PSR Tersendat Produksi Sawit Terhambat

Kini ada sekitar 3 juta hektar tanaman sawit masyarakat yang dikelola swadaya, tak lagi produktive, sehingga sdangat mempengaruhi produksi minyak sawit nasiomal. Program Peremazjaan Sawit Rakyat yang dikembangkan pemerintah melalui dana sawit yang dikelola BPDPKS berjalan sangat lamban. Alokasi anggaran yang hanya Rp 30 juta/hektar sangatlah tak memadai. Dan sangat tak sebandimg dengan subsidi biodiesel yang dikucurkan pemerintah untuk para konglomerat sawit.

TROPIS.CO, JAKARTA – Realisasi Peremajaan  Sawit  Rakyat sangat tidak memadai, kurang  dari  10 persen dari  target 1 juta hektar, dalam masa  7  tahun terakhir. Padahal  suksesnya  PSR sangat diharapkan dalam meningkatkan produksi sawit yang kini  stagnan dan cenderung terus turun. Dibutuhan kemauan politik pemerintah untuk membebaskan lahan petani dari berbagai persyaratan.

Program Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR, kini sudah berjalan hampir 7 tahun, sejak awal Presiden Joko Widodo, mencanangkan kali pertama, di Desa Panca Tunggal, Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat, 17 Oktober 2017. Kala itu,  setidaknya ada 2.823 hektar kebun sawit milik 1308 kepala keluarga di Sungai Lilin yang menunggu  replanting.  Dan tak kurang  dari 2,8 juta tanaman sawit petani lain,  tersebar di Sumatera, Kalimantan, bahkan juga  Sulawesi yang dimiliki tak kurang  dari 1 juta petani, kondisinya bagai hidup enggan mati  tak mau. Mereka juga mengharapkan adanya uluran tangan pemerintah untuk meremajakan kebunnya yang sebagian besar berusia lebih 20  tahun.

Tanaman sawitnya sudah sangat  rentah.   Produktivitas perhektar perbulannya, rata rata sudah di bawah  1 ton. Dan sangat tak menguntungkan lagi.  Hasil  yang didapat sudah tak seimbang lagi dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan.  Terlebih lagi kini, disaat harga sejumlah saprodi- sarana produksi, seperti pupuk,  pembasmi hama dan  racun gulma, harganya selangit, membuat kehidupan petani semakin terhimpit.

Jadi tak usah heran bila melihat tanaman sawit mereka dalam kondisi daun enggan melambai. Tampak layu tak  tegak, seakan tak bersemangat  hidup, bertengger di batang kurus, menjulang tinggi. “ Ya.. sudah hampir 4  tahun tak dipupuk, rumputpun tak diracun hanya ditebas pakai parang, karena tak mampu  beli,”kata Saharin, petani di kawasan  Membalong,  Belitung.

Pendapatan dari hasil penjualan sawit kepada pengepul, terkadang kurang Rp 1  juta, walau luas tanaman sawitnya, mendekati 2 hektar. “  Setiap kali panen, paling hanya dapat  400 kg,”katanya. Dan dalam sebulan dua  kali panen. “kalau harga sawit  Rp 1300/kg, pendapatan perbulan ya.. tak lebih dari  Rp 1 juta,”ungkapnya.

“ Di Kabupaten Belitung ini, mungkin tak kurang  dari 35 ribu hektar sawit masyarakat yang produktivitasnya sangat rendah, kini kami  tengah melengkapi  persyaratan untuk ikut program peremajaan,”kata Mahdar, ketua  Apkasindo Belitong.

Bagi Mahdar tampaknya tak ada pilihan lain, baginya untuk menopang keberlanjutan  tanaman sawit petani anggota Apkasindo, kecuali ikut dalam program  PSR. Tapi  tak mudah, untuk melengkapi persyaratanpun, kini sudah  hampir setahun berlajalan. Belum juga tuntas, karena banyak  persyaratan yang tak mungkin dilengkapi petani dengan waktu cepat.  Sebut saja misalnya, legalitas lahan yang  harus sertifikat, padahal sebagian besar  petani, hanya memiliki Surat Keterangan  Tanah atau  SKT  dari desa atau kecamatan.

