2007 mewakili tupoksi KPH sebelum UUCK terbit dan PP No. 23/202i mewakili tupoksi KPH setelah UUCK terbit. Hasil analisis isi kedua regulasi ini secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
  2. Tupoksi KPH sebelum UUCK hanya 5 butir dan setelah UUC menjadi 11 butir. Ada satu butir yang sama sebelum dan 2 butir sesudah UUCK terbit, yaitu tugas pemantauan dan evaluasi serta pengawasan pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya.
  3. Dari 11 butir tupoksi KPH (sesudah UUCK) terdapat 1 koordinasi dan 6 fasilitasi atau 64% tugas adminstratif dan dibanding sebelum UUCK, tugas admisntratif KPH Cuma 20% selebihnya pengelolaan hutan di lapangan.
  4. Tugas lapangan yang hilang sesudah UUCK meliputi 1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; 2) pemanfaatan hutan 3) penggunaan kawasan hutan; 4) rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan 5) perlindungan hutan dan konservasi alam. Pertanyaan yang muncul siapa yang menggantikan tugas lapangan KPH tersebut kalau hanya tugasnya memfailitasi
  5. Tugas membuka peluang investasi guna tercapainya tujuan pengelolan hutan (sebelum UUCK) telah diganti menjadi memfasilitasi pertumbuhan investasi (setelah UUCK). Hal ini membatasi gerak Langkah KPH untuk melakukan Kerjasama usaha di wilayahnya.
  6. Kemandirian KPH (sebelum UUCK) telah digeser menjadi fasilitasi kegiatan di lapangan. Hal ini menjadikan pengelola KPH yang awalnya aktif kemudian menjadi pasif dan hanya menunggu perintah dari atasannya.
  7. Pembuatan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang-RPHJP dengan segala kegiatan lapangan menjadi menarik (sebelum UUCK) dan RHJP tersebut harus direvisi disesuaikan dengan tugas KPH sebagai fasilitator (sesudah UUCK) menjadi tidak ada artinya (do not make sense) sehingga cenderung akan diabaikan.
  8. KPH diberikan kewenangan untuk mengelola hutan di tingkat tapak pada areal hutan yang tidak dibebani izin (sebelum UUCK) dan tidak diberikan kewenangan sama sekali (sesudah UUCK), maka membuat pengelola KPH menjadi pasif dan tidak termotivasi untuk terus bekerja di lapangan. Perkembangan terakhir banyak pegawai KPH meminta alih tugas sebagai tenaga penyuluh lapangan karena ketiadaan dana dan kegiatan di lapangan.

Dari kedelapan butir perbedaan tupoksi KPH sebelum dan sesuah UUCK, butir 6 (kemandirian) merupakan hal yang sangat penting dan strategis untuk KPH. Kemandirian yang selama ini sudah dibangun oleh KPH sudah mengarah kepada Upaya mewujudkan pengelolaan hutan Lestari dan mendukung  kebijakan pemerintah terkait penurunan emisi di sektor kehutanan.

Kemandirian ini akan membantu dan mendorong perwujudkan konsep pengelolaan hutan Lestari dengan slogan “Hutan Lestari, Rakyat Sejahtera”. Konsep ini kalau di Provinsi Jawa Barat diterjemahkan dengan slogan “Hutan Rusak, Cai Beak, Rakyat Belangsak” artinya jika hutan rusak, maka air akan habis, sehingga masyarakat menjadi sulit kehidupannya. Konsep ini juga dipakai di Provinsi Banten  dengan slogan pengelolaan hutannya, yaitu “leuweng hejo, masyarakat kejo” terjemahan bebasnya hutan hijau, Masyarakat bisa makan nasi.

Keuntungan dan Kerugian KPH Sebagai Fasiltator

Jika dilihat keuntungan dan kerugiannya KPH sebagai fasilitator adalah lebih banyak ruginya daripada untungnya. Fungsi sebagai fasilitator (64%) adalah menegaskan tupoksi kerja di tingkat tapak, menjadi kerja di tingkat kantor dengan pekerjaan-pekerjaan administratif semata. Pekerjaan adminsitratif seperti ini sama dengan pekerjaan yang seringkali dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten (sebelum dibubarkan) dan Dinas Kehutanan Provinsi (masih eksis dengan atau tidak ditambahkan bidang lingkungan hidupnya) dalam pelaksanaan pekerjaannya di bidang kehutanan.

