TROPIS.CO, LAMPUNG – Kawasan hutan lindung Gunung Balak, Lampung Timur, diorientasikan menjadi sentral alpokat nasional beromset sedikitnya Rp1,6 triliun SEtahun.
Walau pada awal awalnya banyak yang kurang merespon pengembangan alpokat ini, tapi belakangan setelah melihat ada masyarakat tani yang berhasil mengembangkan bibit vegetative, dan menjualnya seharga Rp 25.000 per batang, tak sedikit masyarakat yang kini mulai bertanam alpokat.
Idi Bintara, Kepala Balai DASRH Sei Seputih Sei Sekampung, Lampung, sempat mencatat paling tidak, kini sedikitnya ada 150 rumah di Desa Girimulyo telah menjadi pusat pembibitan alpokat. Kendati belum mendapatkan angka pasti, berapa jumlah bibit yang tersemai, tapi Idi telah mendapat laporan, bahwa dalam kurun 1 – 1,5 tahun terakhir, telah terjual sedikitnya 300 ribu bibit seharga Rp 25 ribu/batang.
Dengan demikian, Idi menghitung, dalam kurun 1 hingga 1,5 tahun terakhir, di kawasan Gunung Balak, telah terjadi perputaran uang sangat tinggi, yakni sekitar Rp7,5 miliar. Sungguh nilai yang relative besar, bila dibandingkan modal awal yang dikucurkan pemerintah, melalui BPDAS- RH Sei Seputih Sei Sekampung yang hanya Rp97 juta.
Dana senilai ini, sekitar dua tahun nan silam, dikucurkan BPDASRH, untuk merehabilitasi lahan kritis di kawasan Lindung Gunung Balak, tepatnya di sekitar Desa Girimulyo, seluas 15 hektar. Program itu dilakukan secara swakelola oleh masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani hutan Agromulyo Lestari.
“Dana itu kita transferkan langsung ke rekening masing masing anggota kelompok,”kata Idi Bintara. Sehingga semua kegiatan lapangan dilakukan sendiri oleh kelompok, dan jenis tanaman telah disepakati alpokat. “PDAS tidak mengintervensi, kita memonitor dan mengedukasi saja,” tambahnya.
Lagi pula, kuncuran dana itu tidaklah sepadan dengan kebutuhan biaya penanaman 1 hektar akpokat – yang hingga panen, masa tiga tahun, butuh sedikitnya Rp 50 juta per hektare. Artinya, untuk merehab areal seluas 15 hektar itu, dibutuhkan anggaran paling tidak, Rp 750 juta. “Nah, kekurangan itu disubsidi langsung oleh masyarakat tani,”tandas Idi Bintara.
Memang tidak dalam bentuk dana cash. Namun untuk pemeliharan, beli pupuk, pestida, pendangiran, hingga panen dilakukan sendiri oleh masing masing petani. Dan subsidi itu, termasuk juga upah kerja mereka, selama pemeliharaan hingga memasuki masa panen.
Tingginya kontribusi dan partisipasi masyarakat dari kelompok tani, membuat Idi sangat optimis, suatu saat kawasan lindung Gunung Balak, terutama di kawasan Desa Girimulyo, bisa berkembang menjadi sentra alpokat nasional dengan omset perdagangan yang sangat tinggi setiap tahunnya. Sehingga kemudian menjadi penggerak percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah Provinsi Lampung.
Idi memang sempat memprediksi, besarnya nilai rupiah yang bakal dihasilkan tanaman alpokat ini. Dalam hitungan perbatang rata rata 200 kg, dengan harga jual terendah Rp 10.000/kg, maka setidaknya, perbatang bisa mendatangkan duit Rp 20 juta. Lalu kalikan lagi 400 batang dalam 1 hektar, berarti satu hektar bisa menghasilkan Rp 800 juta untuk sekali musim panen.
Umumnya, tanaman alpokat, kata Idi Bintara, panen 2 kali dalam setahun. Jadi, dalam setahun, perhektar bisa menghasilkan Rp 1,6 miliar. Andaikata, di kawasan Gunung Balak ini, sedikitnya ada 1000 hektar, berarti perputaran uang di kawasan ini, mencapai Rp 1,6 triliun.
Bahkan, Idi pun sangat menyakini, mengamati semangat dan gerak masyarakat yang sangat antusias mengembangkan tanaman alpokat, dalam tempo tak berapa lama, luasan tanaman alpokat bakal jauh di atas 1000 hektar. Pada saat ini saja, bila mengetahui jumlah bibit yang terjual sudah menembus angka 300 ribu, maka paling tidak pada saat di kawasan Gunung Balak dan sekitarnya, sudah tertanam sedikitnya 750 hektar alpokat. Jadi ada potensi besar, bahwa omset dari perdagangan alpokat bakal jauh dari Rp 1,6 triliun.