Ada sekitar 2,8 juta hektar sawit rakyat harus direplanting. Diperlukan ada keterlibatan langsung perusahaan pekebunan besar, tak hanya sebanyai penampung TBS tapi sebagai offtaker.

“Sebagian besar legalitas lahan petani hanya berupa SKT, ada yang sertifikat, tapi itupun bisa dihitung dengan jari,”kata Mahdar lagi. Bahkan,  tandasnya, tak sedikit juga diantara  lahan kebun petani itu, tanpa dilengkapi surat menyurat. “Ini persoalan yang kami hadapi, padahal kebun mereka sudah tak layak lagi untuk diteruskan, meremajakan sendiri, mereka tak punya duit.”

Gulat ME  Manurung, Ketua Umum Apkasindo, Asosiasi  Petani Kelapa sawit Indonesia, dalam Forum  sawit Indonesia yang berlangsung di Jogkarta, 23 Nopember kemarin, sempat memaparkan  betapa banyak persyaratan yang harus dilengkapi petani dalam mendapatkan kucuran dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa  Sawit atau BPDPKS.  Dalam paparan makalah “ Masa Depan sawit Indonesia dalam bingkai  tantangan  pengembangan perkebunan  kelapa sawit rakyat, dalam  ekosistem bisnis  sinergi”,  Gulat mengurai sedikitnya ada 30  point kelengkapan persyaratan  yang harus dipenuhi dalam program PSR.

Dan bila  menyimak satu persatu kelengkapan persyaratan itu, sepintas memang tak mungkin terpenuhi semua oleh petani  tanpa dibantu oleh pendamping.  Ada persyaratan yang sifatnya sangat sederhana, seperti halnya  kelengkapan persyaratan kelembagaan. Sebut saja, petani harus melengkapi; nama ketua kelembagaan,  Nomor Induk Ketua kelembagaan, No. HP Ketua Kelembagaan. Email Ketua Kelembagaan, dan juga foto ketua kelembagaan.

Tak cukup hanya sampai itu. Petani pun dalam mengajukan permohonan bantuan dana PSR, harus melampirkan status kelembagaan, alamat kelembagaan dan legalitas kelembagaan. Dan kelembagaan  yang dimaksud, aadalah  kelompok  tani, gabungan kelompok  tani,  dan juga  Koperasi Unit Desa atau KUD, dan koperasi primer lainnya.  Karena memang, dalam mendapatkan bantuan dana PSR, persyaratan lainnya,  petani harus tergabung dalam  kelompok  tani, atau Gabungan Kelompok  tani, bila tidak tergabung dalam koperasi.

Tidak sulit memang untuk melengkapi persyaratan ini, karena pengajuan  tidak dilakukan secara individu, tapi dilakukan oleh  kelompok tani atau koperasi. Sehingga dengan sendirinya, persyaratan kelengkapan itu, bisa langsung dipenuhi oleh pengurus kelembagaan.

Namun tidak mudah bila menyangkut persyaratan yang harus dilengkapi oleh petani.  Selain terkait legalitas lahan kebun sawit, petani juga harus mendapatkan surat keterangan dari  Badan Pertanahan Nasional atau BPN setempat,  terkait  bahwa  areal kebunnya,  tidak berada di dalam kawasan Hak Guna Usaha atau  HGU.  Tak itu saja, harus ada juga  surat keterangan dari  Balai Pemanfaatan Kawasan  Hutan atau BPKH, Kementerian Lingkungan  Hidup dan Kehutanan, terkait dengan surat keterangan  tidak berada dalam kawasan  hutan.

“ Banyak sekali, dan sangat rijik,”jawab  Gulat ME Manurung.  “Banyak surat surat pernyataan , termasuk surat  pernyataan teknik peremajaan, surat pernyataan umur tanaman, surat mitra  dengan bank, dan juga surat pernyataan terkait pembelian benih sawit.”

Dapat ditebak, rijit dan ruwetnya urusan persyaratan ini, sebagai  biang kerok, tidak optimalnya pelaksanaan  program  PSR.  Gulat memang tidak menyebut pulgar, soal persyaratan yang menghambat lajunya perkembangan PSR.  Tapi dalam paparan pada  forum yang juga dihadiri sejumlah pejabat pemerintahan, terkait dengan industri sawit, termasuk dari Menko  Ekonomi,  Kementerian  Pertanian dan  Dirjen Perkebunan, dan juga pejabat teras dari BPDPKS, dalam slide yang terkait dengan  Realisasi  PSR 2017 -2023,  pada grafik target dan realisasi, ada tulisan berhurup merah berlatar belakang kuning “ Kok Melorot Terus” dengan tanda Tanya hitam besar diikuti  tanda panah garis grafik  tahun 2021.