Jadi pemberian tugas fasilitasi kepada KPH sama saja dengan upaya mengubah (deformasi) tugas KPH ataupun menurunkan derajat (degradasi) dari hak dan wewenang KPH dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak. Oleh karena itu, jika memang tugas fasilitasi itu penting, maka dapat dijadikan tugas tambahan KPH selain tugas utamanya, yaitu pengelolaan hutan di tingkat tapak, pengembangan usaha kehutanan dengan mencari dan menyeleksi para investor yang datang, dan pembuatan naskah kerjasama dengan berbagai pihak untuk optimalisasi pemanfataan kawasan hutan di wilayahnya sebagai upaya mendukung kemandirian lembaganya.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin dengan setumpuk tugas fasilitasi tanpa diberikan amunisi (dana) untuk menjalankan tugasnya tersebut. Jadi tugas fasilitasi hanya sebagai di atas kertas saja, tapi dalam realisasinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dalam PP No. 23/2021 tersebut. Oleh karena itu, tiada pilihan lain yang harus diambil oleh KLHK, selain untuk penguatan kembali (revitalisasi) tupoksi KPH di tingkat tapak sebagai indikator keberhasilan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh para politikus untuk keberlanjutan partainya adalah kembali ke kittahnya. Jadi hal yang sama berlaku juga bagi KPH harus dikembalikan ke kittah dan marwahnya ketika dibentuk pertama kali.

Celah Peraturan Perundangan untuk Mengembalikan Tupoksi Awal KPH

Setelah mencermati dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya bahwa celah peraturan perundangan untuk mengembalikan Tupoksi Awal KPH dapat dilakukan melaui dua cara, yaitu (i) dapat dilakukan atas kemauan sendiri (unconditional) dan (ii) dapat dilakukan dengan batuan orang lain (conditional) seperti halnya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk wilayah Nusantara yang dicantumkan dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) tahun 2021.

Perubahan PP No. 23/2021 berikut dengan peraturan turunannya dapat dilakukan sendiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan merevisi sebagian isi PP No. 23/2021 tersebut dengan PP yang baru. Dalam revisi PP tersebut hanya terkait pasal 123 yang menjelaskan tugas KPH sebagai fasilitator.

Perubahan pasal 123 PP No. 23/2001 ini harus diganti semua isi dan subtansinya sebagaimana tercantum dalam PP No. 6 Tahun 2007 (lihat Lampiran 1) sehingga menjadi jelas bahwa tupoksi KPH dikembalikan lagi ke posisi semula. Jika ini dilakukan oleh KLHK, maka perubahan PP ini menjadi indikator bahwa KLHK berjiwa besar dengan merubah PP No. 23/2021 karena ada kekeliruan mendasar yang menjadikan KPH tak berdaya dan tak bertenaga untuk melaksanakan tupoksinya. Di samping itu, jika KLHK melakukannya, maka KLHK sebenarnya sedang bergerak pola pikirnya masuk ke dunia 2 dan bukan pola pikir dunia 1 (berpikiran kolot dan mencari-cari alasan pembenarannya). Meminjam konsep Professor Hariadi Kartodihardjo (2023) tentang pola pikir dunia 2, yakni pola pikir yang utuh, meyeluruh dan multi disiplin sehingga menghasilkan terobosan-terobosan dalam pengambilan keputusan atau penyusunan kebijakan publiknya di lingkungan birokrasi atau perusahaan.

Cara perubahan kedua, jika KLHK tidak bergeming untuk merubah PP No. 23/2001 tersebut, maka pihak luar, dalam hal ini bisa diwakili oleh Asosiasi KPH-KPH se Indonesia (AKPHI), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan dapat melakukan peninjauan hukum (yudicial review) atas PP No. 23/2001 ke Mahkamah Agung. Hal ini tentunya perlu persiapan matang dengan bukti-bukti yang otentik dan fakta-fakta di lapangan maupun bukti-bukti adminstratif misalnya turunnya alokasi anggaran untuk KPH sebelum dan sesudah keluarnya UUCK tersebut. Cara kedua ini rasanya kurang ilok dilakukan sebagai upaya protes terhadap kekeliruan KLHK dalam menyusun dan merumuskan peraturan perundangan di bidang pengaturan tupoksi KPH. Hal ini dilakukan karena dalam suasana kebathinan yang tergesa-gesaan sehingga harus selesai penyusunan PP dalam waktu yang relatif singkat.

