Ine Aya’, Suara Samar Rimba, Kisahkan Deforestasi di Kalimantan

Kolaborasi

Opera baru ini adalah kolaborasi antara sutradara Miranda Lakerveld dari World Opera Lab dan komposer Nursalim Yadi Anugerah dari Balaan Tumaan ensemble.

Yadi adalah musisi yang sedang berkembang di Indonesia dan paham sekali mengenai kultur kebudayaan musik Kayan.

Baca juga: Jokowi: Lahan Tidak Produktif Diproduktifkan

Ia mencari bentuk-bentuk baru untuk menampilkan musik warisan Kayan sehingga dapat disukai oleh khalayak.

Sutradara panggung Miranda Lakerveld sudah melakukan penelitian di tradisi musik-teater dari seluruh dunia, dan membuat produksi opera mendunia seperti Turan Dokht di Iran dan Orfeo di India, tepatnya di Gujarat.

Ine Aya’ dipentaskan oleh tim internasional, dengan penampil dari Kalimantan, Belanda, Thailand, Iran, dan Amerika Serikat.

Di dalam opera ini, pohon kehidupan menyimbolkan alam Kalimantan, pohon mitologis yang tumbuh di tengah-tengah dunia.

Baca juga: Kisah Petani Grobogan

Orang Kayan menyebut pohon ini Kayo’ Aya’, dan di kebudayaan Utara Eropa disebut dengan Yggdrasil.

Ine Aya’ adalah Dewi Kayan yang melindungi pohon kehidupan ini hingga Tuhan datang dari Timur, Wotan.

Wotan ingin memiliki pengetahuan dan kekuatan sang pohon.

Ine Aya’ menghukum Wotan dan membuat ranting dan batang pohon merambati dia hingga ia terpenjara.

Baca juga: Mahasiswa KKN UBB Lakukan Pendampingan UMKM di Desa Banyuasin

Karena ia berusaha untuk terus berontak, lama-kelamaan pohon itu mati.

Generasi muda berusaha melindungi sang pohon dari serangan dunia luar.

Apakah pohon ini akan hancur seutuhnya?

Atau, apakah kita bisa menyembuhkan si pohon dan memulai kembali kehidupan?

Baca juga: Cabut DMO, DPO, dan Flush Out agar Ekspor Meningkat dan Harga TBS Petani Naik

Takna’ Lawe’ biasanya dinyanyikan dan dipertontonkan.

Naskah ini didasarkan pada tradisi mendalam dari Kalimantan, yang secara puitis menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam.

Cerita ini telah diturunkan turun-temurun selama berabad-abad dan pertama kali dituliskan pada tahun 1980-an serta sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

Para peneliti Kayan berpacu dengan waktu untuk menjaga Takna’, naskah klasik yang diceritakan dari Kayan.

Baca juga: Stok Berlebih dan Ekspor Turun, Harga TBS Ambyar

Tradisi ini hampir punah dan secara utuh ia dipentaskan terakhir kali sekitar 30 tahun yang lalu.