TROPIS.CO, JAKARTA – Serangkaian uji coba pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar pesawat udara telah dilakukan Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasilnya sangat luar biasa, Bioavtur J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan bahan bakar jet konvensional. Sangat prospek dikembangkan untuk SAF penerbangan komersil.
Ada pesan khusus Arifin Tasrif, Menteri ESDM, saat melantik Yudo Dewananda Priaadi, sebagai Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, 13 Juli 2023, nan silam. Arifin selain minta Yudo mengawal kepentingan Indonesia di berbagai Forum Internasional, juga mengawal peta jalan Net Zero Emission sektor energi Indonesia di tahun 2060 sebagai bagian dari komunitas global dalam aksi mitigasi perubahan iklim.
Namun yang tak kalah penting pesan Arifin Tasrif kepada alumni Sloan School of Management di MIT, Cambridge itu, terkait capaian sektor EBTKE yang salah satunya peningkatan penetrasi EBT agar tercapai target 23 persen pada tahun 2025. Dan target itulah yang diceritakan Yudo Dewananda Priaadi, saat dia menjadi panelis pada International Palm Oil Conference, IPOC’19 and Outlook 2024 di Nusa Dua, Bali, awal Nopember kemarin.
Dihadapan tak kurang dari 1500 peserta konperensi yang datang dari 18 negara itu, Yudo Priaadi mengurai panjang terkait program Indonesia dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Dan pemerintah Indonesia ditegaskan Yudo Priaadi sangat komit dalam pengembangan energi ramah lingkungan, hingga target menurunkan emisi 31,2 persen bila dikelola sendiri atau 43,2 persen andai mendapat suport negara lain, bisa terwujud.
Dan dijelaskan oleh Yudo Priaadi, bahwa sektor energi telah diberikan tanggung jawab menurun emisi 453 juta ton CO2e hingga 2030. Salah satu strategi yang dikembangkan, mengurangi pemakaian energi fosil dan membaurkannya dengan energi baru terbarukan. Minyak sawit disebut Yudo Priaadi salah satu potensi besar untuk mensubstitusi energy fosil. Dengan dikembangkan menjadi produk bioenergi, biofuel, biodesel, bahkan juga bioavtur, minyak sawit akan memberikan kontribusi nyata dalam menurunkan emisi hingga menuju nol bersih.
Terkait pemanfaatan minyak sawit sebagai biodesel kini tak lagi sekadar berjalan, tapi sudah berkembang cukup signifikan. Dalam program B35, yang. mulai diimplementasikan tahun 2023, Produksi mencapai 13,6 juta ton. Sebagian besar, mendekati 10 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri. Ada sekitar 121 ribu ton yang diekspor ke sejumlah negara.
Realisasi bauran EBT sepanjang paruh pertama 2023 baru mencapai 12,5% atau jauh dari target yang ditetapkan tahun ini di level 17,9%. Capaian paruh tahun itu tidak banyak bergeser dari torehan sepanjang 2022 dan 2021 masing-masing di level 12,3% dan 12,2%. “Tahun 2025 target penambahan EBT sebesar 5.544 megawatt [MW], proyeksinya hanya 1.524 MW, memang secara proyeksi dan realisasi sampai 2025 belum mencapai target,” kata Dirjen EBTKE itu.
Satu yang sangat membanggakan, keberhasilan dalam uji coba pemanfaatan minyak sawit sebagai bioavtur; bahan bakar pesawat udara berkelanjutan atau SAF. Tidak hanya pada pesawat militer tapi juga pada penerbangan komersial. Kendati baru pada tahap penerbangan jarak pendek, namun pemakaian minyak sawit untuk SAF, sustainable aviation fuel, diakui Yudo Priaadi sangat prospektif.
Diceritakan oleh Yudo Priaadi, dalam konteks pengembangan bioavtur di Indonesia, Pertamina memulai inisiasi sustainable aviation fuel (SAF) sejak 2010. Melalui Research & Technology Innovation Pertamina, melakukan riset pengembangan produk dan katalis. Sehingga di tahun 2021, PT Kilang Pertamina Internasional. berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi co-processing dari bahan baku refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas, dan bau, dalam kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari.
Melalui kolaborasi dengan stakeholder terkait, Tim peneliti ITB sebagai coordinator, Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) sebagai sponsor rangkaian kegiatan, dan Garuda Indonesia sebagai penyedia unit pesawat, dan dalam dukungan penuh Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, produk SAF dilakukan uji coba pada mesin pesawat dan unit pesawat.
Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia, dalam penerbangan jarak pendek Jakarta – Bandung. Baru kemudian, 4 Oktober 2023, SAF diujicobakan pada pesawat komersial milik Garuda Indonesia, pesawat Boeing 737-800 NG, pesawat bermesin CFM56-7B).
Hasilnya menunjukan respon yang sangat baik, pemanfaatan bahan bakar SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan bahan bakar jet konvensional. Sehingga ini menjadi jawaban atas komitmen Pemeruintah, dalam penyediaan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, yang diorientasikan untuk commercial flight tersebut.
“Pertamina berencana meluncurkan Cilacap Green Refinery (Tahap-2) pada Q4 2026, memanfaatkan bahan baku berbasis limbah, seperti Minyak Goreng Bekas (UCO) atau Limbah Pabrik Kelapa Sawit (POME),”ungkap Yudo Priaadi. Sembari menambahkan, bahwa Bioavtur yang dihasilkan Pertamina, telah memenuhi standar internasional untuk spesifikasi Avtur ASTM D 1655, Defstan 91-91.
Dan tak sebatas itu, Bioavtur-SAF produksi Kilang Pertamina juga telah memenuhi kriteria kerangka global termasuk CORSIA (Skema Penyeimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional) oleh Penerbangan Sipil Internasional Organisasi, RefuelEU/Fit55 oleh Uni Eropa, Perdagangan Emisi UE/Inggris, dan pajak IRA Amerika Serikat
Dengan demikian terhadap bioavtur SAF J2.4 ini, pemerintah telah merangcang langkah berikutnya, yakni membuat Peta Jalan Bioavtur untuk penerbangan komersial dan mendorong produksi Bioavtur dalam skala industri. Sehingga, nantinya, program inovasi dan pengembangan SAF itu terus digenjot, agar persentase penggunaan bahan nabati semakin bertambah. “ Melalui program ini pemerintah berharap tujuan pengurangan emisi karbon di industri penerbangan tercapai.”
Hanya memang, harga bioavtur harus dirancang lebih rendah paling tidak sama atau sebanding dengan bahan bakar fosil. Produksi harus ditingkatkan, berbagai fasilitas dan infrastruktur pendukung, seperti tempat penyimpanan , pola distribusi SAF, memang harus dirancang baik. “Untuk membuat SAF layak secara ekonomi, produksi memang harus ditingkatkan secara signifikan.”
Namun demikian, Yudo Priaadi, tak mengabaikan kemungkinan akan adanya benturan dalam mendapatkan sumber bahan baku, mengingat minyak sawit telah menjadi produk pangan dan produk industri lainnya, seperti oleokimia. “Pola tata kelola pendistribusian bahan baku harus lebih apik agar tidak saling menghambat,” katanya.