TROPIS.CO, JAKARTA – Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat sangat tidak memadai, kurang dari 10 persen dari target 1 juta hektar, dalam masa 7 tahun terakhir. Padahal suksesnya PSR sangat diharapkan dalam meningkatkan produksi sawit yang kini stagnan dan cenderung terus turun. Dibutuhan kemauan politik pemerintah untuk membebaskan lahan petani dari berbagai persyaratan.
Program Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR, kini sudah berjalan hampir 7 tahun, sejak awal Presiden Joko Widodo, mencanangkan kali pertama, di Desa Panca Tunggal, Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat, 17 Oktober 2017. Kala itu, setidaknya ada 2.823 hektar kebun sawit milik 1308 kepala keluarga di Sungai Lilin yang menunggu replanting. Dan tak kurang dari 2,8 juta tanaman sawit petani lain, tersebar di Sumatera, Kalimantan, bahkan juga Sulawesi yang dimiliki tak kurang dari 1 juta petani, kondisinya bagai hidup enggan mati tak mau. Mereka juga mengharapkan adanya uluran tangan pemerintah untuk meremajakan kebunnya yang sebagian besar berusia lebih 20 tahun.
Tanaman sawitnya sudah sangat rentah. Produktivitas perhektar perbulannya, rata rata sudah di bawah 1 ton. Dan sangat tak menguntungkan lagi. Hasil yang didapat sudah tak seimbang lagi dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Terlebih lagi kini, disaat harga sejumlah saprodi- sarana produksi, seperti pupuk, pembasmi hama dan racun gulma, harganya selangit, membuat kehidupan petani semakin terhimpit.
Jadi tak usah heran bila melihat tanaman sawit mereka dalam kondisi daun enggan melambai. Tampak layu tak tegak, seakan tak bersemangat hidup, bertengger di batang kurus, menjulang tinggi. “ Ya.. sudah hampir 4 tahun tak dipupuk, rumputpun tak diracun hanya ditebas pakai parang, karena tak mampu beli,”kata Saharin, petani di kawasan Membalong, Belitung.
Pendapatan dari hasil penjualan sawit kepada pengepul, terkadang kurang Rp 1 juta, walau luas tanaman sawitnya, mendekati 2 hektar. “ Setiap kali panen, paling hanya dapat 400 kg,”katanya. Dan dalam sebulan dua kali panen. “kalau harga sawit Rp 1300/kg, pendapatan perbulan ya.. tak lebih dari Rp 1 juta,”ungkapnya.
“ Di Kabupaten Belitung ini, mungkin tak kurang dari 35 ribu hektar sawit masyarakat yang produktivitasnya sangat rendah, kini kami tengah melengkapi persyaratan untuk ikut program peremajaan,”kata Mahdar, ketua Apkasindo Belitong.
Bagi Mahdar tampaknya tak ada pilihan lain, baginya untuk menopang keberlanjutan tanaman sawit petani anggota Apkasindo, kecuali ikut dalam program PSR. Tapi tak mudah, untuk melengkapi persyaratanpun, kini sudah hampir setahun berlajalan. Belum juga tuntas, karena banyak persyaratan yang tak mungkin dilengkapi petani dengan waktu cepat. Sebut saja misalnya, legalitas lahan yang harus sertifikat, padahal sebagian besar petani, hanya memiliki Surat Keterangan Tanah atau SKT dari desa atau kecamatan.
“Sebagian besar legalitas lahan petani hanya berupa SKT, ada yang sertifikat, tapi itupun bisa dihitung dengan jari,”kata Mahdar lagi. Bahkan, tandasnya, tak sedikit juga diantara lahan kebun petani itu, tanpa dilengkapi surat menyurat. “Ini persoalan yang kami hadapi, padahal kebun mereka sudah tak layak lagi untuk diteruskan, meremajakan sendiri, mereka tak punya duit.”