Pada kotak biru, grafik  tahun 2021 ini, memang  tertulis  target 180 ribu hektar. Namun  garis merah kurva,  dari  tahun  2020, melorot  mengarah ke angka realisasi 2021. Sagat  tajam turunnya, nah  ini yang dikomentari  Gulat “Kok melorot terus”.  Dan memang,  realisasi  tahun 2020 seluas  91.433 hektar,  kemudian melorot  tajam  menjadi  27.747 hektar di  tahun 2021, dan 17.793 hektar pada  2022. Terakhir 2023,  7.353 hektar.

Hanya memang, tahun 2023 baru sampai Maret. Kendati demikian dapat ditebak, realisasinya tidak bakal jauh dari  tahun tahun sebelumnya.  Jauh di bawah  target yang hendak diwujudkan, yakni 180 ribu hektar setiap  tahun, kecuali  tahun 2022, 100 ribu hektar.

Kalau  mengikuti  perjalan  program  PSR, sejak dicanangkan oleh  Jokowi di Musi Banyuasin,  Sumatera  Selatan, Oktober  2017,  rata  rata  tingkat realisasi jauh  dari  target.  Dalam target yang sangat rendahpun, di  tahun tahun awal, yakni  2017, seluas 20.780 hektar, realisasinya hanya 13.337 hektar.

Jangan salah,  ini baru sebatas realisasi rekomendasi teknis dari  Ditjen  Perkebunan, sebagai syarat pencairan dana oleh BPDPKS.  Bukan realisasi kondisi lapangan, bahwa tanaman sawit tua dan tak produktif  itu usai diland clearing, kemudian ditanam kembali.  “ Benar itu, baru sebatas data  rekomtek bukan realisasi lapangan,”akui  Gulat ME Manurung.

Gulat  menyebut,  secara  kumulatif  realisasi  PSR yang  telah mendapatkan rekomendasi  teknis, sejak  2017 hingga Maret  2023, mencapai  280.620 hektar.  Namun yang  mendapatkan  kucuran dana  BPDPKS,  baru seluas 268.074 hektar.  Ini  senilai  Rp 7.49 triliun untuk 123.653 petani yang tergabung dalam  1.550 kelompok  tani, KUD dan Koperasi.

Namun perkembangan terakhir  dari realisasi  program  PSR ini, seperti dipaparkan nara sumber dari BPDPKS, dalam Indonesian Palm Oil  Stakeholders,   forum yang diselenggarakan  Gapki  Sumatera Utara,  26 Oktober kemarin, realisasi  penyaluran dana  PSR hingga  30  September, telah mencapai Rp  8,512 triliun lebih.  Dana sebesar ini dikucurkan kepada 134.770 pekebun untuk areal seluas 306.486 hektar.

Dapat Dikatakan Gagal

Sejatinya,  bila program  PSR ini dilaksanakan serius, tidak setengah  hati, paling tidak hingga akhir  tahun 2023 ini, sudah ada sekitar 1 juta hektar tanaman sawit baru.  Bahkan,  diantaranya, sudah ada yang tergolong  pada  Tanaman Menghasilkan (TM).  Tanaman tahun 2017, seperti  target 20300 hektar , kini semestiya sudah TM-3 yang produktivitas TBSnya sudah bisa mencapai 1000 – 1200 kg setiap bulan.

Begitu juga untuk  tanaman  tahun 2018, seluas  180 ribu hektar sudah memasuki TM-2, dan mulai berkontribusi menambah pasokan  CPO nasional yang belakangan ini  peningkatannya cenderung stagnan.  Namun ternyata realisasinya sangat tak seimbang dengan ucapan presiden pada saat memulai program PSR –  yang sangat menggebu gebu, bersemangat sembari mengatakan, kalau  peremajaan sawit sudah berjalan,  akan bergerak lagi  ke karet, kopi, kemudian  bergerak lagi ke kakoa.

