Resolusi Konflik Pengelolaan Hutan di Tingkat

 Resolusi Konflik Pengelolaan Hutan di Tingkat Tapak

Resolusi konflik pengelolaan hutan di tingkat tapak dapat dilakukan dengan: (i) melakukan revisi PP No. 23/2021 sebagai upaya revitalisasi tupoksi KPH, (ii) mempercepat Upaya pengukuhan Kawasan hutan, (iii) melaksanakan koordinasi terkait resolusi konflik antara KPH dengan dengan pelaku usaha (PBPH), (iv) melaksanakan 3 pendekatan utama dalam resolusi konflik tenurial di lapangan, dan (v) memilih pendekatan kesejahteraan melalui kemitraan Masyarakat sebagai prioritas penanganan konflik tenurial di lapangan.

Revisi PP No. 23/2021 harus dilakukan sebagai Upaya revitalisasi tupoksi KPH. Hal ini dilakukan karena PP tersebut telah mereduksi tiga fungsi pokok KPH menjadi hanya sebagai fasilitator semata. Revisi PP No. 23/2021 terkait tupoksi KPH ini tidak menyalahi aturan legal formal karena isu “negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya” (Qasasi, 2015; Tjiptaning, 2018) tidak terkait konteks dan sama sekali tidak relevan dengan revisi tupoksi KPH.

Sudah menjadi hal yang umum diketahui hambatan fundamental pembangunan KPH adalah pengukuhan kawasan hutan yang belum selesai, disamping terbatasnya kapasitas sumber daya manusia KPH serta dukungan sarana-prasarana dan pendanaan. Pengukuhan kawasan hutan yang belum selesai mengakibatkan permasalahan konflik tenurial. Sementara kemantapan kawasan hutan merupakan solusi awal menyelesaikan konflik penguasaan lahan menuju pembangunan KPH yang efektif, efisien dan lestari.

Resolusi konflik di areal PBPH berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2020 Pasal 157 ayat 2 diawali pemegang PBPH wajib melaksanakan identifikasi dan pemetaan konflik yang ada di wilayah kerjanya sebagai dasar penyusunan resolusi konflik yang tepat sesuai dengan kondisi, status, kriteria, intensitas dan faktor-faktor penyebab konflik.  Berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan konflik maka status potensi konflik terbagi menjadi sangat kritis, kritis, waspada, terkendali dan aman.

Mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 8 tahun 2021 lampiran V pendekatan resolusi konflik dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu: a) pendekatan melalui mekanisme legal atau jalur hukum formal; b) pendekatan melalui mekanisme penyelesaian alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR); dan c) melalui mekanisme pendekatan kesejahteraan.

Penyelesaian konflik secara legal formal adalah proses penyelesaian konflik melalui mekanisme hukum formal yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum, didasarkan pada hukum tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta dilakukan melalui sebuah proses beracara yang standar.  Kasus-kasus konflik yang bisa diselesaikan melalui mekanisme legal formal merupakan kasus–kasus yang berdasarkan peraturan formal posisi hukum PBPH sangat jelas dan kuat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat tidak cukup memiliki bukti yang jelas dan kuat atas lahan yang disengketakan baik secara formal maupun secara ketentuan adat di mana masyarakat tersebut bukan merupakan masyarakat adat/ masyarakat setempat (bukan masyarakat pendatang).

Pendekatan Resolusi Konflik dengan menggunakan jalur legal terbagi dalam 2 (dua) pendekatan yaitu: a). pendekatan keamanan bila unsur pidana dari kasus konflik telah muncul secara jelas dan nyata dengan bukti-bukti yang kuat; dan b). pendekatan melalui peradilan formal. Pendekatan penyelesaian melalui jalur peradilan merupakan pilihan terakhir, yakni setelah penyelesaian melalui jalur di luar peradilan menemui kegagalan atau sudah di luar kemampuan KPH.  Penegakan hukum merupakan pendekatan mekanisme resolusi konflik yang memiliki jaminan keadilan dan kepastian hukum. Dalam pelaksanaannya diperlukan koordinasi dengan berbagai pihak meliputi Balai Penegakan Hukum, Polsek, Kejaksaan/Pengadilan Negeri.  Sebagai contoh penegakan hukum adalah dalam menindak orang perorangan atau pihak lain yang berusaha untuk mempengaruhi seseorang melakukan penebangan secara liar dengan cara memberikan sejumlah uang.

