Negara Rugi Rp 2,5 Triliun Akibat PETI di Babel, ESDM Perlu Penegakan Hukum

TROPIS.CO, JAKARTA – Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah pertambangan Timah, Bangka Belitung, telah menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan sampai Rp 2,5 triliun per tahun. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan, harus ada upaya penegakan hukum yang serius untuk mengatasi maraknya tambang ilegal.

Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah pertambangan Timah, Bangka Belitung, sendiri telah menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan tembus Rp 2,5 triliun per tahun.

“PETI harus dilakukan penegakan hukum, ya, itu harus diterapkan,” kata Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Selasa (8/8/2022) lalu seperti dikutip dari kompas.com.

Tasrif memastikan akan fokus membenahi tata kelola timah akibat maraknya pertambangan tanpa izin di beberapa wilayah di Indonesia. Dari data tercatat, hingga kuartal III 2021 PETI mencapai 2.700 lokasi. Sebanyak 2.645 lokasi PETI Mineral dan 96 lokasi PETI batubara.

Sementara menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, pembenahan tata kelola tersebut, salah satunya dengan membenahi tata kelola timah, dan anggaran belanja (RKAB).

Menurut Ridwan, RKAB yang ada akan dijalankan terlebih dahulu sambil menata cadangan, mempertahankan harga, serta menata aktivitas pertambangan ilegal agar tidak berlangsung. “Kita akan cari jalan agar tata niaga timah ini memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa,” kata Ridwan.

Ia menambahkan, PT Timah saat ini juga masih kekurangan bahan baku akibat aktivitas PETI.

Sedangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menilai perlu adanya perbaikan tata kelola pertimahan. Tapi untuk perbaikan itu harus terlebih dahulu dilakukan audit pada tata kelola timah.

Hal itu disampaikan terkait dengan adanya kegiatan PETI di wilayah pertambangan Timah, Bangka Belitung yang telah menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan tembus Rp 2,5 triliun per tahun.

Kerugian itu terlebih dialami oleh PT Timah Tbk sebagai perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan dan sumberdaya timah. Dalam melakukan audit, BPKP perlu menerima data dan dokumen yang menjadi bahan audit.

“Namun, hingga saat ini kami belum menerima permintaan audit dari pihak terkait,” kata Juru Bicara BPKP Eri Satriana dalam keterangannya, Senin (8/8) seperti dikutip dari kontan.id.

Eri mengatakan, apakah perlu dilakukan penundaan RKAB untuk sektor pertambangan timah tentunya akan tergantung hasil audit yang dilakukan oleh para auditor BPKP.