Oleh karena itu, penulis menyarankan sebaiknya KLHK mengambil inisiatif untuk membuat revisi PP No. itu karena dampaknya yang sangat luas dan strategis terhadap pencapaian sistem PHL tanpa partisipasi KPH di Tingkat tapak. Sebelum UUCK seringkali digaungkan kalau keberadaan KPH menjadi pintu masuk pendanaan dari Bappenas sehingga muncullah pameo atau slogan No KPH, No money”, tapi setelah UUCK terbit, maka pameo itu berubah menjadi KPH has no really money”.  Jadi sebelum UUCK, KPH telah menjadi ujung tombak pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi setelah UUCK, KPH menjadi ujung tombok karena ketiadaan pendanaan untuk kegiatan fasilitasi yang demikian banyak (8 butir dari 11 butir) harus dilakukannya di lapangan. Hal ini dapat dikatakan sebagai “sesuatu hil yang mustahal” sebagai sebuah retorika dari pernyataan umum, yakni “sesuatu hal yang mustahil”.

Upaya-Upaya Penguatan Lembaga KPH di Masa Depan

Berbagai Upaya yang dilakukan untuk penguatan Lembaga KPH di masa depan adalah (1) mengembalikan tupoksi awal KPH sebelum UUCK terbit, (2) menyusun rencana bisnis KPH yang propektif, (3) memberikan amunisi bagi KPH untuk kegiatan operasionalnya, (4) mendorong peran serta KPH dalam pelaksanaan penurunan emisi GRK di wilayah provinsi, dan (5) melakukan kerjasama dengan pihak investor dalam dan luar negeri.

Pengembalian tupoksi awal KPH sebelum UUCK terbit manjadi pintu masuk untuk maraknya Kembali kegiatan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Pengembalian tupoksi ini dapat diibaratkan dengan terbukanya kontak pandora, sehingga akan membukan kotak-kotak yang lainnya. Oleh karena itu, Pemda melalui dinas-dinas kehutanannya dapat mendukung pengembalian tupoksi KPH ini dengan memberikan usulan perubahan tupoksi yang diinginkannya. Hal ini penting karena jika akan dilakukan revisi tupoksi oleh KLHK, maka bahan-bahan revisinya sudah tersedia.

Penyusunan rencana bisnis yang baru bagi yang belum ada, atau memperbahrui rencana bisnis yang sudah ada. Pernyempurnaan rencana bisnis ini dikaitkan dengan kebijakan pemerintah menggalakan kebijakan MUK sebagai upaya peningkatan kontribusi ekonomi sektor kehutanan (hanya 0,7% dari Produk Domestik Regional Bruto-PDRB), peningkatan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) sektor kehutanan dari kegiatan penggunaan Kawasan hutan dan pemanfaatan hutan, serta kesejahteraan masyakarat dan pengelola KPH.

Pemberian amunisi untuk kegiatan operasional KPH merupakan suatu keniscayaan sebelum kemandirian KPH dapat diwujudkan.  Pemberian amunisi dari pemerintah atau lembaga-lembaga donor harus tanpa upaya mempengaruhi Keputusan atau kebijakan pengelolaan Tingkat tapak. Sebagai contoh dahulu ada bantuan dari Lembaga donor untuk membangun kantor KPH dengan persyaratan harus sudah punya sertifikat tanah. Persyaratan ini mendorong Dinas Kehutanan berupaya mencari tanah-tanah bersertifikat di kota sehingga program ini telah menjadikan kantor-kantor KPH saat ini berada di kota karena persyaratan harus ada sertifikat tanahnya. Keberadaan kantor KPH yang jauh dari areal kerjanya akan dijadikan alasan bagi pegawainya untuk tidak ke lapangan karena ketiadaan biaya operasional ke lapangan.

