Waspada Ada “Jebakan Batman” Dalam Kebijakan Biodiesel Progresif

Meningkatnya Beban Fiskal

Kedua, potensi meningkatnya beban fiskal karena peningkatan permintaan minyak Sawit untuk biodiesel.

Pengembangan biodiesel saat ini masih tergantung pada insentif yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk industri biodiesel. Insentif yang diberikan akan membengkak jika selisih harga FAME dari sawit sebagai input biodiesel lebih tinggi dari harga solar.

Insentif akan lebih besar lagi jika tingkat bauran FAME dalam biodiesel meningkat. Hal ini akan membawa dampak pada beban anggaran BPDPKS. Selama ini BPDPKS mendapatkan dana dari pungutan ekspor CPO.

Ada beberapa kali perubahan kebijakan pungutan ekspor, dan ada masa di mana BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan karena ketika harga CPO di bawah harga tertentu, tidak dikenai pungutan ekspor.

Hal ini tentunya menjadi risiko keuangan tersendiri bagi BPDPKS, dimana penerimaan sangat tergantung dari harga ekspor, sedangkan pengeluaran tergantung dari perbedaan harga CPO dengan harga solar.

Dengan risiko ekspor yang dapat menurun karena terserap oleh kebutuhan domestik, serta tingkat bauran dan volume produksi yang cenderung meningkat, maka risiko keuangan BPDPKS akan semakin tertekan.

“Jika anggaran BPDPKS tidak mencukupi untuk memenuhi insentif FAME, maka pengadaannya berpotensi membebani fiskal negara,” ungkapnya.

Pada tahun 2020 pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,78 triliun dari APBN untuk BPDPKS, yang menurut BPDPKS akan digunakan untuk mendukung pengembangan sawit berkelanjutan.

Ini merupakan kali pertama pemerintah mengalokasikan anggaran langsung ke BPDPKS, yang bertepatan dengan tahun pandemi.

Jika saja keuangan BPDPKS cukup tangguh, maka anggaran pemerintah tidak perlu terbebani, karena program sawit berkelanjutan sejatinya merupakan salah satu program BPDPKS.