BPDPKS telah menyebutkan bahwa realisasi sesuai dengan  Rekomendasi  teknis hingga September seluas 306 ribu hektar.  Nah, ini artinya tak lebih  dari 10 persen dari target sawit  harus tertanam yang  masa 7  tahun, 2017 – 2023, setidaknya 1.025.300 hektar.  “ Semestinya,  bila realisasinya hanya 300-an ribu hektar, kirang dari  10 persen, dan program ini dapat dikatakan gagal, pemerintah tidak serius berpihak kepada  petani sawit, mereka lebih  tergiur membantu para taipan yang mengembangkan industry biodesel,”tandas Sadino,  pakar  hukum lingkungan yang juga pemerhati industry sawit  nasional.

Bagi  Sadino, tak begitu bangga dengan apa yang disampaikan  Eddy Abdurahman, Dirut BPDPKS, dalam  Forum  IPOC 2023 di Bali, awal Nopember kemarin, yang mengatakan, bahwa  BPDPKS  telah berhasil menyalurkan dana  sebesar Rp  8 triliun lebih untuk petani sawit program  PSR.  Sebab letak suksesnya, kata   Sadino, bukan pada besarnya dana yang dikucurkan, melainkan pada realisasi tanam dari program  PSR.

“Realisasinya  tanam kecil kok, jauh  dari  target, apakah ini dikatakan sukses, justru sebaliknya, bila realisasinya di bawah 10 persen, itu kategorinya gagal, dan pemerintah harus mengoreksi berbagai kelemahan  dan hambatan dari pelaksanaan program PSR  ini,”tandas kandidat Profesor yang kini  juga aktif sebagai  pengajar di Universitas  Al- Azhar  Jakarta.

Sejatinya Presiden Jokowi mengecek perkembangan dari program  PSR. Bukan dalam sambutannya kala itu, Jokowi sudah berjanji akan  mengecek. Sembari meniru ucapan  Jokowi, Sadino mengatakan,   “Ini perlu saya ingatkan, hari ini sudah mulai peremajaan, replanting, tapi setahun lagi atau awal 2019 akan saya cek kembali. Kerja dengan saya pasti saya cek, enak saja tidak dicek, jadi barang atau tidak? Jadi bibitnya, jadi bener dan baik tidak? Harus dicek, Kalau tidak dicek, enak nanti, setuju tidak?` kata Presiden Jokowi, di Musi Banyuasin, Sumsel, Jumat.

Bukan  hanya itu,  Bahkan Sadino masih ingat pasti, ucapan  Jokowi terkait perkebunan rakyat yang di dalam kawasan  hutan akan dikeluarkan dari dalam kawasan  hutan.  Kala itu,  Jokowi mengatakan,” Perkebunan yang masuk kawasan hutan sudah saya perintahkan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan untuk nantinya diberikan sertifikat. Tapi ini khusus untuk kelapa sawit milik rakyat.”

Jelas ini statemen Jokowi pada saat mencanangkan  program PSR. Namun  faktanya,  kata  Sadino,  kebun di dalam kawasan hutan, menjadi salah satu penghambat pelaksanaan  PSR, lantaran masyarakat tak memiliki legalitas lahannya.

Bukan hanya Sadino yang mengkritis pelaksanaan “gagalnya” program  PSR  ini.  Andi Akmal  Pasluddin, anggota  Komisi  IV DPRRI dasri  Fraksi  Partai  Keadilan Sejahtera, pun menyorot sangat kecilnya, capaian PSR yang baru  10 persen dari  target 2,8 juta hektar kebun sawit petani  yang mendesak untuk direplanting. ” Pemerintah  perlu  memngambil langkah langkah  taktis dan lebih serius,”tandasnya.

Berbicara sebagai narasumber pada Forum  Wakil Rakyat Bicara Sawit yang diselenggarakan  tim wartawan  DPR-RI, di Jakarta belum lama ini,  Andi mengakui, bahwa dalam  pelaksanaan  program  PSR, banyak ditemukan sejumlah kendala. Selain, banyak ditemukan perkebunan sawit rakyat di dalam kawasan  hutan, sehingga terhambat dalam kelengkapan persyaratan terkait legalitas lahan. Juga terkait dengan administrasi  pengurusan  PSR yang harus dipermudah.