Gulat ME Manurung, Ketua Umum Apkasindo, Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia, dalam Forum sawit Indonesia yang berlangsung di Jogkarta, 23 Nopember kemarin, sempat memaparkan betapa banyak persyaratan yang harus dilengkapi petani dalam mendapatkan kucuran dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS. Dalam paparan makalah “ Masa Depan sawit Indonesia dalam bingkai tantangan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat, dalam ekosistem bisnis sinergi”, Gulat mengurai sedikitnya ada 30 point kelengkapan persyaratan yang harus dipenuhi dalam program PSR.
Dan bila menyimak satu persatu kelengkapan persyaratan itu, sepintas memang tak mungkin terpenuhi semua oleh petani tanpa dibantu oleh pendamping. Ada persyaratan yang sifatnya sangat sederhana, seperti halnya kelengkapan persyaratan kelembagaan. Sebut saja, petani harus melengkapi; nama ketua kelembagaan, Nomor Induk Ketua kelembagaan, No. HP Ketua Kelembagaan. Email Ketua Kelembagaan, dan juga foto ketua kelembagaan.
Tak cukup hanya sampai itu. Petani pun dalam mengajukan permohonan bantuan dana PSR, harus melampirkan status kelembagaan, alamat kelembagaan dan legalitas kelembagaan. Dan kelembagaan yang dimaksud, aadalah kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan juga Koperasi Unit Desa atau KUD, dan koperasi primer lainnya. Karena memang, dalam mendapatkan bantuan dana PSR, persyaratan lainnya, petani harus tergabung dalam kelompok tani, atau Gabungan Kelompok tani, bila tidak tergabung dalam koperasi.
Tidak sulit memang untuk melengkapi persyaratan ini, karena pengajuan tidak dilakukan secara individu, tapi dilakukan oleh kelompok tani atau koperasi. Sehingga dengan sendirinya, persyaratan kelengkapan itu, bisa langsung dipenuhi oleh pengurus kelembagaan.
Namun tidak mudah bila menyangkut persyaratan yang harus dilengkapi oleh petani. Selain terkait legalitas lahan kebun sawit, petani juga harus mendapatkan surat keterangan dari Badan Pertanahan Nasional atau BPN setempat, terkait bahwa areal kebunnya, tidak berada di dalam kawasan Hak Guna Usaha atau HGU. Tak itu saja, harus ada juga surat keterangan dari Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan atau BPKH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terkait dengan surat keterangan tidak berada dalam kawasan hutan.
“ Banyak sekali, dan sangat rijik,”jawab Gulat ME Manurung. “Banyak surat surat pernyataan , termasuk surat pernyataan teknik peremajaan, surat pernyataan umur tanaman, surat mitra dengan bank, dan juga surat pernyataan terkait pembelian benih sawit.”
Dapat ditebak, rijit dan ruwetnya urusan persyaratan ini, sebagai biang kerok, tidak optimalnya pelaksanaan program PSR. Gulat memang tidak menyebut pulgar, soal persyaratan yang menghambat lajunya perkembangan PSR. Tapi dalam paparan pada forum yang juga dihadiri sejumlah pejabat pemerintahan, terkait dengan industri sawit, termasuk dari Menko Ekonomi, Kementerian Pertanian dan Dirjen Perkebunan, dan juga pejabat teras dari BPDPKS, dalam slide yang terkait dengan Realisasi PSR 2017 -2023, pada grafik target dan realisasi, ada tulisan berhurup merah berlatar belakang kuning “ Kok Melorot Terus” dengan tanda Tanya hitam besar diikuti tanda panah garis grafik tahun 2021.
Pada kotak biru, grafik tahun 2021 ini, memang tertulis target 180 ribu hektar. Namun garis merah kurva, dari tahun 2020, melorot mengarah ke angka realisasi 2021. Sagat tajam turunnya, nah ini yang dikomentari Gulat “Kok melorot terus”. Dan memang, realisasi tahun 2020 seluas 91.433 hektar, kemudian melorot tajam menjadi 27.747 hektar di tahun 2021, dan 17.793 hektar pada 2022. Terakhir 2023, 7.353 hektar.
