Harga Tinggi, Sayang Produksi CPO dan PKO Indonesia Malah Turun

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memaparkan bahwa turunnya produksi CPO dan PKO membuat industri sawit Indonesia tak menikmati naiknya harga minyak nabati dunia. Foto: TROPIS.CO/Jos
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memaparkan bahwa turunnya produksi CPO dan PKO membuat industri sawit Indonesia tak menikmati naiknya harga minyak nabati dunia. Foto: TROPIS.CO/Jos

TROPIS.CO, JAKARTA – Tingginya harga minyak nabati dunia tidak bisa dinikmati oleh industri sawit Indonesia karena turunya produksi crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO) di tanah air.

Kondiisi ini akan dihadapi industri sawit Indonesia untuk beberapa waktu ke depan.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dalam kata sambutannya saat membuka acara Buka Puasa Bersama Gapki di Jakarta, Selasa (19/4/2022).

“Produksi CPO Indonesia pada Februari 2022 diperkirakan sebesar 3.505 ribu ton dan palm kernel oil (PKO) sebesar 302 ribu ton yang lebih rendah dari produksi bulan Januari sebesar 3.863 ribu ton untuk CPO dan 365 ribu ton untuk PKO karena faktor musiman.”

Baca juga: Melirik Potensi Blue Karbon di Ekosistem Pesisir

“Sawit Indonesia tidak berkontribusi optimal sebab suplainya tidak seperti yang kita harapkan karena produksi turun maka otomatis ekspor turun.”

“Kita masih menghadapi situasi ini dalam beberapa bulan ke depan,” ungkap Joko Supriyono.

Sementara Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengungkapkan, harga rata-rata crude palm oil CIF Rotterdam pada bulan Februari 2022 mencapai US$1.522 per ton, US$164 lebih tinggi dari harga bulan Januari sebesar US$1.358 per ton, US$469 lebih tinggi dibandingkan dengan harga Februari 2021 sebesar US$1.053/ton.

Harga KPBN FOB untuk Februari adalah Rp15.532 per kilogram berbanding Rp14.811 di bulan Januari.

Baca juga: Astra Agro Komit Tuntaskan Penerapan Prinsip Sustainability

Harga yang tinggi tersebut disebabkan oleh produksi minyak nabati dunia yang tidak seperti diharapkan terutama untuk kedelai di Amerika Selatan.