“Kami sudah berkoordinasi dan memanggil BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Sekarang sudah ada penyederhaan administrasi jadi tinggal enam dari sebelumnya 12 persyaratan,” katanya.

Andi Akmal juga menjelaskan perlunya ada kesepahaman bahwa PSR ini adalah kerja bersama, termasuk juga DPR yang terus mencarikan cara yang diperlukan, termasuk mendorong bagaimana melakukan perubahan undang-undang perkebunan kalau memang itu sangat dibutuhkan.

Surat Pernyataan

Pada umumnya, persoalan mendasar dari lamban pelaksanaan  program  PSR, terkait dengan persyaratan yang harus dilengkapi petani.  Selain tidak mudah untuk mendapatkan, juga perlu waktu lama karena  bersentuhan  dengan  lembaga pemerintah yang terkadang penuh birokrasi. Sebut saja misalnya, dalam mendapat surat keterangan, bahwa lahan tersebut tidak masuk dalam kawasan hutan produksi, lindung maupun hutan lindung gambut dari Balai Pemanfaatan Kawasan  Hutan – BPKH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan juga bahwa areal  tanaman sawit petani  itu, tidak berada di lahan Hak Guna Usaha atasu HGU.

Setidaknya persoalan ini, sempat disampaikan Eddy  Abdurahman, Dirut BPDPKS, pada wartawan saat evaluasi akhir  tahun kemarin, 2022. “Capaian di tahun 2022 ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya,  utamanya disebabkan kendala terhadap pemenuhan persyaratan keterangan tidak berada di  kawasan hutan dan kawasan lindung gambut, serta keterangan tidak berada di lahan HGU (Hak Guna Usaha),” papar Eddy.

Bukan hanya  Eddy, tapi  R Aziz  Hidayat dari  WG Palm Oil Leader PISAgro Pada Acara FoSI 2023 di Instiper Yogyakarta , 24 November 202, juga sempat menyampaikan,  bahwa tantangan  pelaksanaan  PSR, terkait dengan legalitas  lahan.  Selain, legalitas lahan masih  SKT, belum SHM, juga terindikasi  dalam kawasan  hutan, dan tumpang  tindih  dengan HGU dan hak atas tanah lainnya.  “Lahan Pekebun Swadaya sebagian besar berupa SKT, banyak yg belum SHM, sebagian terindikasi berada di Kawasan hutan, belum memiliki STD-B, dan yang memperoleh Sertifikasi ISPO baru sedikit sekali,”katanya.

Jatmiko  Krisna Santosa, Dirut PT Perkebunan  Nusantara  V yang kini menjadi  Direktur Utama PalmCo, unit holding dari  Holding  PT Perkebunan Nusantara III, sangat merasakan betapa  tak mudahnya untuk memenuhi persyaratan ini, tatkala mitra PT Perkebunan Nusantara V,  sejumlah petani plasma yang tergabung dalam berbagai koperasi saat melengkapi persyaratan  PSR.

Kata dia, PT Perkebunan Nusantara V, telah memprogramkan  peremajaan  sawut  rakyat anggota plasma  PTPN V, seluas 60 ribu hektar, melibatkan sebanyak 120 petani plasma.  Dan sebagian kecil sudah dilakukan sejak 2012 melalui pendekatan  revitalisasi perkebunan dan kini dilanjutkan melalui  program  PSR dengan sumber pendanaan  BPDPKS.  “ Sampai  tahun 2026, kita harapkan bisa terealisasi seluas 22,444 ribu hektar, dan kini sudah terealisasi seluas  8,618  ribu hektar,”katanya.

Hanya memang dalam pelaksanaannya, tidak selalu mudah. Ada sejumlah factor  yang menghambat realisasi di lapangan, terkait dengan kelengkapan persyaratan. Salah satunya, pemenuhan kelengkapan  persyaratan terkait surat  pernyataan  tidak masuk dalam  kawasan hutan dan tidak tumpang tindih dengan  HGU. “  Pemenuhan persyaratan suket  ( surat keteragan-red) BPKH dan  BPN, membutuhkan proses dan waktu  yang tidak terukur,”katanya.