Hanya memang, tahun 2023 baru sampai Maret. Kendati demikian dapat ditebak, realisasinya tidak bakal jauh dari tahun tahun sebelumnya. Jauh di bawah target yang hendak diwujudkan, yakni 180 ribu hektar setiap tahun, kecuali tahun 2022, 100 ribu hektar.
Kalau mengikuti perjalan program PSR, sejak dicanangkan oleh Jokowi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Oktober 2017, rata rata tingkat realisasi jauh dari target. Dalam target yang sangat rendahpun, di tahun tahun awal, yakni 2017, seluas 20.780 hektar, realisasinya hanya 13.337 hektar.
Jangan salah, ini baru sebatas realisasi rekomendasi teknis dari Ditjen Perkebunan, sebagai syarat pencairan dana oleh BPDPKS. Bukan realisasi kondisi lapangan, bahwa tanaman sawit tua dan tak produktif itu usai diland clearing, kemudian ditanam kembali. “ Benar itu, baru sebatas data rekomtek bukan realisasi lapangan,”akui Gulat ME Manurung.
Gulat menyebut, secara kumulatif realisasi PSR yang telah mendapatkan rekomendasi teknis, sejak 2017 hingga Maret 2023, mencapai 280.620 hektar. Namun yang mendapatkan kucuran dana BPDPKS, baru seluas 268.074 hektar. Ini senilai Rp 7.49 triliun untuk 123.653 petani yang tergabung dalam 1.550 kelompok tani, KUD dan Koperasi.
Namun perkembangan terakhir dari realisasi program PSR ini, seperti dipaparkan nara sumber dari BPDPKS, dalam Indonesian Palm Oil Stakeholders, forum yang diselenggarakan Gapki Sumatera Utara, 26 Oktober kemarin, realisasi penyaluran dana PSR hingga 30 September, telah mencapai Rp 8,512 triliun lebih. Dana sebesar ini dikucurkan kepada 134.770 pekebun untuk areal seluas 306.486 hektar.
Dapat Dikatakan Gagal
Sejatinya, bila program PSR ini dilaksanakan serius, tidak setengah hati, paling tidak hingga akhir tahun 2023 ini, sudah ada sekitar 1 juta hektar tanaman sawit baru. Bahkan, diantaranya, sudah ada yang tergolong pada Tanaman Menghasilkan (TM). Tanaman tahun 2017, seperti target 20300 hektar , kini semestiya sudah TM-3 yang produktivitas TBSnya sudah bisa mencapai 1000 – 1200 kg setiap bulan.
Begitu juga untuk tanaman tahun 2018, seluas 180 ribu hektar sudah memasuki TM-2, dan mulai berkontribusi menambah pasokan CPO nasional yang belakangan ini peningkatannya cenderung stagnan. Namun ternyata realisasinya sangat tak seimbang dengan ucapan presiden pada saat memulai program PSR – yang sangat menggebu gebu, bersemangat sembari mengatakan, kalau peremajaan sawit sudah berjalan, akan bergerak lagi ke karet, kopi, kemudian bergerak lagi ke kakoa.
BPDPKS telah menyebutkan bahwa realisasi sesuai dengan Rekomendasi teknis hingga September seluas 306 ribu hektar. Nah, ini artinya tak lebih dari 10 persen dari target sawit harus tertanam yang masa 7 tahun, 2017 – 2023, setidaknya 1.025.300 hektar. “ Semestinya, bila realisasinya hanya 300-an ribu hektar, kirang dari 10 persen, dan program ini dapat dikatakan gagal, pemerintah tidak serius berpihak kepada petani sawit, mereka lebih tergiur membantu para taipan yang mengembangkan industry biodesel,”tandas Sadino, pakar hukum lingkungan yang juga pemerhati industry sawit nasional.