Sementara itu penyelesaian konflik secara Altenative Dispute Resolution (ADR) atau mekanisme penyelesaian sengketa alternatif adalah proses penyelesaian konflik melalui mekanisme selain jalur hukum formal dengan tujuan memperoleh penyelesaian konflik yang bersifat winwin solution (saling menguntungkan) antara pihak-pihak berkonflik. Win-win solution adalah prinsip Resolusi Konflik melalui mekanisme penyelesaian sengketa secara alternatif di mana penyelesaiannya dilakukan secara elegan, tidak ada pihak yang kalah (kehilangan muka) serta memberikan perspektif menyembuhkan (healing) kepada para pihak (terutama korban) melalui pencapaian sebuah konsensus yang saling menguntungkan. Lebih jauh kasus-kasus konflik yang bisa diselesaikan melalui mekanisme ADR adalah kasus-kasus konflik yang bersifat adat, kasus konflik yang belum menimbulkan dampak pidana, atau kasus-kasus konflik yang bersifat khusus sehingga membutuhkan penyelesaian khusus. Termasuk didalamnya antara lain kasus konflik yang melibatkan masyarakat pendatang namun bersedia melakukan musyawarah. Dengan demikian, inti mekanisme penyelesaian konflik melalui ADR adalah melalui musyawarah untuk mufakat sehingga setiap PBPH membutuhkan keberadaan personalia negosiator.

Pendekatan kesejahteraan adalah sebuah pendekatan dalam pencegahan dan penanganan konflik pada areal PBPH melalui berbagai program pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat dan disepakati oleh pihak pemegang PBPH dan masyarakat. Kasus-kasus konflik yang bisa diselesaikan melalui pendekatan resolusi konflik melalui mekanisme kesejahteraan yaitu terhadap kasus-kasus konflik dengan status rendah atau sangat rendah, bisa dilakukan pencegahan ledakan konflik melalui pendekatan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan antara lain dilakukan melalui kelola sosial dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan Resolusi Konflik, bisa bersifat tunggal namun juga bisa merupakan kombinasi lebih dari satu pendekatan misalnya gabungan antara pendekatan Resolusi Konflik ADR dengan pendekatan kesejahteraan.

Selanjutnya Resolusi Konflik yang akan diambil dalam menyelesaikan konflik akan selalu menggunakan pendekatan legal formal sepanjang kasus konflik yang terjadi memiliki unsur pidana apapun status potensi konfliknya, baik sangat kritis, kritis, waspada, terkendali ataupun aman. Sementara mekanisme ADR bisa diterapkan pada konflik dengan status sangat kritis, kritis, waspada, dan terkendali. Sedangkan untuk kasus dengan status konflik waspada, terkendali, dan aman bisa digunakan pendekatan kesejahteraan.

Dari ketiga pendekatan tersebut, maka prioritas resolusi konflik yang dilakukan KPH adalah pendekatan kesejahteraan melalui kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini nampaknya sangat dianjurkan karena dapat tercapainya kondisi win-win solution serta adanya potensi mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan oleh PBPH menurut Siswoko (2021) antara lain Coorporate Social Responsibility (CSR) sebagai tanggung jawab sosial yang berbeda dari aktivitas utama perusahaan, dan Creating Share Value (CSV) yang merupakan bagian integral dari aktivitas bisnis perusahaan. Perbedaan yang mendasar antara CSR dan CSV adalah pada pendekatan mereka terhadap tanggung jawab sosial perusahaan. CSR lebih bersifat filantropis, dimana perusahaan memberikan dukungan dan donasi untuk kegiatan sosial dan lingkungan. CSV lebih berfokus pada menciptakan nilai bagi perusahaan dan masyarakat, dimana perusahaan menyediakan solusi untuk masalah sosial dan lingkungan melalui produk atau layanan yang mereka tawarkan. Bentuk CSR yang dilakukan PBPH berupa bantuan sarana ibadah, bea siswa dan pembangunan sarana prasarana desa. Sedangkan untuk CSV berupa masyarakat memborong kegiatan perusahaan di bidang pembuatan kompos, kegiatan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan tanaman.  Sedangkan kegiatan PBPH dalam kemitraan kehutanan dapat berupa CSR dimana masyarakat dibantu dapat melakukan kegiatan agroforestry, tanaman pangan, slyvopasteury di lahan PBPH ataupun CSV melibatkan masyarakat dalam kegiatan bisnis PBPH yaitu tanaman kayu atau multi usaha kehutanan.

