Melirik Potensi Blue Karbon di Ekosistem Pesisir.

Menteri Siti Nurbaya dan Menteri Trenggono sepaham untuk mengembangkan potensi karbon biru di kawasan ekosisterm pesisir, sembari mempercepat peningkan masyarakat di sekitarnya. Senin, 16/4, kedua menteri itu, berbicara dalam wokshop yang membeda potensi ekosistem mangrove, padang lamun dan Rawa payau sebagai produsen karbon biru.

Pemerintah kini tengah melirik potensi ekosistem pesisir dalam upaya percepatan  target FoLU Net Sink 2030.  Ekosistem mangrove, padang lamun dan  rawa  payau, diyakini memiliki potensi blue karbon yang sangat potesial. Menteri  Siti Nurbaya dan Menteri  Sakti Wahyu Trenggono, sepaham penggalian potensi blue karbon kawasan pesisir, seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat.

TROPIS. CO – JAKARTA,  Dalam suatu Workshop tentang  Blue Carbon dalam pembangunan Blue Economi dan Pencapaian target Nationality Determined Contribution – NDC, di Jakarta,  Senin, (16/4), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Terenggono, berharap banyak peran yang dimainkan kedua kementerian, dalam  berkontribusi  menurunkan emisi gas rumah kaca.

Keberadaan mangrove, padang lamun dan terumbu karang  di kawasan pesisir, yang belum tergarap optimal,  dinilai berpotensi besar  menyerap karbon  biru. Bahkan diindikasikan lebih tinggi ketimbang daratan. Dan suatu yang tepat, bila kemudian Menteri Siti Nurbaya bersama Menteri Sakti Wahyu Terenggono, sepaham menggali  potensi  karbon biru pada kawasan pesisir, sembari meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam upaya mengendalikan  perubahan iklim global melalui penurunan emisi gas rumah kaca atau GRK, telah merumuskan suatu langkah  percepatan  melalui pendekatan pengendalian pemanfaatan kawasan  hutan dan lahan lainnya, atau FoLU dalam mengendalikan  perubahan iklim global.

Melalui pendekatan FoLU,  di tahun 2030, tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi.  Dan Menteri Siti Nurbaya pun telah menuangkan strategit itu, dalam keputusannya,  yakni No 168/2022, 24 Februari kemarin, tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Dan sangat diyakini, potensi ekosistem pesisir ini, bakal mampu menopang  percepatan target FoLU Net Sink 2030.

Sasaran  yang ingin dicapai, melalui implementasi rencana operasional  lapangan  Indonesia’s FolU Net Sink 2030,  tercapainya tingkat emisi  gas rumah kaca sebesar  -140 juta ton CO2e, tahun 2030. Kemudian  dari  tahun ini, hingga 20  tahun ke depan, 2050,  terus meningkat sampai -344 juta ton CO2e.  Sehingga  pada waktu,  emisi bersih  pada tingkat nasional , semua sektor menjadi  540 juta ton CO2e, atau setara dengan 1,6 ton CO2e per kapita.

Karena itu,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  dalam mempercepat teralisasinya target tersebut, terus membidik berbagai peluang  lain yang berpotensi, tak sebatas pada  hutan dan lahan lainnya.  Sektor  pesisir  dan  ekosistem kelautan, dinilai memilik potensi  besar dalam meningkatkan kontribusi pengurangan emisi, di luar FoLU.

Ada kesan kuat, bahwa dalam pengendalian perubahan iklim,  sejak 25 tahun terakhir, lebih difokuskan pada  pelestarian hutan melalaui kebijakan yang menekan peningkatan  deforestasi.  Sehingga arah kebijakan  cenderung pada  pengendalian  pemanfaatan potensi kawasan  hutan.

Padahal, Ekosistem pesisir diidentifikasi mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dibanding hutan daratan. Ekosistem pesisir meliputi hutan mangrove, rawa payau, dan padang lamun, dapat dikembangkan menjadi sektor  penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

Sehingga tak salah kalau Menteri Siti Nurbaya  menegaskan, bahwa menjaga dan memperbaiki ekosistem mangrove, padang lamun dan rawa payau, merupakan cara ampuh menjaga  ekosistem pesisir, karena akan berperan dalam menyerap karbon. “Eksosistem mangrove, padang lamun dan rawa payau, sangat potensial  dikembangkan sebagai blue karbon atau karbon biru,”tandas Menteri Siti Nurbaya.

Kementerian  LHK bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, ditopang sejumlah lembaga lain, memang telah memperhatikan  serius terhadap ekosistem mangrove.  Upaya rehabilitasi  terhadap mangrove kritis, dan juga penanaman baru pada lahan lahan pantai yang kosong,  terus dilakukan.