Bagi Sadino, tak begitu bangga dengan apa yang disampaikan Eddy Abdurahman, Dirut BPDPKS, dalam Forum IPOC 2023 di Bali, awal Nopember kemarin, yang mengatakan, bahwa BPDPKS telah berhasil menyalurkan dana sebesar Rp 8 triliun lebih untuk petani sawit program PSR. Sebab letak suksesnya, kata Sadino, bukan pada besarnya dana yang dikucurkan, melainkan pada realisasi tanam dari program PSR.
“Realisasinya tanam kecil kok, jauh dari target, apakah ini dikatakan sukses, justru sebaliknya, bila realisasinya di bawah 10 persen, itu kategorinya gagal, dan pemerintah harus mengoreksi berbagai kelemahan dan hambatan dari pelaksanaan program PSR ini,”tandas kandidat Profesor yang kini juga aktif sebagai pengajar di Universitas Al- Azhar Jakarta.
Sejatinya Presiden Jokowi mengecek perkembangan dari program PSR. Bukan dalam sambutannya kala itu, Jokowi sudah berjanji akan mengecek. Sembari meniru ucapan Jokowi, Sadino mengatakan, “Ini perlu saya ingatkan, hari ini sudah mulai peremajaan, replanting, tapi setahun lagi atau awal 2019 akan saya cek kembali. Kerja dengan saya pasti saya cek, enak saja tidak dicek, jadi barang atau tidak? Jadi bibitnya, jadi bener dan baik tidak? Harus dicek, Kalau tidak dicek, enak nanti, setuju tidak?` kata Presiden Jokowi, di Musi Banyuasin, Sumsel, Jumat.
Bukan hanya itu, Bahkan Sadino masih ingat pasti, ucapan Jokowi terkait perkebunan rakyat yang di dalam kawasan hutan akan dikeluarkan dari dalam kawasan hutan. Kala itu, Jokowi mengatakan,” Perkebunan yang masuk kawasan hutan sudah saya perintahkan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan untuk nantinya diberikan sertifikat. Tapi ini khusus untuk kelapa sawit milik rakyat.”
Jelas ini statemen Jokowi pada saat mencanangkan program PSR. Namun faktanya, kata Sadino, kebun di dalam kawasan hutan, menjadi salah satu penghambat pelaksanaan PSR, lantaran masyarakat tak memiliki legalitas lahannya.
Bukan hanya Sadino yang mengkritis pelaksanaan “gagalnya” program PSR ini. Andi Akmal Pasluddin, anggota Komisi IV DPRRI dasri Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pun menyorot sangat kecilnya, capaian PSR yang baru 10 persen dari target 2,8 juta hektar kebun sawit petani yang mendesak untuk direplanting. ” Pemerintah perlu memngambil langkah langkah taktis dan lebih serius,”tandasnya.
Berbicara sebagai narasumber pada Forum Wakil Rakyat Bicara Sawit yang diselenggarakan tim wartawan DPR-RI, di Jakarta belum lama ini, Andi mengakui, bahwa dalam pelaksanaan program PSR, banyak ditemukan sejumlah kendala. Selain, banyak ditemukan perkebunan sawit rakyat di dalam kawasan hutan, sehingga terhambat dalam kelengkapan persyaratan terkait legalitas lahan. Juga terkait dengan administrasi pengurusan PSR yang harus dipermudah.
“Kami sudah berkoordinasi dan memanggil BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Sekarang sudah ada penyederhaan administrasi jadi tinggal enam dari sebelumnya 12 persyaratan,” katanya.
Andi Akmal juga menjelaskan perlunya ada kesepahaman bahwa PSR ini adalah kerja bersama, termasuk juga DPR yang terus mencarikan cara yang diperlukan, termasuk mendorong bagaimana melakukan perubahan undang-undang perkebunan kalau memang itu sangat dibutuhkan.
