Bila Insentif Biodiesel Dinikmati BU BBM

Pemerintah berupaya megembangan Biodiesel dalam upaya pengendalian peruybahan iklim. Namun pendekatan subsidi adalah langkah yang kurang tepat, karena penikmatnya hanya sekelompok perusahaan besar.
Kalangan produsen  FAME tak selalu diuntungkan dengan insentif yang diberikan pemerintah. Insentif hanya dikucurkan BPDPKS pada saat harga FAME lebih tinggi ketimbang harga solar.

 

Dari Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Bambang Aria Wesena , merespon terkait isu subsidi biodiesel yang dinikmati  kalangan produsen FAME ( Fatty Acid Methyl Ester), dalam kurun  sembilan tahun program biodiesel dikembangkan pemerintah.

Eksekutif di kelompok usaha perkebunan Jhonlin Agro Raya itu, menyebut subsidi atau insentif yang diterima produsen FAME, tak lebih dari kompensasi atas biaya yang dikeluarkan produsen untuk memproduksi biodiesel yang bakal diperuntukan sebagai campuran solar dalam program B100.

Dalam kebijakan harga biosolar, sekarang B35,  pemerintah menetapkan harga indeks pasar atau HIP solar dan FAME. setiap bulannya.  Agar alokasi FAME terpenuhi setiap tahunnya, maka pemerintah mendukung produsen FAME, melalui insentif yang besarannya, didasarkan atas selisih harga FAME. terhadap solar.

Namun bila harga solar lebih tinggi ketimbang FAME, maka  kebijakan insentif tidak berlaku. Lantaran tidak ada  insentif, hingga besarnya tagihan yang disampaikan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati atau BU BBN kepada BU Bahan Bakar Minyak, BBM pemegang izin niaga Umum, hanya sebatas biaya produksi ditambah ongkos angkut.

“Jadi insentif itu diterima produsen, bila harga FAME lebih tinggi dari harga solar, bila sebaliknya, tidak ada insentif,”tanbah Ernest Gunawan.

Sekjen Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia, Aprobi, mencontohkan kebijakan pemerintah untuk Januari 2024 untuk HIP FAME Rp 10.896/liter, sementara HIP solar Rp. 9.514,38. Dengan ketetapan HIP ini, ada selisih sekitar Rp 1300/liter,  ini sebagai konvensi dari kekurangan biaya produksi  FAME.

Hanya Ernest tidak menjelaskan berapa realnya biaya produksi yang diperlukan untuk memproduksi setiap liter FAME.  Namun  hitungan pemerintah sebagai dasar menetapkan HIP FAME, merujuk ada harga CPO hasil tender Kantor Pemasaran Bersama Nusantara, kini Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara.

Dalam penetapan HIP Januari 2024 misalnya, rujukan  harga. rata rata tender KPBN 25 Nopembet – 24 Desember, yakni Rp 11.206/kg.  Nah harga ini menjadi patokan, ditambah biaya produksi US 85 dolar/ton, dan kemudian dikalikan 870 kg/m3? sebagai faktor satuan dari kilogram ke liter

Dengan hitungan itu, memang sabgat beralasan bila kemudian Ernest Gunawan, kurang sependapat bila insentif dihilangkan, bila harga solar lebih rendah ketimbang FAME.  Karena membaiknya harga CPO bukan berarti harga FAME  bisa lebih rendah, justru sebalikanya. “ Harga CPO itu hanya menjadi acuan dalam pemerintah menetapkan HIP FAME,”ujar Ernest Gunawan.

Pemegang INU.

Kebijakan pemerintah memberikan insentif dalam program biodiesel, pada dasarnya hanyalah dinikmati kalangan produsen yang strategi pengembangannya dilakukan secara terintegrasi. Sebut saja misalnya, produsen itu memiliki sumber bahan baku,CPO dari kebun sendiri. Kemudian, pemegang Izin Niaga Umum ( INU). Karena  terintegrasi dengan perusahaan pemegang INU, maka produsen FAME bisa memblending  FAME dan solar sendiri, kemudian menjual sesuai harga pemerintah.

Perkiraan biaya pokok memblending FAME ke dalam solar hingga menjadi biosolar, relatif sangat kecil, karena bisa dilakukan pencampuran langsung pada truk tangki, asalkam komposisinya tepat. Sebut saja B35, ini berarti dalam biosolar itu terkandung 65% solar dan 35% FAME.

Lantas berapa harga pokoknya dapat dihitung, bila HIP solar tadi Rp 11.206/Liter, maka harga solarnya sekitar Rp 7.128/liter. Sedangkan nilai FAME, yakni HIP FAME, Rp 10.896/Liter. Alhasil sekitar Rp 3.814/Liter. Nah, artinya biaya pokok produksi satu liter biosolar, hanya sekitar Rp 11.142/Liter.

Sementara harga jual biosolar harga  pemerintah dalam kisaran Rp 21.250 hingga Rp 21.500/Liter. Dengan demikian, profit margin yang dinikmati produsen FAME pemegang INU, paling tidak  lebih dari Rp 10.000/Liter. Tentu akan lebih besar lagi bila ditambah insentif pemerintah – Januari 2024.sebesar Rp 1300/liter.

Tentu tak sebatas itu saja, bahwa produsen tipe ini, berpeluang pula mendapatkan cuan dari pengadaan solar. Sebab sebagai pemegang INU? terbuka bagi mereka mengimpor solar sendiri yang menurut hemat mereka, harga di dapat dari pengadaan solar, masih di bawah HIP solar yang ditentukan pemerintah.

Ernest Gunawan enggan mengemontari tekait profit margin yang dinikmati produsen FAME yang juga pemegang INU.” Itu bukan ranah kami,  kami Aprobi hanya sebatas biodiesel,”ujarnya.