Sejumlah Negara Aspirasi Strategi Indonesia Mengembangkan Masyarakat Adat

Dirjen Perhutan Sosial Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto saat bicara dalam mandatory event the 8th Facilitative Working Group Local Communities and Indigenous People Platform atau FWG LCIPP, di COP 27 Sharm El - Sheikh. Bambang paparkan tentang perkembangan pengelolaan masyarakat adat di Indonesia yang kini terinventarisasi ada 105 komunitas adat.

TROPIS.CO, SHARM EL SHEIKH – Dalam mandatory event the 8th Facilitative Working Group Local Communities and Indigenous People Platform  atau FWG LCIPP, pada COP 27 di Sharm El Sheikh, Bambang  Supriyanto ungkapkan kemajuan pengelolaan masyarakat adat di Indonesia.

Kini terinventarisasi ada 105 komunitas yang  mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat dan diberikan hak pengelolaan  hutan adat seluas 148.488 hektar. Sejumlah negarapun  sangat mengapresiasi.

Masih dalam rangkaian  UNFCCC COP 27, di Sharm El – Sheikh, Mesir, di dalam  mandatory event the 8th Facilitative Working Group Local Communities and Indigenous People Platform atau FWG LCIPP, Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bercerita tentang kebijakan  Pemerintah Indonesia, dalam mempertahankan  dan mengembangkan kearifan lokal yang sudah tumbuh di tengah masyarakat sebagai masyarakat adat.

Event FWG LCIPP memang bukan event dadakan hanya sebatas mendompleng program COP 27.  Dan ini merupakan event bergengsi sebagai forum  bagi negara negara  mitra untuk mendiskusikan perkembangan pengelolaan indigenous people dan local community. Diikuti banyak negara, yang antara lain;  Iran, Nepal, Australia, Kenya dan Norwegia.

“Mandatory event  yang berlangsung sebagai pra puncak COP 27 ini, yakni  1 sampai 4 Nopember kemarin,  telah menjadi agenda rutin, dan ini event ke 8,”ungkapnya.

Bagi Indonesia,  pertemuan ini  tentunya,  menjadi ajang penting untuk pertukaran informasi dan sharing pembelajaran antar setiap negara. Selain menggali inspirasi,  mengingat Indonesia dihuni oleh ratusan suku-suku bangsa dengan kearifan lokal masing-masing yang menyebar dari Sabang sampai Merauke.

Tradisi kearifan lokal yang diwariskan turun temurun, dari generasi kegenerasi yang kini terus terjaga, telah menjadi instrument penting dalam memastikan pelestarian hutan dan lingkungan berlangsung secara efektif dan berkelanjutan.  “Indonesia mengangkat terminologi Komunitas Adat dengan merujuk kepada definisi Indigenous People,” lanjutnya.

Artinya, sebelum diakui sebagai masyarakat adat dan diberikan hak pengelolaan  kawasan hutan – yang kemudian dikembangkan menjadi hutan adat, haruslah  memenuhi sejumlah kriteria yang dipersyaratkan.  Dan ini diantaranya; masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban dan memiliki pengelolaan bersifat komunal.

Kemudian;  ada kelembagaan adatnya; ada wilayah hukum adat.  Juga  ada pranata dan perangkat hukum adat, serta kehidupan masyarakatnya masih tergantung pada hutan. Tapi bagi komunitas yang tak memenuhi kriteria itu, maka mereka hanya sebatas  local communities.

Kendati demikian,  terhadap mereka pun,  pemerintah  tetap memberikan akses, dan pendampingan untuk mengelola hutan negara secara berkelanjutan.  “ Masa  pengelolaannya, 35 tahun dan dapat diperpanjang, diberikan kepada kelompok tani hutan, dengan skema Perhutanan Sosial,” jelas Bambang lagi.

Pada pertemuan tersebut, Bambang menyampaikan update terkait perkembangaan pengakuan dan pengelolaan komunitas Adat di Indonesia melalui penguatan kebijakan, pelaksanaan fasilitasi intensif dari pemerintah dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya serta peran Komunitas Adat dalam pengelolaan hutannya untuk aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui penguatan kelembagaan, cultural value dan local wisdom.

Capaian sampai dengan Oktober 2022 telah ditetapkan 148.488 Ha Hutan Adat kepada 105 komunitas adat dan indikatif hutan adat seluas 1.090.754 Ha. Sedangkan untuk skema Perhutanan Sosial seluas 5,187,000 hektar untuk 7.814 local communities

Sejumlah negara merespon positif, apa yang disampaikan Bambang Supriyanto.  Seperti apa yang disampaikan utusan  dari  Norwegia, bahwa  pengelolaan Komunitas Adat di Indonesia sangat menginspirasi dan memberikan pembelajaran yang baik,  bagi negara-negara lain untuk melestarikan kearifan lokal,  dan pengetahuan tradisional dalam rangka membangun masyarakat yang diakui dan negara yang berdaulat.

Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit Pengelolaan Hutan Adat Ditjen PSKL KLHK – masih dalam forum tersebut,  menambahkan  Indonesia bersama Filipina,  telah berencana  mengembangkan ASEAN Guidelines on Recognition of Customary Tenure in Forested Landscapes.  “ Guideline ini  diharapkan dapat mendukung aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,”katanya.

Indonesia juga mendukung pelaksanaan identifikasi dan diseminasi informasi substantif tentang pengembangan dan penggunaan kurikulum perubahan iklim untuk Komunitas Adat dengan menitikberatkan pada sistem pendidikan formal dan informal bagi generasi muda dan para perempuan Adat.