Layakkah Lahan Gambut Digunakan untuk Perkebunan Kelapa Sawit?

Terluas Kedua

Indonesia merupakan negara yang memiliki gambut terluas kedua di dunia, yaitu sekitar 18 juta hektare.

Luasan gambut tersebut menyebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Baca juga: Dirjen Gakkum Roi, Ingatkan Pabrik Sawit Agar Tak Abai Terhadap Limbah

Pulau Sumatera memiliki gambut 6,4 juta hektare.

Dari luasan gambut Indonesia, sekitar 9 juta hektare sesuai syarat untuk usaha pertanian.

Kandungan utama gambut yaitu bahan organik dan air (lebih dari 100 persen bobotnya).

Perkebunan dalam teknis budidayanya akan melakukan drainase untuk membuang kelebihan air dalam menjaga perakaran tanaman tidak terganggu.

Baca juga: 184 Ribu Ton Ekspor Sawit Senilai Rp2,3 triliun Jadi Sumbangan Terbesar Devisa Sulbar

Faktor inilah yang menjadi titik kritis pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, bagaimana mempertahankan tinggi muka air berada dalam kondisi optimal dan pertumbuhan tanaman juga tidak terhambat.

Menurut Permentan Nomor 14 Tahun 2009, tinggi muka air untuk perkebunan kelapa sawit yaitu 60-80 cm dari permukaan.

Kedalaman akar kelapa sawit sekitar 40 cm sehingga tinggi muka air tersebut sudah tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.

Permasalahan kerusakan lahan gambut yaitu hilangnya air yang akan menyebabkan keringnya gambut.

Baca juga: Antisipasi Masalah Pangan, Ini Lima Tugas Khusus dari Presiden untuk Institut Pertanian Bogor

Apabila gambut kering dalam waktu yang lama maka terjadi irreversible drying, gambut tidak bisa lagi menyerap air dan menyebabkan rusak permanen.

Selain itu menyebabkan penurunan permukaan gambut (subsiden), pelepasan gas rumah kaca (CO 2 dan CH 4 ), kebakaran lahan dan merusak tanaman melalui asam asam organik yang lepas.

Akibat yang ditimbulkan jika lahan gambut tidak dikelola dengan tepat akan berdampak rusaknya lingkungan budi daya tersebut.

Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut harus membuat water management system (WMS), yaitu tata kelola air dalam areal perkebunan.

Baca juga: GAPKI Klaim 78 Persen Anggotanya Sudah Bersertifikat ISPO

WMS tersebut berupa pemetaan hidrologi gambut, kedalaman gambut, pembuatan sistem drainase melalui kanal atau parit primer, sekunder dan tersier, pengaturan pintu air dan monitoring level air.

Pemetaan hidrologi gambut penting karena berhubungan dengan input dan output aliran air yang akan mempengaruhi tinggi muka air.

Monitoring rutin melalui pengamatan dipweel yang dipasang di seluruh blok secara sistematis untuk melihat level air.

Sebagai contoh, PT. Kimia Tirta Utama (KTU) yang berada di Kabupaten Siak Riau menerapkan pengelolaan gambut lestari dalam perkebunan kelapa sawit.

Baca juga: KLHK: Restorasi Mangrove Harus Selaras dengan Kepentingan Ekonomi Lokal

Hal tersebut terbukti dengan apresiasi dari Badan Restorasi Gambut (BRG) tahun 2019 sebagai pengelolaan gambut yang baik.

Perusahaan tersebut terdapat asisten khusus yang menangani WMS, dan terdapat research station yang fokus dalam penelitian dan pengembangan gambut dalam peningkatan produktivitas tanaman.

Pengamatan tinggi muka air terjaga pada kondisi optimal sekitar 40-60 cm.

Kondisi tersebut menyebabkan tingkat subsiden gambutnya pun sangat rendah, hanya sekitar 0,5-1 cm per tahun.

Baca juga: Kadin Ajak Pemerintah dan Pengusaha, Gotong Royong Restorasi Magrove Layak Investasi dan Berkelanjutan