Terhadap persoalan ini, Jatmiko Santosa, sebagai solusinya  punya permikiran ideal. Kata dia, bagaimana kalau dirancang kebijakan satu pintu,  single window policy, yakni adanya  administratur  Ad Hoc yang terdiri  dari unsur BPKH, BPN dan BPDPKS, dipimpin  Dirjen Perkebunan. “ Ya.. ini pemikiran ideal kami, mengingat betapa mendesaknya pelaksanaan  program  PSR, sebagai penopang utama produksi sawit  nasional,”tandasnya dalam  Indonesian  Palm Oil  Stakeholders di Medan,  Oktober kemarin.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merasa berkepentingan, perlunya surat keterangan terkait dengan areal perkebunan sawit  tidak dalam kawasan  hutan.  Sebab pada  saat ini hasil indentifikasi  kementerian LHK, tak kurang  dari 3,4  juta hektar kegiatan usaha, sebagian besar perkebunan kelapa sawit. Bukan hanya perkebunan sawit masyarakat atau  rakyat, melainkan juga perusahaan perkebunan besar, baik perusahaan perkebunan besar anggota Gapki maupun non anggota.  “ Kalau merujuk pada 18  Surat Keputusan  Menteri LHK terkait  dengan  Data dan Idenfikasi  perkebunan sawit dalam kawasan hutan, ada sekitar 2,5 juta hektar diantaranya berupa perkebunan sawit,”kata  Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gapki.

Revisi Permentan

Pemerintah sangat menyadari bahwa program  PSR ini memang tak semata berorientasi pada perbaikan kesejahteraan  masyarakat petani sawit.  Melainkan juga untuk meningkatkan produksi sawit nasional.  Terlebih belakangan ini, ada indikasi kuat, bahwa produksi sawit  nasional mulai stagnan, bahkan cenderung turun.

Padahal  dalam Roadmap pemerintah yang dirancang Kantor Menko  Ekonomi,  pada saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan “Emas” pada  tahun 2045, produksi sawit dirancang mendekati 100 juta ton.  Sudah target yang sangat tinggi, mengingat  produksi sawit nasional pada saat ini masih dalam kisaran  50 juta hingga 51 juta ton.  Dan inipun ada gejala menurun, lantarannya banyaknya tanaman sawit  yang tak produktif karena sudah tua, hinghga menuntuit segera diremajakan.  Program ini memang sudah dilaksanakan, tapi dalam implmentasinya, tak semulus harapan  Presiden Jokowi saat mencanangkan program ini, Oktober 2017 di Sumsel.

Pemerintah sangat memaklumi berbagi keterbatasan yang dihadapi petani pekebun dalam memenuhi  berbagai persyaratan untuk mendapatkan  hibah dana peremajaan sawit  rakyat.  Sebetulnya,  menurut pengakuan  Sekditjen Perkebunan, Heru Tri  Widarto, langkah koreksi selalu dilakukan untuk mempermudah dan kelancaran proses  pelaksanaan  PSR.  Dia menyebut bahwa adanya revisi  Permentan No  03 tahun 2022 menjadi  Permentan  No 19 tahun 2023, sebagai langkah koreksi  yang sudah dilakukan, walau memang masih ditemui permasalahan di lapangan.

Kendati masih menggunakan dua jalur, jalur dinas dan jalur kemitraan, namun dalam proses pengusulan  kini lebih dipersingkat. Bila sebelumnya, kata  Heru Tri  Widarto, verikasi dokumen usulan diverifikasi oleh Dinas Perkebunan Kabupaten dan Dinas Perkebunan  tingkat provinsi, kini jalur dipersingkat, hingga verifikasi cukup dilakukan oleh  Dinas Kabupaten  yang kemudian disampaikan kepada  Ditjen Perkebunan untuk mendapatakan rekomendasi  teknis, sebelum disampaikan kepada  BPDPKS untuk pencairan dana.

Begitupun untuk jalur kemitraan,  perusahaan sebagai mitra dari  kelompok  tani, gabungan kelompok  tani, koperasi  maupun kelembagaan perkebunan lain, dapat langsung ke Ditjen  Perkebunan. Hanya memang sebelumnya, perusahaan perkebunan yang menjadi mitra, melakukan penelitian  dan memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen usulan yang dipersiapkan  kelompok mitra.  “ Dalam menjalin kemitraan, bentuk kerjasama perusahaan dengan kelompok  tani atau koperasi pun harus jelas;  Operator pengelola atau avails.

