Produk Hutan Bukan Kayu Kelompok Tani, berpeluang Menembus Pasar Ekspor

TROPIS.CO, JAKARTA –Proyek Forest Investment Program (FIP) telah memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan kemandirian masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kemampuan mereka menciptakan produk hutan bukan kayu bernilai ekonomi tinggi kian meningkat. Berbagai produk yang mereka hasilkan melalui kelompok tani hutan, dipamerkan dalam festival Forest Investmen Program yang berlangsung di Manggala Wanabakti jakarta, Rabu dan Kamis (27/10). Mengkaji berbagai produk yang dihasilkan, produk hutan non kayu KTH, sangat berpeluang menjadi produk andalan ekspor non migas.

Project Management Unit – Forest Investment Project II, suatu program di bawahDirektorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menggelar pameran yang berjudul Festival Forest Investment Programm 2022  di Jakarta. Event yang berlangsung dua hari, Rabu dan Kamis, ( 26–27/10), memamerkan sekaligus mempromosikan puluhan produk hutan bukan kayu, produksi masyarakat di sekitar kawasan hutan yang tergabung dalam kelompok tani hutan.

Berbagai produk yang dipromosikan itu diantaranya, anyaman rotan, madu kelulut hasil budidaya, madu hutan, rebung, berbagai jenis kopi bubuk, jamur, minyak atsiri, kemiri, hasil tenunan, gula aren jahe. Semua produk itu sudah dikemas layaknya produk cosumer good. Kemasannya sangat menarik, unik dan cantik dilihat, hingga memberikan nilai tambah dan layak berkompetisi di pasar global.

Harganyapun sangat terjangkau. Sebut saja, gula aren jahe misalnya. Kemasan 200 gram dihargai Rp 20 ribu, sementara kemasan 500 gram Rp 50 ribu. Begitupun untuk madu kelulut,dalam takaran 200 cc, dihargai Rp 200 ribu. ” Dalam harga, saya rasa sangat kompetitif,” ujar Mahadi, Ketua KTH Emas Hijau, binaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat.

Drasospolino Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Hutan, Ditjen  Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  selaku Executing Agency (EA) Proyek FIP 2,  dalam paparannya saat acara pembukaan festival tersebut mengatakan, festival ini
merupakan bagian dari agenda Forest Investment Program, sebagai salah satu bentuk kewajiban dalam mempromosikan segala hasil kinerja yang telah dikembangkan kelompok tani binaan di seluruh Indonesia yang telah menerima dukungan dari proyek FIP.

Festival ini, disajikan secara interaktif guna meningkatkan kesadaran masyarakat luas. Terutama, dalam memahami, betapa bernilainya hutan Indonesia. Karenanya, dalam festival ini, juga diisi beberapa agenda seminar. Diantaranya, “Peran Perempuan Sebagai Pelestari Lingkungan”. “Kisah Inspiratif Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Berbasis Kearifan Lokal”, dan “Kebijakan Multi Usaha Kehutanan & Peluang Pengembangan Usaha Hasil Hutan”.

Tujuan lain kata Drasospolino, perluasan informasi mengenai pengelolaan sumber daya alam. Khususnya yang berasal dari hutan. Termasuk, strategi pemanfaatan kawasan hutan seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

” Kebijakan pemerintah itu, bertujuan meningkatkan nilai kesejahteraan masyarakat, melalui pengembangan usaha berbasis hasil hutan bukan kayu dan secara khusus dari masyarakat yang menerima langsung dukungan dari FIP,”jelasnya, sembari menambahkan, ada 13 KPH dari 8 provinsi dan 1 NGO penerima Dedicated Grant Mechanism.

Perluasan informasi mengenai pengelolaan sumber daya alam khususnya yang berasal dari hutan menjadi salah satu tujuan utama digelarnya kegiatan ini.

Pemanfaatan kawasan hutan yang juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha berbasis hasil hutan bukan kayu dan secara khusus dari masyarakat yang menerima langsung dukungan dari FIP.

