Resolusi Konflik Pengelolaan Hutan di Tingkat

Konflik Regulasi Antara Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Hutan

Sebenarnya persoalan otonomi daerah terkait dengan pengurusan dan pengelolaan hutan sudah diakomodir dalam Pasal 12 UUPK bahwa Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian dari wewenangnya di bidang Kehutanan kepada Pemerintah Daerah dengan Peraturan Pemerintah. Hadirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal sebagai UU Otonomi menjadi titik balik perubahan pemerintahan dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik sesuai dengan amanat dan tuntutan reformasi setelah jatuhnya Pemerintahan Orde Baru tahun 1998.

UU No. 22/1999 telah meletakkan otonomi yang luas kepada daerah di mana semua urusan pemerintahan adalah urusan pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama yang menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat serta kewenangan lain seperti kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro. Namun keberadaan UU Otonomi telah menempatkan daerah otonom tidak memiliki hubungan hierarki dengan satuan pemerintahan di atasnya. Kondisi kebijakan tersebut menyebabkan disharmoni hubungan antarsatuan pemerintahan pusat dan daerah (Humas Setkab, 2023).

Kehadiran UU Otonomi telah memunculkan raja-raja kecil di kabupaten/kota dengan kewenangan yang luas sehingga menimbulkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang berupa obral izin pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dimana ada banyak kabupaten/kota yang memberikan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha perkebunan (IUP) kepada para pengusaha yang luas areal izinya melebihi luas total wilayah administrasinya. Hal ini dimaknai bahwa biaya perizinan menjadi mahal dan seringkali digunakan untuk membiayai dana pemilihan kepala daerah (pilkada).  Kompas (23/07/2020) melaporkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pencalonan kepala daerah sekitar Rp. 200-800 miliar sebagaimana diungkap oleh KPK. Kemudian obral izin pengelolaan SDA dipredikasi meningkat jelang tahun politik sebagai ongkos atau amunisi menjelang pilkada (Kompas, 01/06/2018).

Keberadaan UU Otonomi tersebut berimplikasi langsung pada tidak efektifnya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, sebagai contoh adanya keengganan bupati/wali kota untuk dibina oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Hal ini menambah buruk kinerja pemerintahan daerah kabupaten/kota (Humas Setkab, 2023). Oleh karena itu setelah berjalan 5 tahun (1999-2004), kemudian UU No. 22/1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dasar pertimbangan yang memunculkan UU No. 32/2004 adalah persoalan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang masih perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global. Pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah juga harus disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam perjalanannya, UU No. 32/2004 masih saja memunculkan persoalan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang masih stagnan dan perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah. Di samping itu, UU No. 32/2004 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Hal ini melahirkan UU Pemerinthan Daerah terbaru, yaitu UU No. 23 Tahun 2014.

UU No. 23/2014 mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Hal penting dan subtansial dalam UU No. 23/2014 ini adalah Presiden sebagai penanggung jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan kewenangannya kepada gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah kabupaten/kota. Hal ini menjadikan peran gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat maka hubungan gubernur dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.

Khusus terkait pengelolaan hutan pasca terbitnya UU No. 23/2014 memunculkan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Lampiran BB. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan (halaman 116) membagi kewenangan bidang kehutanan dalam 1) Perencanan Hutan (otoritas pemerintah pusat); 2) Pengelolaan Hutan (pemerintah pusat dan provinsi); 3) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (pemerintah pusat dan provinsi dan kabupaten/kota); 4) Pendidikan dan Pelatihan, Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat di bidang Kehutanan (pemerintah pusat dan provinsi); 5) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) (pemerintah pusat dan provinsi); dan 6) Pengawasan Kehutanan (otoritas pemerintah pusat).

Jadi sebenarnya tidak ada konflik regulasi antara UU No. 23/2014 (Pemerintahan Daerah) dengan UU No. 41/1999 (Kehutanan) terkait dengan pengelolaan hutan, dimana KPHP dan KPHL sebagai pelaksana tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, pelaksanaan IUPHHK di Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL), pelaksanaan RHL di luar kawasan hutan, pelaksanaan perlindung hutan di HP dan HL, pelaksanaan pengolahan HHBK dan Kayu dibawah kapasitas 6000m³/tahun, dan pelaksanaan pengelolaan KHDTK. Dengan kewenangan yang sedemikian besar, pertanyaan mendasar adalah lembaga mana yang akan melaksanakan tugas pokok yang demikian besar kalau tupoksi KHP direduksi hanya sebatas fasilitasi kegiatan pengelolaan hutan di lapangan.

Dalam teori hukum dikenal asas hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” dalam Bahasa Latin yang artinya dalam bahas Inggris, yakni the special law derogates from the general law. Arti lengkap dalam Bahasa Indonesia adalah undang-undang yang khusus menghilangkan nilai dari undang-undang yang umum atau undang-undang khusus mengalahkan/ mengenyampingkan undang-undang umum (Shidarta dan Lakonawa, 2018).

Dalam hal pengelolaan hutan dengan KPH, asas hukumnya terbalik dimana UU No. 41/1999 (lex specialis) malah mengatur lebih banyak yang bersifat umum dari UU No. 23/2014 (legi generali). Hal ini disebabkan karena kehadiran UU No. 11/2021 (UUCK) telah merubah PP No. 6 Tahun 2007 menjadi PP No. 23/2021 yang sebenarnya tidak diperintahkan karena ternyata kewenangan pemerintah provinsi di bidang kehutanan masih tercantum dalam UU No. 23/2014. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa revisi PP No. 23/2021 harus direvisi selain tidak diamanatkan dalam UUCK dan juga dinilai bertentangan dengan UU pemerintahan daerah (UU No. 23/2014).