Waspada Ada “Jebakan Batman” Dalam Kebijakan Biodiesel Progresif

Tak Sesuai Harapan

Pertama, dampak penghematan devisa yang tidak sesuai harapan. Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Pada bulan Juli 2020, data Buletin Statistik Perdagangan Internasional Ekspor Indonesia yang diterbitkan oleh BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai US$ 2,7 miliar atau setara dengan Rp 38,4 triliun.

Sementara, untuk produk turunannya mencapai US$ 6,2 miliar atau sekitar Rp 88,3 triliun). Kebijakan biodiesel yang agresif mendorong penggunaan CPO yang semakin banyak di dalam negeri, sehingga dapat berpotensi menurunkan nilai ekspor CPO.

Berdasarkan proyeksi perhitungan LPEM FEB UI, akumulasi potensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020—2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20 dan untuk proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama.

“Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” jelas Alin.

Saat kebijakan B20 ini pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp79,2 trilliun. Akan tetapi, penghematan impor solar yang dilaporkan pada tahun 2019 hanya mencapai Rp48,9 triliun.

Selain itu, pemerintah memperkirakan bahwa penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp112,8 triliun akibat implementasi B30, namun perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit.

Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan bersih (netto) dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada tahun 2020-2025 adalah sebesar Rp44 triliun, yang berarti penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah  sebesar Rp112,8 triliun.

“Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan yang kami lakukan pada periode yang sama. Kami mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. Faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” tutur Alin.

Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia.

“Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tutur Alin.

Baca juga: Tak Ada Kaitan Deforestasi dengan Kelapa Sawit