Dalam 10  tahun terakhir,  tak kurang dari 80 ribu hektar berhasil direhabilitasi dan ditanami kembali.  Dan Presiden  Joko Widodo, telah meminta, kawasan mangrove kritis yang  kini disebutkan ada sekitar 600 ribu hektar, bisa segera ditanami kembali,  hingga masa waktu  5  tahun mendatang.

Dua Sisi.

Sulit dipungkiri,  persoalan lingkungan selalu terkait dengan  masalah ekonomi. Di satu sisi  ekologi harus dijaga, namun di sisi lain, lantaran tingginya pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekonomi masyarakat, maka tak jarang kedua sisi itu saling berseberangan.  “ Kita memang dihadapkan pada kondisi, di mana  ekologi harus dijaga, tapi di sisi lain, ekonomi harus tumbuh dan berkembang,”kata Sakti Wahyu Trenggono.

Kendati demikian,  Menteri Kelautan dan Perikanan ini,  bersepakat dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk membangun sinergi agar semua potensi, termasuk potensi pesisir dan kelautan, bisa berkontribusi nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.  “Kami bersama-sama Kementerian LHK, melalui workshop ini salah satunya, membuat terobosan-terobosan untuk menjaga lingkungan laut yang diyakini lebih besar dalam penyerapan emisi karbon,” lanjutnya.

Sejumlah strategi yang sudah dilakukan Kementerian Kelautan dan  Perikanan, dalam upaya  penguatan ekosistem karbon biru, antara lain dengan  memperluas dan menjaga secara ketat kawasan konservasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.  “ Kita juga berencana menerapkan  suatu kebijakan penangkapan ikan yang lebih terukur  berbasis kuota, dan terus  meningkatkan pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan, serta penataan pemanfaatan ruang laut dan pulau-pulau kecil yang mengutamakan perlindungan ekosistem.”

Workshop mengenai Blue Carbon dan Pencapaian Target NDC ini, direncanakan akan digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  secara series setiap bulannya hingga Juni mendatang.  Dan ini dalam rangkaian menggali pemikiran semua stakeholder dalam upaya mempercepat pencapai target pengurangan emisi, seperti telah menjadi komitmen Indonesia dalam pertemuan Paris.

“Sektor kehutanan memiliki  porsi terbesar, 60 persen, dalam target penurunan  emisi gas rumah kaca,”tandas Drasospolino, Direktur Bina Rencana Pemanfaatan  Hutan, Kementerian LHK.  Drasospolino, atau  Ino, panggilan akrabnya,  hadir sebagai salah seorang Narasumber dalam  Workshop yang diprakarsai Ditjen Pengendalian  Hutan Lestari.

DEasospolino, Ino; Target FoLU Nert Sink mengurangi 140 juta ton CO2e di 2030.

Ino  tampil pada sisi pertama, bersama  Kepala Badan Resotarasi Gambut dan Mangrove,  Ir. Hartono, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Laksmi Dhewanti, dan Dirjen Pengelolaan  Ruang Laut KKP, Viktor Gustaf Manopo, serta  Peneliti Ahli Utama, Haruni Krisnawati dari Badan Standarisasi  dan Inovasi Kementerian LHK.  Dalam paparannya,  Ino mengurai panjang, strategi penguatan  pengelolaan  hutan lestari dalam mendukung pencapaian  target NDC dan prospek pengembanghan  blue carbon.

Ino mengingatkan kembali,  bahwa  Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dan  Pada UNFCCC COP-26 Glasgow, akhir tahun kemarin,  Indonesia juga telah berkomitmen untuk meningkatkan target ambisius melalui  dukungan kerjasama teknis internasional.

Dan  Komitmen Indonesia ini,  tandas Ino, tercantum di dalam dokumen Updated Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR)2050. Indonesia berharap, melalui target sekto  FoLU serta Agriculture  atau pertanian,  untuk urusan sektor lahan, dan Energi, Limbah serta Industri(untuk sektor non-lahan), pada tahun 2030, tingkat serapan pada sektor FOLU sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya.  “Dengan demikian,  target keseluruhan sektor, yakni  netral karbon, atau net-zero emission pada  2060 atau lebih cepat.”

Terkait sasaran yang ingin dicapai dari  implementasi Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Ino menegaskan kembali, bahwa  sasarannya, agar tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030.  Dan ini sekaligus  mendukung net zero emission sektor kehutanan, memenuhi NDC yang menjadi kewajiban nasional Indonesia sebagai kontribusi bagi agenda perubahan iklim global.

Karena itu, upaya pencapaian  Indonesia’s FoLU Net Sink 2030, harap Ino, perlu diikuti dengan alokasi lahan yang selektif dan terkontrol untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi masyarakat Indonesia.