Resolusi Konflik Pengelolaan Hutan di Tingkat

 Konflik KPH Dengan Masyarakat dan Dalam Pengusulan Perhutanan Sosial

Masalah utama dalam pengelolaan hutan di wilayah KPH adalah konflik tenurial yang menghambat operasionalisasi KPH menuju efisien, efektif dan lestari. Konflik KPH dengan masyarakat umumnya berlokasi di areal PBPH. Beragam jenis konflik tenurial yang ditemukan di areal PBPH meliputi klaim lahan okupasi, tuntutan ganti rugi tanam tumbuh, jual beli lahan hutan, klaim adat ulayat, tumpang tindih perizinan perkebunan, pertambangan, konflik batas akibat pemekaran daerah, illegal mining dan illegal logging dan okupasi lahan kiri kanan jalan logging.

Penyebabnya konflik ini adalah akibat termajinalkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan hidupnya bergantung pada hutan serta tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan hutan sejak jaman Orde Baru.  Lebih lanjut pada era pasca reformasi masyarakat memanfaatkan hutan secara bebas dan tak terkendali tanpa mengindahkan aturan sehingga mengancam kelestarian hutan.

Isu yang menonjol saat ini adalah banyaknya kawasan hutan yang telah berubah menjadi kebun sawit yang dimiliki oleh masyarakat secara ilegal. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa luasan kebun sawit illegal mencapai 3,3 juta hektar.  Hal ini sedang dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah sebagai upaya pemutihan kebun kelapa sawit di Kawasan hutan.

Konflik para pengelola KPH dengan pembuat kebijakan dan program perhutanan sosial (PS) meningkat eskalasinya di lapangan. Hal ini disebabkan pelaksana program PS hanya melihat lahan-lahan terbuka (open area) di Kawasan hutan yang kemudian di plot dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Dokumen PIAPS ini sidah menjalani revisi yang ketujuh atau ke delapan karena ketidaksinkronan arealnya di lapangan.

Konflik terjadi ketika KPH sudah menaglokasikan areal terbuka tersebut untuk dijadikan areal pengelolaan hutan yang akan dikerjasamakan baik dengan masyarakat atau dengan para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di bidang pemanfaatan kayu dan HHBK. Namun tiba-tiba sudah dipatok atau ditetapkan sebagai areal pencadangan PS. Hal ini berdampak kepada kurang atau tidak ada dukungan kepada KPH. Namun seiring jalannya waktu dan disadari betul oleh para pelaksana PS sehingga dalam penyusunan PIAPS nya yang disusun baru dipublikasikan setelah berkonsultasi terlebih dahulu pada kepala-kepala KPH di Tingkat tapak.

Konflik KPH dengan para pelaksana program PS semakin berkurang karena sejak keluarnya PP No. 23/2021 tugas KPH hanya menjadi fasilitator kegiatan pengelolan hutan termasuk pelaksanaan PS. Program pelaksanaan PS dilakukan bersama-sama dengan penyuluh kehutanan tingkat provinsi dan para pengelola KPH di Tingkat tapak sehingga program PS bisa berjalan baik dan lancar.