Uni Eropa Gunakan EUDR untuk Kendalikan Sawit Indonesia

Di-Take Out Uni Eropa

Tekanan Eropa terhadap sawit Indonesia juga diakui Mukhamad Faisol Amir dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS).

Minyak sawit menjadi satu-satunya minyak nabati yang di-take out dari renewable energy oleh Uni Eropa.

Baca juga: Mendorong Keterlibatan Masyarakat Perdesaan Hasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan

“Mereka tidak memasukkan sawit sebagai minyak nabati yang direkomendasikan untuk digunakan dalam memproduksi biofuel,” katanya.

Menurutnya, ini semakin menguatkan alasan Indonesia untuk terus memperkuat posisi di pasar internasional dan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.

“Indonesia harus segera keluar dari ketergantungan pasar dari negara-negara yang menerapkan hambatan dagang seperti Uni Eropa,” ujar Eugenia.

Sementara itu, Dr. M. Fadhil Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI menyoroti daya saing minyak sawit di pasar global.

Baca juga: Minyak Sawit Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan

Ia mengakui bahwa saat ini suplai minyak sawit sedang tidak baik-baik saja, peningkatan produktivitas minyak sawit terus turun sejak 2005 silam.

Sedangkan dari sisi demand ada pergeseran dari ekspor ke domestik, ekspor mengalami stagnasi atau bahkan negatif.

Namun di sisi domestik terjadi peningkatan kebutuhan, terutama untuk biodiesel yang saat ini sudah menjalankan kebijakan B35.

Walaupun Indonesia mengalami penurunan daya saing, menurutnya, tapi harga sawit masih tetap kompetitif.

Baca juga: Ada 16 Juta Orang yang Hidupnya Bergantung dari Sawit

Ada banyak tantangan dan hambatan dalam hal menjaga daya saing minyak sawit Indonesia dari sisi pasokan dan permintaan.

Dari sisi pasokan, kuncinya adalah peningkatan produktivitas, terutama produktivitas petani rakyat.

Karena itu, menurutnya, program replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan penggunaan teknologi yang lebih baik menjadi langkah yang sangat penting. (*)