Surat Pernyataan
Pada umumnya, persoalan mendasar dari lamban pelaksanaan program PSR, terkait dengan persyaratan yang harus dilengkapi petani. Selain tidak mudah untuk mendapatkan, juga perlu waktu lama karena bersentuhan dengan lembaga pemerintah yang terkadang penuh birokrasi. Sebut saja misalnya, dalam mendapat surat keterangan, bahwa lahan tersebut tidak masuk dalam kawasan hutan produksi, lindung maupun hutan lindung gambut dari Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan – BPKH, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan juga bahwa areal tanaman sawit petani itu, tidak berada di lahan Hak Guna Usaha atasu HGU.
Setidaknya persoalan ini, sempat disampaikan Eddy Abdurahman, Dirut BPDPKS, pada wartawan saat evaluasi akhir tahun kemarin, 2022. “Capaian di tahun 2022 ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, utamanya disebabkan kendala terhadap pemenuhan persyaratan keterangan tidak berada di kawasan hutan dan kawasan lindung gambut, serta keterangan tidak berada di lahan HGU (Hak Guna Usaha),” papar Eddy.
Bukan hanya Eddy, tapi R Aziz Hidayat dari WG Palm Oil Leader PISAgro Pada Acara FoSI 2023 di Instiper Yogyakarta , 24 November 202, juga sempat menyampaikan, bahwa tantangan pelaksanaan PSR, terkait dengan legalitas lahan. Selain, legalitas lahan masih SKT, belum SHM, juga terindikasi dalam kawasan hutan, dan tumpang tindih dengan HGU dan hak atas tanah lainnya. “Lahan Pekebun Swadaya sebagian besar berupa SKT, banyak yg belum SHM, sebagian terindikasi berada di Kawasan hutan, belum memiliki STD-B, dan yang memperoleh Sertifikasi ISPO baru sedikit sekali,”katanya.
Jatmiko Krisna Santosa, Dirut PT Perkebunan Nusantara V yang kini menjadi Direktur Utama PalmCo, unit holding dari Holding PT Perkebunan Nusantara III, sangat merasakan betapa tak mudahnya untuk memenuhi persyaratan ini, tatkala mitra PT Perkebunan Nusantara V, sejumlah petani plasma yang tergabung dalam berbagai koperasi saat melengkapi persyaratan PSR.
Kata dia, PT Perkebunan Nusantara V, telah memprogramkan peremajaan sawut rakyat anggota plasma PTPN V, seluas 60 ribu hektar, melibatkan sebanyak 120 petani plasma. Dan sebagian kecil sudah dilakukan sejak 2012 melalui pendekatan revitalisasi perkebunan dan kini dilanjutkan melalui program PSR dengan sumber pendanaan BPDPKS. “ Sampai tahun 2026, kita harapkan bisa terealisasi seluas 22,444 ribu hektar, dan kini sudah terealisasi seluas 8,618 ribu hektar,”katanya.
Hanya memang dalam pelaksanaannya, tidak selalu mudah. Ada sejumlah factor yang menghambat realisasi di lapangan, terkait dengan kelengkapan persyaratan. Salah satunya, pemenuhan kelengkapan persyaratan terkait surat pernyataan tidak masuk dalam kawasan hutan dan tidak tumpang tindih dengan HGU. “ Pemenuhan persyaratan suket ( surat keteragan-red) BPKH dan BPN, membutuhkan proses dan waktu yang tidak terukur,”katanya.