Bank Dunia dan ADB.

Proyek Forest Investment Program merupakan, investasi khusus berbasis masyarakat. Misinya mengatasi deforestasi dan degradasi Hutan, yang pembiayaannya didukung Bank Dunia, Danida dan Asian Development Bank.
Di Indonesia, Program FIP terdiri dari tiga proyek, FIP-1, FIP-2 dan DGM (dedicated grant mechanism).

“Forest Investment Program-1, bagian dari program FIP Global, yang didanai dari Climate Investment Func (CIF) yang dananya bersumber dari hibah ADB sebesar US 17 juta dolar, atau sekitar Rp 238 Milyar, menggunakan kurs Rp 14.000,” kata Bambang Soepriyanto.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan itu, mengatakan melalui FIP 1, ADB kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui serangkaian kegiatan REDD+.

Dirjen Bambang Suprianto menjelaskan bahwa program investasi kehutanan merupakan bagian dari program pengendalian perubahan iklim, menurunkan emisi gas rumah kaca. Kegiatannya dimulai sejak 2017 untuk masa 5 tahun, dengan Executing Agencynya, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. ” Sejatinya 2022 FIP 1 selesai namun diperpanjang hingga Juni 2023,” kata Bambang.

Lokasi proyek FIP-1 di 4 KPH; Kapuas Hulu Utara, Kapuas Hulu Selatan, Sintang Uara dan KPHK Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum. Aktivitasnya mencakup 17 desa di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.

Penurunan emisi.

Sementara proyek Forest Investmen Program 2, kata Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari, Agus Justianto, dibiayai dana hibah dari Bank Dunia dan Danida. Nilainya mancapai sekitar US 22,4 juta dolar, mencakup 10 KPH di 8 provinsi. Tema dari proyek FIP2 , Promoting Sustainable forest resources and strengthening capacity telah melaksanakan kegiatan sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2021 dan termasuk masa perpanjangan di tahun 2022 ini.

“Kegiatan FIP II, sama dengan FIP 1 bagian dari Forest Investment Program (FIP) Indonesia, mendukung upaya pemerintah Indonesia mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, sebagai yang kontribusi penurunan emisi karbon dan mengatasi perubahan iklim global,”kata Agus Justianto.

Pada awalnya, FIP II ini implementasinya dikawal Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, sebagai executing agency. Dan ini berlangsung, pada periode 2017 sampai 2019. Kemudian sesuai mandat Steering Committee tahun 2019, executing agency periode 2020 – 2022 dipegang Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari.

Proyek FIP-2 lanjut Agus Justianto, dirancang dan dilaksanakan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan KPH dan masyarakat lokal. Sehingga pengelolaan hutan yang terdesentralisasi dapat meningkatkan sumber mata pencaharian berbasis hutan di wilayah sasaran.

“Melalui proses pengelolaan hutan yang terdesentralisasi diharapkan dapat mendorong peningkatan tata kelola hutan dan dapat mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat di tingkat tapak,” ujarnya.

Proyek FIP-2 diimplementasikan pada 10 areal unit KPH terpilih yang tersebar di 8 provinsi. Dan ini, KPH Panyabungan, Sumatera Utara; KPH Limau, Jambi; KPH Tasik Besar Serkap, Riau dan KPH Lakitan Bukit Cogong, Sumatera Selatan.

Lainnya, KPH Tanah Laut, Kalimantan Selatan; KPH Kendilo, Kalimantan Timur;
KPH Dolago Tanggunung, Sulawesi Tengah dan KPH Dampelas Tinombo, Sulawesi Tengah, KPH Rinjani Barat, NTB serta KPH Batulanteh, NTB.

” Apa yang sudah dihasilkan dari FIP 2, nantinya dapat di upscale di tempat lain diluar lokus FIP II, sebagai legacy dari kegiatan berbasiskan masyarakat di sekitar kawasan hutan.”