Penutup

Tupoksi KPH yang berbeda antara sebelum dan sesudah lahirnya UUCK telah berdampak terhadap kinerja KPH yang terpantau menjadi sangat rendah karena PP No. 23/2021 yang telah mereduksi tiga fungsi KPH (administrasi, bisnis dan sosial) menjadi fungsi fasilitasi dengan dampak utamanya penurunan jumlah anggaran untuk kegiatannya di lapangan.  Dampak lainnya konflik yang terjadi wilayah KPH menjadi semakin marak baik dengan pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah pusat terkait dengan pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di tingkat tapak.

Peran KPH sangatlah penting untuk dapat mengelola konflik sosial di wilayah kerjanya, sehingga diperlukan adanya pedoman teknis penanganan konflik yang komprehensif, pelatihan kemampuan bernegosiasi, mediasi dengan masyarakat maupun pemegang PBPH dan jika diperlukan memiliki konsultan pendamping yang memiliki kompetensi, keterampilan, dan rekam jejak pengalaman dalam proses-proses pendampingan identifikasi dan pemetaan konflik sampai dengan tahap penanganan konflik.

Adapun resolusi konflik pengelolaan hutan di tingkat tapak yang ditawarkan meliputi: (i) Revisi PP No. 23/2021 sebagai upaya revitalisasi tupoksi KPH, (ii) Percepatan upaya pengukuhan Kawasan hutan, (iii) Pelaksanaan koordinasi terkait resolusi konflik antara KPH dengan dengan pelaku usaha (PBPH), (iv) Penerapan 3 pendekatan utama dalam resolusi konflik tenurial di lapangan, dan (v) Pemilihan pendekatan kesejahteraan melalui kemitraan Masyarakat sebagai prioritas penanganan konflik tenurial di lapangan.

Daftar Pustaka

Humas Setkab. 2023. Perkembangan Konsep Pembinaan dan Pengawasan Dalam Peraturan Perundang-undangan dari Tahun 1999 Sampai Sekarang. https://setkab.go.id/perkembangan-konsep-pembinaan-dan-pengawasan-dalam-peraturan-perundang-undangan-dari-tahun-1999-sampai-sekarang/

Kastori, R. 2022. Pengertian Konflik Sosial, Penyebab, Dampak, dan Bentuk-bentuknya. https://www.kompas.com/skola/read/2022/08/23/150000769/pengertian-konflik-sosial-penyebab-dampak-dan-bentuk-bentuknya

Larson, A.M. 2013 Hak tenurial dan akses ke hutan: Manual pelatihan untuk penelitian. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Mukarom, M. 2023, Asosiasi KPH Siap Usulkan Revisi PP 23/2023.  https://tropis.co/2023/12/15/asosiasi-kph-siap-usulkan-revisi-pp23-2021.

Nugroho, B., Setiajiati, F., Rahayu, N.H., Indarto, A.M., Meilantina, M., Boer, R., dan Rafiuddin, A. 2023. Peran Kesatuan Pengelolaan Hutan Pascaterbit Undang-Undang Cipta Kerja dan Implikasinya. Policy Brief Pertanian, Kelautan, Dan Biosains Tropika Vol. 5 No. 1 Tahun 2023. Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik. IPB University, Bogor.

Qasasi, A. 2015. BPK sebut pemerintah tidak boleh berbisnis dengan rakyat, https://www.merdeka.com/uang/bpk-sebut-pemerintah-tidak-boleh-berbisnis-dengan-rakyat.html.

Shidarta dan Lakonawa, P. 2018. Lex Specialis Derogat Lefi Generali: Makna dan Penggunaannya.https://business-law.binus.ac.id/2018/03/03/lex-specialis-derogat-legi-generali/.

Soekanto. S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Siswoko, E. 2021. Pengalaman dan Mekanisme Mediasi Konflik di areal Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Makalah pada Workshop Meknisme Resolusi Konflik. 10-11 September 2021.

Subarudi. 2023. Revitalisasi Tupoksi KPH Dalam Pengelolaan Hutan Lestari. https://tropis.co/2023/12/13/19141/.

Tjiptaning, R. 2023. Negara Tidak Boleh Berbisnis dengan Rakyatnya. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/19416/t/javascript.