Terhadap persoalan ini, Jatmiko Santosa, sebagai solusinya punya permikiran ideal. Kata dia, bagaimana kalau dirancang kebijakan satu pintu, single window policy, yakni adanya administratur Ad Hoc yang terdiri dari unsur BPKH, BPN dan BPDPKS, dipimpin Dirjen Perkebunan. “ Ya.. ini pemikiran ideal kami, mengingat betapa mendesaknya pelaksanaan program PSR, sebagai penopang utama produksi sawit nasional,”tandasnya dalam Indonesian Palm Oil Stakeholders di Medan, Oktober kemarin.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merasa berkepentingan, perlunya surat keterangan terkait dengan areal perkebunan sawit tidak dalam kawasan hutan. Sebab pada saat ini hasil indentifikasi kementerian LHK, tak kurang dari 3,4 juta hektar kegiatan usaha, sebagian besar perkebunan kelapa sawit. Bukan hanya perkebunan sawit masyarakat atau rakyat, melainkan juga perusahaan perkebunan besar, baik perusahaan perkebunan besar anggota Gapki maupun non anggota. “ Kalau merujuk pada 18 Surat Keputusan Menteri LHK terkait dengan Data dan Idenfikasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan, ada sekitar 2,5 juta hektar diantaranya berupa perkebunan sawit,”kata Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gapki.
Revisi Permentan
Pemerintah sangat menyadari bahwa program PSR ini memang tak semata berorientasi pada perbaikan kesejahteraan masyarakat petani sawit. Melainkan juga untuk meningkatkan produksi sawit nasional. Terlebih belakangan ini, ada indikasi kuat, bahwa produksi sawit nasional mulai stagnan, bahkan cenderung turun.
Padahal dalam Roadmap pemerintah yang dirancang Kantor Menko Ekonomi, pada saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan “Emas” pada tahun 2045, produksi sawit dirancang mendekati 100 juta ton. Sudah target yang sangat tinggi, mengingat produksi sawit nasional pada saat ini masih dalam kisaran 50 juta hingga 51 juta ton. Dan inipun ada gejala menurun, lantarannya banyaknya tanaman sawit yang tak produktif karena sudah tua, hinghga menuntuit segera diremajakan. Program ini memang sudah dilaksanakan, tapi dalam implmentasinya, tak semulus harapan Presiden Jokowi saat mencanangkan program ini, Oktober 2017 di Sumsel.
Pemerintah sangat memaklumi berbagi keterbatasan yang dihadapi petani pekebun dalam memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan hibah dana peremajaan sawit rakyat. Sebetulnya, menurut pengakuan Sekditjen Perkebunan, Heru Tri Widarto, langkah koreksi selalu dilakukan untuk mempermudah dan kelancaran proses pelaksanaan PSR. Dia menyebut bahwa adanya revisi Permentan No 03 tahun 2022 menjadi Permentan No 19 tahun 2023, sebagai langkah koreksi yang sudah dilakukan, walau memang masih ditemui permasalahan di lapangan.
Kendati masih menggunakan dua jalur, jalur dinas dan jalur kemitraan, namun dalam proses pengusulan kini lebih dipersingkat. Bila sebelumnya, kata Heru Tri Widarto, verikasi dokumen usulan diverifikasi oleh Dinas Perkebunan Kabupaten dan Dinas Perkebunan tingkat provinsi, kini jalur dipersingkat, hingga verifikasi cukup dilakukan oleh Dinas Kabupaten yang kemudian disampaikan kepada Ditjen Perkebunan untuk mendapatakan rekomendasi teknis, sebelum disampaikan kepada BPDPKS untuk pencairan dana.
Begitupun untuk jalur kemitraan, perusahaan sebagai mitra dari kelompok tani, gabungan kelompok tani, koperasi maupun kelembagaan perkebunan lain, dapat langsung ke Ditjen Perkebunan. Hanya memang sebelumnya, perusahaan perkebunan yang menjadi mitra, melakukan penelitian dan memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen usulan yang dipersiapkan kelompok mitra. “ Dalam menjalin kemitraan, bentuk kerjasama perusahaan dengan kelompok tani atau koperasi pun harus jelas; Operator pengelola atau avails.
