Mengintegrasikan Industri Hulu hingga Hilir Sawit Berkelanjutan

Ketentuan EUDR

Sementara dikatakan Dewan Redaksi InfoSAWIT, Edi Suhardi, munculnya kebijakan EU Deforestation Regulation (EUDR), memang akan memunculkan kekhawatiran terkait keberlanjutan dalam integrasi industri kelapa sawit, sebab itu dibutuhkan kompromi perdagangan yang adil untuk mengatasi hambatan perdagangan dan proteksionisme; dan deprivasi pengentasan kemiskinan.

Diakui atau tidak kata Edi, keberlanjutan minyak sawit telah menjadi keharusan dengan berbagai standar dan sistem, definisi dan kriteria keberlanjutan akan terus berkembang.

Hanya saja pekebun perlu menentukan posisi dan platform komitmen keberlanjutannya, akankah masih berkutat di proses yang lebih progresif atau tradisional.

“Perlu mengenali keragaman pasar dan standar keberlanjutan multi-tier dan membangun koalisi minyak sawit untuk menolak upaya menciptakan norma keberlanjutan pasar tunggal,” katanya.

Baca juga: Begini Standar Ganda Uni Eropa terhadap Sawit Indonesia

Ke depan perlu pula membangun komitmen baru yang berimbang pada keberlanjutan (sustainability), apalagi UE bukan satu-satunya pembawa standar Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan.

“Pasar UE akan tetap menjadi potensi pasar dengan standar yang ketat.”

“Sementara label bebas deforestasi dan keberlanjutan tidak akan mempengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia ke UE, pasar terus beradaptasi.”

“Namun, itu hanya akan berpengaruh terhadap petani sawit swadaya,” katanya.

Baca juga: Harga Tinggi, Sayang Produksi CPO dan PKO Indonesia Malah Turun

Sementara diungkapkan Rukaiyah Rafiq dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), secara umum penerapan praktik sawit berkelanjutan khususnya bagi petani sawit swadaya bukanlah hal yang mustahil.

Hanya saja prosesnya hingga saat ini masih dihadapkan kepada beragam kendala.

Terbukti sampai saat ini areal kelapa sawit petani sawit swaday masih sangat minim atau masih sektar 2 persen dari total lahan perkebunan kelapa sawit nasional.

Kata Rukaiyah Rafiq yang akrab dipanggil Uki, saat ini petani sawit swadaya masih terus berjuang dan terus memperluas areal kebun bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC).

Baca juga: Terjatuh Dalam, Karena Licinnya Minyak Goreng

Di saat bersamaan muncul kebijakan baru EUDR yang diyakini akan berdampak langsung pada keberadaan petani sawit swadaya.

Mereka akan terlempar jauh dari skema perdagangan EU.

Ketergantungan dengan pabrik pengolah, kapasitas pengetahuan, lemahnya dukungan, keberadaan para pedagang perantara, menjadi masalah serius yang dihadapi oleh petani swadaya.

“Kondisi ini berbanding terbalik dengan syarat EUDR yang harus memastikan bahwa produk yang masuk ke Uni Eropa adalah produk yang telah melalui uji kelayakan menggunakan EUDR dimana persyaratan utama adalah Keterlacakan dan legal,” kata Uki.

Baca juga: GAPKI dan NU Jalin Kemitraan untuk Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit

Sebab itu tutur Uki, seharusnya UE tidak hanya mempertimbangkan produk kelapa sawit mengandung nol deforestasi dan traceable, tapi juga mengandung sawit yang diproduksi petani swadaya.

Setidaknya semua produk minyak sawit yang masuk kepasar Uni Eropa harusnya 25 persen adalah berasal dari kebun petani.

“Ini adalah solusi untuk memastikan EUDR tidak hanya berperan dalam nol deforestasi tapi juga berperan dalam perbaikan sumber kehidupan petani dan mendorong pelibatan petani dalam inisiative perlindungan dan pemulihan.”

“Jika tidak, maka EUDR hanya akan menjadi kebijakan yang mengabaikan petani dan makin memperparah deforestasi, yang pada akhirnya kita semua akan mengalami kerugian,” pungkas Uki. (*)