Pemerintah Tak Konsisten Terapkan Putusan MK Bikin Carut Marut Lahan Sawit

Prof. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 / PUU – IX Tahun 2011 yang sebenarnya diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum masalah Hak Guna Usaha (HGU) tidak diterapkan. Foto: GAPKI
Prof. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 / PUU – IX Tahun 2011 yang sebenarnya diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum masalah Hak Guna Usaha (HGU) tidak diterapkan. Foto: GAPKI

TROPIS.CO, LEMBANG – Tata kelola sawit terus diperbaiki oleh para pemangku kepentingan dari komoditas strategis nasional ini.

Namun, semua pihak perlu tetap mengkritisi agar kebijakan-kebijakan seputar komoditas strategis ini mendukung industri usaha sawit dalam negeri.

“Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, harus mendukung perbaikan tata kelola industri kelapa sawit Indonesia dan mendukung iklim usaha tentunya,” kata Prof. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dalam Workshop Wartawan yang digelar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Lembang, Bandung, Rabu (23/8/2023).

Salah satu contoh adalah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Baca juga: Sawit Perlu Dilindungi UU sebagai Komoditas Strategis

Banyak hal yang belum tuntas dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha industri sawit.

“Ketidaktuntasan penyelesaian masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTWP) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTWK) ini salah satu akar masalah yang rumit,” katanya menyebut salah satu persoalan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.

Sayangnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 / PUU – IX Tahun 2011 yang sebenarnya diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum masalah Hak Guna Usaha (HGU) pun tidak diterapkan.

Ini merupakan putusan terhadap permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Baca juga: Ada 16 Juta Orang yang Hidupnya Bergantung dari Sawit

UU ini dinilai bertentangan dengan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945.

Menurut Gde Pantja, putusan MK itu menjawab sengketa kewenangan pusat dan daerah, terutama, terkait RTRWP yang tidak diakui pemerintah pusat dan menegasi keberadaan izin lokasi yang diterbitkan kepala daerah.

“RTRWP tidak dapat dikesampingkan dalam pengukuhan kawasan hutan.”

“Carut marut sawit karena ketidakkonsistenan penerapan putusan MK, mestinya putusan MK itu dipatuhi, ditaati,” tegasnya.

Baca juga: Mengintegrasikan Industri Hulu hingga Hilir Sawit Berkelanjutan

Pendapat senada juga dikemukakan Dr. Sadino, Dosen Fakultas Hukum universitas Al Azhar Indonesia.

Ia juga menambahkan bahwa kata “pemutihan” yang digunakan pemerintah tidak tepat.

Seperti diketahui, pemerintah menyebut ada 3,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit di mana sebagian diantaranya telah memiliki HGU diindikasikan berada di kawasan hutan.