Pemerintah kini tengah melirik potensi ekosistem pesisir dalam upaya percepatan target FoLU Net Sink 2030. Ekosistem mangrove, padang lamun dan rawa payau, diyakini memiliki potensi blue karbon yang sangat potesial. Menteri Siti Nurbaya dan Menteri Sakti Wahyu Trenggono, sepaham penggalian potensi blue karbon kawasan pesisir, seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat.
TROPIS. CO – JAKARTA, Dalam suatu Workshop tentang Blue Carbon dalam pembangunan Blue Economi dan Pencapaian target Nationality Determined Contribution – NDC, di Jakarta, Senin, (16/4), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Terenggono, berharap banyak peran yang dimainkan kedua kementerian, dalam berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
Keberadaan mangrove, padang lamun dan terumbu karang di kawasan pesisir, yang belum tergarap optimal, dinilai berpotensi besar menyerap karbon biru. Bahkan diindikasikan lebih tinggi ketimbang daratan. Dan suatu yang tepat, bila kemudian Menteri Siti Nurbaya bersama Menteri Sakti Wahyu Terenggono, sepaham menggali potensi karbon biru pada kawasan pesisir, sembari meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam upaya mengendalikan perubahan iklim global melalui penurunan emisi gas rumah kaca atau GRK, telah merumuskan suatu langkah percepatan melalui pendekatan pengendalian pemanfaatan kawasan hutan dan lahan lainnya, atau FoLU dalam mengendalikan perubahan iklim global.
Melalui pendekatan FoLU, di tahun 2030, tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi. Dan Menteri Siti Nurbaya pun telah menuangkan strategit itu, dalam keputusannya, yakni No 168/2022, 24 Februari kemarin, tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Dan sangat diyakini, potensi ekosistem pesisir ini, bakal mampu menopang percepatan target FoLU Net Sink 2030.
Sasaran yang ingin dicapai, melalui implementasi rencana operasional lapangan Indonesia’s FolU Net Sink 2030, tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e, tahun 2030. Kemudian dari tahun ini, hingga 20 tahun ke depan, 2050, terus meningkat sampai -344 juta ton CO2e. Sehingga pada waktu, emisi bersih pada tingkat nasional , semua sektor menjadi 540 juta ton CO2e, atau setara dengan 1,6 ton CO2e per kapita.
Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam mempercepat teralisasinya target tersebut, terus membidik berbagai peluang lain yang berpotensi, tak sebatas pada hutan dan lahan lainnya. Sektor pesisir dan ekosistem kelautan, dinilai memilik potensi besar dalam meningkatkan kontribusi pengurangan emisi, di luar FoLU.
Ada kesan kuat, bahwa dalam pengendalian perubahan iklim, sejak 25 tahun terakhir, lebih difokuskan pada pelestarian hutan melalaui kebijakan yang menekan peningkatan deforestasi. Sehingga arah kebijakan cenderung pada pengendalian pemanfaatan potensi kawasan hutan.
Padahal, Ekosistem pesisir diidentifikasi mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dibanding hutan daratan. Ekosistem pesisir meliputi hutan mangrove, rawa payau, dan padang lamun, dapat dikembangkan menjadi sektor penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Sehingga tak salah kalau Menteri Siti Nurbaya menegaskan, bahwa menjaga dan memperbaiki ekosistem mangrove, padang lamun dan rawa payau, merupakan cara ampuh menjaga ekosistem pesisir, karena akan berperan dalam menyerap karbon. “Eksosistem mangrove, padang lamun dan rawa payau, sangat potensial dikembangkan sebagai blue karbon atau karbon biru,”tandas Menteri Siti Nurbaya.
Kementerian LHK bersama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, ditopang sejumlah lembaga lain, memang telah memperhatikan serius terhadap ekosistem mangrove. Upaya rehabilitasi terhadap mangrove kritis, dan juga penanaman baru pada lahan lahan pantai yang kosong, terus dilakukan.
Dalam 10 tahun terakhir, tak kurang dari 80 ribu hektar berhasil direhabilitasi dan ditanami kembali. Dan Presiden Joko Widodo, telah meminta, kawasan mangrove kritis yang kini disebutkan ada sekitar 600 ribu hektar, bisa segera ditanami kembali, hingga masa waktu 5 tahun mendatang.