Tidak hanya itu, bila sebelumnya, legalitas lahan  yang harus disampaikan  petani pekebun, berupa  Sertifikat Hak Milik, SHM, namun pemerintah sangat menyadari, bahwa masih banyak petani  tak memilik SHM terhadap lahan kebunnya, maka terhadap petani  belum memiliki  SHM, maka pemerintah membuka peluang kepada petani, dengan memanfaatkan dokumen  penguasaan tanah, dibuktikan dengan pernyataan  penguasaan  fisik bidang tanah, atau  dasar penguasaan atas tanah sesuai dengan ketentuan perundangan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang.

“ Dalam hal  SHM berbeda  dengan identitas pekebumn, dokumen penguasaan  tanah dilengkapi dengan surat keterangan dari kepala  desa atau yang disebut nama lain,”kata  Ardi Praptono, SP, M.Agr, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma

Terkait dengan legalitas lahan, terutama kebun di dalam kawasan hutan, ataupun kemungkinan  tumpang  tindih dengan  HGU,  termasuk juga dalam hal kepemilikan lahan perkebunan,  mengingat eksistensi petani sawit, adalah  asset bangsa, dan telah memberikan kontribusi nyata di dalam  menggerakan ekonomi local, bahkan juga  ekonomi nasional, sejatinya pemerintah  berani membuat suatu keputusan politik yang berpihak kepada  petani. Sebab,  persoalan yang dihadapi  petani, pada dasarnya, bukan suatu permasalahan yang ada pada dirinya, melainkan sesuatu yang  bersentuhan langsung dengan kebijakan pemerintah.

“Bila pemerintah menilai bertapa urgentnya petani dalam menggerakan pertumbuahan ekonomi, sejatinya bantu dengan berbagai kemudahan, tidak dibebani dengan berbagai regulasi yang tak mudah untuk mereka penuhi,”kata Inshan  Norsi,  pakar ekonomi dan pengamat public.

Persoalan lain yang menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan program PSR, disebut Ketua Umum  Gapki  Eddy Martono, kurang memadai alokasi dana PSR. Dengan anggaran  yang hanya Rp 30 juta perhektar, dinilai Eddy sangat tak mencukupi. Sebab untuk perusahaan perkebunan besar, biaya  replanting itu dalam kisaran  Rp  60  juta  hingga Rp  70  juta.   “Karena keterbatasan  dana, hinggan membuat petani menunda keikutsertaan dalam program PSR,”kata  Eddy Martono.

Eddy sangat memahami, bahwa atas kekurangan dana  replanting itu, pemerintah menyarankan  petani agar menggunakan  dana sendiri.  Atau menggunakan dana pinjaman perbankan. Tapi arahkan itu, dinilai  Eddy, akan berat dilakukan petani.  Pertama,  pada umumnya petani tidak memiliki simpanan, sebagai cadangan dana peremajaan.  “ Ada sebagian dari mereka cenderung konsumtif hingga tak memiliki simpanan untuk meremajakan tanaman sawit yang sudah tua dan tidak productive,”Eddy menegaskan.

Begitupun bila menggunakan  dana perbankan.  Karena pinjamannya masih sangat besar, dalam kisaran  Rp  30 juta hingga  Rp 40 juta,  itupun sangat membebani petani.  “ Pengembalian  terlampau besar, higga mereka  takut terbebani,”tambahnya.

Eddy mengakui bahwa soal alokasi anggaran  ini,  sudah ada pembicaraan pemerintah untuk mendapatkan solusinya.  Ada kemungkinan  alokasinya ditambah, hanya dia belum  mengetahui, perkembangan terakhir dari pembicaraan pemerintah  ini.  “ Keputusan ada di Menteri  Koordinator bidang ekonomi,”ujar Eddy.

Eddy Abdurrachman,  Dirut  BPDPKS, mengakui  kemungkinan adanya peningkatan alokasi dana perhektar, seperti yang disampaikan  “Memang tidak menutup kemungkinan dana per hektar ini akan ditingkatkan, namun menunggu hasil observasi di lapangan terlebih dahulu berapa idealnya dana akan diberikan kepada petani sawit,” katanya belum lama ini.