Saat ini hampir semua pemerintah provinsi sudah menyelesaikan pembuatan Rencana Kerja (Renja) Folu Net Sink 2030 sub national di provinsinya. Dokumen Renja Folu ini merupakan dokumen komitmen pemerintah provinsi untuk berkontribusi dalam penurunan emisi sebagaimana telah ditetapkan dalam ENDC. Dalam penyusunan renja tersebut ditetapkan wilayah-wilayah KPH sebagai lokasi yang tepat untuk penurunan emisi GRK. Oleh karena itu, proses pengembalian tupoksi awal KPH akan sangat mendukung pencapaian target penrunan emisi sub nasional dan pada akhirnya direkapitulasi menjadi Tingkat penurunan emisi nasional (ENDC) sesuai dengan amanah dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Kerjasama antara KPH dengan berbagai pihak investor dalam dan luar negeri harus didukung karena ini akan menambah amunisi dana dan kegiatan yang ada di Tingkat tapak. Dalam pelaksanaan kerjasama ini harus menerapkan konsep kemitraan, yaitu mutual respect, mutual trust, and mutual benefit. Dalam artian kerjasama ini lebih diarahkan kepada kemitraan, Dimana pihak-pihak yang bekerjasama salah menghormati satu sama lain, saling percaya mempercayai, dan saling menguntungkan untuk semua pihak yang bermitra.

Penutup

Maksud dari artikel ini adalah bagaimana upaya merevitalisasi tupoksi KPH sebagai ujung tombak (baca: bukan ujung tombok) pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui revisi PP No. 23/2021. KPH ini menjadi tolong ukur keberhasilan pelaksanaan kebijakan MUK dan penurunan emisi GRK di tingkat nasional, sehingga proses pengembalian tupoksi awal KPH menjadi sebuah keniscayaan.

Disamping itu, revitalisasi tugas KPH dan penerapan MUK di wilayah kerjanya akan mampu meningkatkan kontribusi ekonomi sektor kehutanan karena jika masih tetap kondisi seperti ini (0,7 % dari PDRB) dengan luasan Kawasan hutan yang 120 juta ha, maka pengelolaan hutan kita akan terus menjadi obyek kritikan kalau sektor kehutanan menjadi penghambat pembangunan dan kemungkinan besar sebagai kawasan hutannya (khususnya hutan produksi) akan dialihkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN (Badan Pertanahan Nasional), sehingga KLHK hanya memiliki tugas pokok dan kewenangannya mengelola hutan lindung dan hutan konservasi saja. Wallahualam bis sawab.

Lampiran 1. Analisis Perbedaan Tupoksi KPH SebelumdanSetelah UUCK  Terbit

No. Tupoksi KPH Sebelum UUCK1) Tupoksi KPH Sesudah UUCK2) Hasil Analisis Regulasi
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi : 1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; 2. pemanfaatan hutan 3. penggunaan kawasan hutan; 4. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan 5. perlindungan hutan dan konservasi alam. Menyusun rencana pengelolaan Hutan yang dituangkan dalam dokumen rencana pengelolaan Hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan Hutan jangka pendek Pengelolaan hutan di tingkat tapak dihilangkan sama sekali
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan; Melaksanakan koordinasi perencanaan pengelolaan Hutan dengan pemegang Perizinan Berusaha, pemegang persetujuan penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan serta pengelola Perhutanan Sosial; Tidak ada lagi tugas KPH menjabarkan kebijakan kehutanan
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian Melaksanakan fasilitasi implementasi kebijakan di bidang lingkungan hidup dan Kehutanan yang meliputi: 1) inventarisasi Hutan, Pengukuhan Kawasan Hutan, Penatagunaan Kawasan Hutan dan pengrusunan rencana Kehutanan; 2) rehabilitasi Hutan dan reklamasi; 3) Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; dan 4) perlindungan dan pengamanan Hutan, pengendalian kebakaran Hutan dan lahan, mitigasi ketahanan bencana dan perubahan iklim. Bukan melaksanakan pengelolaan hutan, tetapi hanya memfasilitasi saja
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; Melaksanakan fasilitasi, bimbingan teknis, pendampingan, dan pembinaan kelompok tani Hutan dalam mendukung kegiatan Perhutanan Sosial; Sama khusus untuk tugas pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Melaksanakan fasilitasi Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan Tidak membuka peluang investasi, tetapi hanya memfasilitasi pertumbuhan investasi
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Melaksanakan fasilitasi Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan Tidak membuka peluang investasi, tetapi hanya memfasilitasi pertumbuhan investasi
6. Melaksanakan fasilitasi pertumbuhan investasi, pengembangan industri, dan pasar untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional;
7. Melaksanakan fasilitasi kegiatan dalam rangka ketahanan pangan (food estatel dan energi;
8. Melaksanakan fasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia; i.; dan k.
9. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan;
10. Melaksanakan Pengawasan dan pengendalian atas kegiatan pengelolaan Hutan
11. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di wilayah kerjanya.

Sumber: 1) PP No. 6 Tahun 2007l; 2) PP No. 23 Tahun 2021