Dua Sisi.
Sulit dipungkiri, persoalan lingkungan selalu terkait dengan masalah ekonomi. Di satu sisi ekologi harus dijaga, namun di sisi lain, lantaran tingginya pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekonomi masyarakat, maka tak jarang kedua sisi itu saling berseberangan. “ Kita memang dihadapkan pada kondisi, di mana ekologi harus dijaga, tapi di sisi lain, ekonomi harus tumbuh dan berkembang,”kata Sakti Wahyu Trenggono.
Kendati demikian, Menteri Kelautan dan Perikanan ini, bersepakat dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk membangun sinergi agar semua potensi, termasuk potensi pesisir dan kelautan, bisa berkontribusi nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. “Kami bersama-sama Kementerian LHK, melalui workshop ini salah satunya, membuat terobosan-terobosan untuk menjaga lingkungan laut yang diyakini lebih besar dalam penyerapan emisi karbon,” lanjutnya.
Sejumlah strategi yang sudah dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam upaya penguatan ekosistem karbon biru, antara lain dengan memperluas dan menjaga secara ketat kawasan konservasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. “ Kita juga berencana menerapkan suatu kebijakan penangkapan ikan yang lebih terukur berbasis kuota, dan terus meningkatkan pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan, serta penataan pemanfaatan ruang laut dan pulau-pulau kecil yang mengutamakan perlindungan ekosistem.”
Workshop mengenai Blue Carbon dan Pencapaian Target NDC ini, direncanakan akan digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, secara series setiap bulannya hingga Juni mendatang. Dan ini dalam rangkaian menggali pemikiran semua stakeholder dalam upaya mempercepat pencapai target pengurangan emisi, seperti telah menjadi komitmen Indonesia dalam pertemuan Paris.
“Sektor kehutanan memiliki porsi terbesar, 60 persen, dalam target penurunan emisi gas rumah kaca,”tandas Drasospolino, Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Hutan, Kementerian LHK. Drasospolino, atau Ino, panggilan akrabnya, hadir sebagai salah seorang Narasumber dalam Workshop yang diprakarsai Ditjen Pengendalian Hutan Lestari.

Ino tampil pada sisi pertama, bersama Kepala Badan Resotarasi Gambut dan Mangrove, Ir. Hartono, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Laksmi Dhewanti, dan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Viktor Gustaf Manopo, serta Peneliti Ahli Utama, Haruni Krisnawati dari Badan Standarisasi dan Inovasi Kementerian LHK. Dalam paparannya, Ino mengurai panjang, strategi penguatan pengelolaan hutan lestari dalam mendukung pencapaian target NDC dan prospek pengembanghan blue carbon.
Ino mengingatkan kembali, bahwa Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dan Pada UNFCCC COP-26 Glasgow, akhir tahun kemarin, Indonesia juga telah berkomitmen untuk meningkatkan target ambisius melalui dukungan kerjasama teknis internasional.
Dan Komitmen Indonesia ini, tandas Ino, tercantum di dalam dokumen Updated Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR)2050. Indonesia berharap, melalui target sekto FoLU serta Agriculture atau pertanian, untuk urusan sektor lahan, dan Energi, Limbah serta Industri(untuk sektor non-lahan), pada tahun 2030, tingkat serapan pada sektor FOLU sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya. “Dengan demikian, target keseluruhan sektor, yakni netral karbon, atau net-zero emission pada 2060 atau lebih cepat.”
Terkait sasaran yang ingin dicapai dari implementasi Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, Ino menegaskan kembali, bahwa sasarannya, agar tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030. Dan ini sekaligus mendukung net zero emission sektor kehutanan, memenuhi NDC yang menjadi kewajiban nasional Indonesia sebagai kontribusi bagi agenda perubahan iklim global.
Karena itu, upaya pencapaian Indonesia’s FoLU Net Sink 2030, harap Ino, perlu diikuti dengan alokasi lahan yang selektif dan terkontrol untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi masyarakat Indonesia.