Kolaborasi Kunci Sukses FoLU Net Sink 2030.

Belinda "kolaborasi Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, langkah sukses target FoLu Net Sink 2030

TROPIS.CO, JAKARTA –  Kolaborasi telah menjadi  kunci akan keberhasilan  sektor FoLU berkontribusi optimal dalam penurunan emisi gas rumah kaca.  Dan kolabarasi tak sebatas pemerintah pusat  dengan pemerintah daerah, tapi juga antar pihak di Indonesia dalam menyikapi masyarakat internasional terhadap peran yang akan  dimainkan  Indonesia.

Indonesia harus mampu memberikan  lesson  learned kepada negara maju untuk mencontoh apa yang kita lakukan.  Dan harus berani untuk menegaskan, bahwa mereka  tidak sama dengan Indonesia, dan mereka mempunyai tanggungjawab besar atas memanasnya suhu global. Karena industri merekalah yang mempercepat terjadinya perubahan iklim.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memang telah mentargetkan  kontribusi  FoLU ini setidaknya 60 persen, terhadap  total penurunan emisi global.  Hanya memang, target ini bisa tercapai,  kata Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan  Pertimbangan Pengendalian perubahan iklim, andai kolaborasi semua pihak di Indonesia, bisa terbangun dengan baik dan optimal.

Sarwono Kusumaatmadja melanjutkan, belum lama ini, KLHK  telah melakukan penjabaran peran dan keluaran yang diharapkan dari masing-masing pihak dalam operasional FOLU Net Sink 2030. Hanya memang, lantaran perubahan iklim adalah permasalahan  yang teramat kompleks, ditambah lagi dengan  sirtuasi global  yang cenderung multi kritis, maka suksesnya FOLU Net Sink (2030) ini, akan tergantung dari sejauh mana kolaborasi antar pihak di Indonesia dan juga sikap dunia internasional terhadap kita.

Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (Ditjen PKTL), KLHK, Belinda Arunawati Margono, pun menyebut berbagai kebijakan yang menjadi dasar dari percepatan implementasi  FoLU ini, sudah diterbitkan pemerintah.

Belinda menyebut; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri LHK Nomor 72 Tahun 2017. Namun berbagai kebijakan ini,  mungkin  belum tentu efektif, anda kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, beklum terjalin utuh, karena kolaborasi ini  menjadi butir penting dalam kegiatan tersebut.

“FOLU Net Sink 2030 dilakukan sampai ke tingkat tapak dan (pelaporan) penurunan emisinya akan dilakukan mengikuti prosedur Monitoring, Reporting and Verification (MRV), dari pelaksana aksi mitigasi, kemudian ke Bupati/Walikota, dan bentuk laporannya dari Gubernur yang disampaikan kepada Menteri LHK,” jelas Belinda.

Sementara Wakil Rektor  IPB, Bidang Kerja Sama dan Sistem Informasi, Dodik Ridho Nurrochmat menjelaskan, ada  tiga peran penting akademisi dalam FOLU Net Sink 2030. Pertama, menjaga arah sesuai amanat konstitusi. Kemudian,  mengawal proses sesuai kaidah keilmuan. Dan terakhir, memastikan target dapat tercapai.

Dodik juga menekankan bahwa penurunan emisi gas rumah kaca tidak hanya menjadi permasalahan negara berkembang, namun juga merupakan permasalahan negara maju. Karena itu,  menjadi  kewajiban kita bersama,  untuk mendorong mereka (negara maju) mencontoh kita, kita memberikan lesson learned kepada mereka dan mengingatkan bahwa mereka tidak sama dengan kita, melainkan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indroyono Soesilo menyampaikan peran dan strategi dunia usaha dalam mencapai FOLU Net Sink 2030.  Terdapat 567 unit Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Indonesia yang akan melaksanakan aksi mitigasi untuk pengurangan emisi dan meningkatkan cadangan serapan karbon, termasuk dengan Teknik Silvikultur Intensif (SILIN), Reduced Impact Logging Carbon (RIL-C), Pengayaan, dan kegiatan-kegiatan lain termasuk agroforestry. Indroyono juga menjelaskan usulan APHI mengenai skema pembiayaan melalui mekanisme perdagangan karbon dan kebijakan nilai ekonomi karbon, baik domestik maupun internasional. Dalam perdagangan karbon melalui mekanisme business to business (B to B), harus ditekankan bahwa karbon tersebut tetap dihitung milik Indonesia, bukan negara pembeli.

“Dua-duanya (skema perdagangan karbon melalui Result-based Payment (RBP) dan voluntary cooperation) harus melalui persetujuan Menteri (LHK), B to B dengan syarat NDC-nya tetap punya kita,” ujar Indroyono.