Tidak hanya itu, bila sebelumnya, legalitas lahan yang harus disampaikan petani pekebun, berupa Sertifikat Hak Milik, SHM, namun pemerintah sangat menyadari, bahwa masih banyak petani tak memilik SHM terhadap lahan kebunnya, maka terhadap petani belum memiliki SHM, maka pemerintah membuka peluang kepada petani, dengan memanfaatkan dokumen penguasaan tanah, dibuktikan dengan pernyataan penguasaan fisik bidang tanah, atau dasar penguasaan atas tanah sesuai dengan ketentuan perundangan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang.
“ Dalam hal SHM berbeda dengan identitas pekebumn, dokumen penguasaan tanah dilengkapi dengan surat keterangan dari kepala desa atau yang disebut nama lain,”kata Ardi Praptono, SP, M.Agr, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma
Terkait dengan legalitas lahan, terutama kebun di dalam kawasan hutan, ataupun kemungkinan tumpang tindih dengan HGU, termasuk juga dalam hal kepemilikan lahan perkebunan, mengingat eksistensi petani sawit, adalah asset bangsa, dan telah memberikan kontribusi nyata di dalam menggerakan ekonomi local, bahkan juga ekonomi nasional, sejatinya pemerintah berani membuat suatu keputusan politik yang berpihak kepada petani. Sebab, persoalan yang dihadapi petani, pada dasarnya, bukan suatu permasalahan yang ada pada dirinya, melainkan sesuatu yang bersentuhan langsung dengan kebijakan pemerintah.
“Bila pemerintah menilai bertapa urgentnya petani dalam menggerakan pertumbuahan ekonomi, sejatinya bantu dengan berbagai kemudahan, tidak dibebani dengan berbagai regulasi yang tak mudah untuk mereka penuhi,”kata Inshan Norsi, pakar ekonomi dan pengamat public.
Persoalan lain yang menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan program PSR, disebut Ketua Umum Gapki Eddy Martono, kurang memadai alokasi dana PSR. Dengan anggaran yang hanya Rp 30 juta perhektar, dinilai Eddy sangat tak mencukupi. Sebab untuk perusahaan perkebunan besar, biaya replanting itu dalam kisaran Rp 60 juta hingga Rp 70 juta. “Karena keterbatasan dana, hinggan membuat petani menunda keikutsertaan dalam program PSR,”kata Eddy Martono.
Eddy sangat memahami, bahwa atas kekurangan dana replanting itu, pemerintah menyarankan petani agar menggunakan dana sendiri. Atau menggunakan dana pinjaman perbankan. Tapi arahkan itu, dinilai Eddy, akan berat dilakukan petani. Pertama, pada umumnya petani tidak memiliki simpanan, sebagai cadangan dana peremajaan. “ Ada sebagian dari mereka cenderung konsumtif hingga tak memiliki simpanan untuk meremajakan tanaman sawit yang sudah tua dan tidak productive,”Eddy menegaskan.
Begitupun bila menggunakan dana perbankan. Karena pinjamannya masih sangat besar, dalam kisaran Rp 30 juta hingga Rp 40 juta, itupun sangat membebani petani. “ Pengembalian terlampau besar, higga mereka takut terbebani,”tambahnya.
Eddy mengakui bahwa soal alokasi anggaran ini, sudah ada pembicaraan pemerintah untuk mendapatkan solusinya. Ada kemungkinan alokasinya ditambah, hanya dia belum mengetahui, perkembangan terakhir dari pembicaraan pemerintah ini. “ Keputusan ada di Menteri Koordinator bidang ekonomi,”ujar Eddy.
Eddy Abdurrachman, Dirut BPDPKS, mengakui kemungkinan adanya peningkatan alokasi dana perhektar, seperti yang disampaikan “Memang tidak menutup kemungkinan dana per hektar ini akan ditingkatkan, namun menunggu hasil observasi di lapangan terlebih dahulu berapa idealnya dana akan diberikan kepada petani sawit,” katanya belum lama ini.