TROPIS.CO-JAKARTA, Kesenjangan dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan sebagai penyebab terjadinya konflik tenurial, walau belakangan ini trendnya terus menurun setelah adanya pendekatan perhutanan sosial.
Direktur Penangan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Ditjen Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan, Mohammad Said dalam percakapan dengan TROPIS di Jakarta, belum lama ini, mengungkapkan, sampai tahun 2017, alokasi ruang kelola kawasan hutan yang diberikan kepada korporasi mencapai 34,1 juta hektar atau sekitar 98 persen dari luas kawasan hutan yang diberikan persetujuan pemanfaatan dan pengelolaannya. Sementara untuk masyarakat, hanya sekitar 2 persen, tak lebih dari 25 ribu hektar.
Begitupun terhadap pelepasan kawasan hutan untuk dimanfaatakn kegiatan non kehutanan yang sebagian besar untuk perkebunan, masyarakat hanya mendapat porsi 12 persen. Sedangkan korporasi 88 persen dari 7,6 juta hektar kawasan hutan yang dialih fungsikan menjadi Areal Penggunaan Lain atau APL. ”Jadi kesenjangannya sudah sangat jauh, dan inilah yang menjadi benih benih konflik,”kata Mohammad Said.
Pada pertengahan 2017, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) telah melakukan identifikasi dan inventarisasi awal potensi konflik pada kawasan hutan seluas + 14.277.191 hektar. Sebagai salah satu resolusi konflik tenurial pemberian akses legal pengelolaan hutan melalui pemberian persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial, dan pelepasan kawasan hutan melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Karena itu, untuk mengatasi kesenjangan alokasi rusang tersebut, jelas Moh Said, Pemerintah menetapkan kebijakan peningkatan proporsi ruang kelola bagi masyarakat. Kebijakan yang ditempuh, melalui pengalokasian areal Perhutanan Sosial minimal 12,7 juta ha dan pelepasan kawasan hutan untuk Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) untuk masyarakat minimal seluas 4,1 juta ha.
Kata Said, berdasarkan data dari Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, sampai dengan April 2023 telah terealisir seluas + 2,86 juta hektar atau sekitar 68 persen dari target seluas + 4,1 juta hektar. Sedangkan, akses kelola kawasan hutan hingga Maret kemarin sudah mencapai 5,319 juta hektar dengan jumlah 8.068 unit SK, melibatkan 1.190.627 KK. Dengan demikian maka total alokasi ruang kawasan hutan untuk resolusi konflik tenurial kawasan hutan seluruhnya melalui skema perhutanan sosial maupun TORA telah mencapai 8,18 juta hektar.
”Perhutanan Sosial telah menyelesaikan berbagai konflik tenurial dengan pemberian akses kelola dalam 5 skema Perhutanan Sosial, hutan adat, hutan desa, HTR, dan HKm serta Kemitraan Lingkungan,”tandasnya.
Meredahnya konflik tenurial ini disebut Moh Said bukan sebatas asumsi, melainkan merujuk hasil survey yang pernah dilakukan salah satu lembaga survey independen, pada 15 September hingga 20 Oktober tahun 2020. Melalui wawancara dengan ketua dan anggota Kelompok Usaha Perhutanan Sosial – KUPS, bahwa perhutanan sosial berhasil meredahkan konflik tenurial cukup signifikan.
” Ada 103 KUPS yang diwawancarai, 85,4% persen tidak ada konflik, dan 14,6 persen menyebut masih ada, dalam kisaran 1 hingga 5 kasus,”tandas Moh. Said lagi.
Non Litigasi.
Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat itu, juga mengungkapkan bahwa di dalam penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan dilakukan pendekatan non litigasi. Pendekatan non litigasi dilakukan melalui advokasi dan mediasi para pihak yang berkonflik.
Langkah yang dilakukan, Setelah pengumpulan data dan informasi konflik, dilakukan assesment awal. Lalu kemudian dalam penanganan diberikan advokasi kepada para pihak dan mediasi, diawali dengan mediasi setengah kamar.
”Ibu Menteri LHK melalaui Surat Edaran Nomor SE.1/Menlhk_II/2015 tanggal 4 Maret 2015 memberikan arahan, bahwa pendekatan penanaganan konflik khususnya yang menyangkut klaim masyarakat setempat dan Masyarakat Hukum Adat harus dihindari tindakan represif dan mengedepankan dialog dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hak Azasi Manuasia (HAM),”kata Moh Said.
Diakui Moh Said, ada sejumlah permasalahan yang terkadang menjadi penyebab, penanganan konflik tenurial ini terkesan lamban. Dan ini lebih disebabkan, kurang lengkapnya data dan informasi yang disampaikan. Selain, kurangnya pemahaman terkait regulasi penanganan konflik, kompleksitas konflik yang juga bersifat multisektoral.
Sebagai contoh, Moh Said menyebut, terkait adanya konflik yang bersifat komplek dan multisektoral. Sehingga dalam penyelesaian membutuhkan tahapan-tahapan penyelesaiaan yang harus dilakukan oleh para pihak berdasarkan regulasi dan tupoksinya masing-masing.