TROPIS.CO, YOGYAKARTA – Lambannya pelaksanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menuntut keterlibatan banyak pihak. Eksistensi perusahaan perkebunan sawit besar swasta sangat diharapkan. Tak sebatas berperan sebagai penampung TBS, tapi sekaligus membina dan sekaligus menyembati dalam penyelesaian persoalan yang kini dihadapi perkebunan sawit swadaya.
Dalam Forum Sawit Indonesia (FoSI) 2023, di Instiper Yogyakarta, 24 November kemarin, R Aziz Hidayat, dari WG Palm Oil Leader PISAgro, mengurai panjang, terkait dengan kondisi tata kelola perkebunan kelapa sawit, dan peluang kemitraan perusahaan dengan lembaga pekebun sawit. Dalam hal ini, Kelompok tani, Gabungan kelompok tani, Koperasi atau lembaga pekebun sawit lainnya.
Dan tak sebatas itu, R. Aziz Hidayat menjelaskan rinci, pola kemitraan ideal perusahaan dengan pekebun sawit. Juga terkait implementasi kemitraan strategis perusahaan dengan lembaga pekebun sawit dalam program Peremajaan Sawit Rakyat – PSR.
Dalam tata kelola perkebunan sawit nasional, kondisinya disebutkan Aziz Hidayat, pada saat ini terbentur dengan sejumlah persoalan yang cenderung menghambat laju pertumbuhan industri sawit. Terutama terkait dengan perkebunan sawit rakyat yang luasnya ini mencapai 41 persen dari total 16,38 juta hektar perkebunan sawit nasional.
Rambahan permasalahan yang diceritakan Aziz, mulai dari permalahan legalitas dan perijinan hingga rendahnya pengetahuan dan kemampuan SDM pekebun sawit. Permasalahan legalitas lahan, sebagian besar kebun sawit swadaya atau rakyat, hanya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), dari tingkat desa, hingga kecamatan. Soal Sertifikat Hak Milik atau SHM, relative masih sangat sedikit.
Tidak sebatas itu. Tidak sedikit juga, lokasi kebun sawit rakyat ini berada di kawasan hutan. Tidak hanya di kawasan hutan produksi, tapi juga di kawasan hutan lindung, bahkan di hutan konservasi. Dalam status kepemilikan lahan yang tak jelas, ini memang menjadi PR besar bagi stakeholders dalam rangkaian pembenahan kebun swit rakyat.
Bukan hanya itu. Rendahnya tingkat pengetahuan dan kemampuan pekebun, telah membuat kondisi kelembagaan di tingkat pekebun sangat lemah. Banyak di kalangan pekebun, tidak memahami betapa pentingnya eksistensi kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi, atau lembaga pekebun lain dalam menjalankan roda usaha perkebunan kelapa sawit di pedesaan.
Eksistensi kelembagaan akan menjadi jembatan dalam upaya meningkatkan produktivitas buah sawit, berupa tandan buah segar (TBS). Melalui kelembagaan ini, suatu institusi keuangan akan lebih percaya menyalurkan kredit peremajaan sawit rakyat. Mungkin, karena lemahnya kondisi kelembagaan di tingkat pekebun ini, hingga proses program Peremajaan Sawit Rakyat yang sudah dirancang sekitar 180 ribu hektar setiap tahun dalam masa 5 tahun terakhir, realisasinya sangat kecil. Bahkan, rata rata di bawah 50 persen.
Padahal peremajaan sawit sudah sangat medesak. Ini mengingat, sangat rendahnya produktivitas sawit swadaya yang hanya dalam kisaran 2,5 hingga 3 ton CPO perhektar pertahun. Padahal potensinya, jauh di atas itu. Rata rata bisa mencapai 5 hingga 6 ton, bahkan ada yang lebih dari 6 ton.
Mungkin, rendahnya tingkat produktivitas itu perhektar itu, tak lepas dari rendahnya tingkat pengetahuan dan kemampuan tadi. Sehingga, dalam mendapat bibitpun, terkadang asalan saja. Bukan bibit unggul. Bukan benih unggul bersertifikat, benih yang produksi oleh perusahaan pembenahan yang memang sudah terdaftar dengan tingkat reputasi yang tak diragukan lagi.
Ironisnya lagi, bahwa dari sekitar 6,72 juta hektar lebih sawit rakyat itu, kata Aziz Hidayat, sekitar 2,8 juta hektar diantaranya, sudah masuk kategori tanaman tua. Tidak productive lagi, bahkan ada yang sudah berusia 25 tahun yang tingkat rendemennya rendah. “Nah, kondisi inilah yang tampaknya, harus mendapatkan perhatian lebih serius,”kata Aziz Hidayat.
Dan ini disebut Aziz Hidayat, 2,29 juta hektar diantaranya, berupa kebun plasma dan swadaya. Lainnya, baru kebun plasma Pirbun dan Pir- Trans atau PIR-KKPA yang masing masing, 0,14 juta hektar dan 0,37 juta hektar.
Pemerintah disebut Aziz, memang telah mentargetkan peremajaan sawit rakyat ini. Seperti tahun 2017, seluas 20,780 hektar. Tahun berikutnya, targetnya ditingkatkan menjadi 185.000 hektar. Dan 5 tahun terakhir, 1019 hingga 2023, masing masing 180 ribu hektar. Hanya memang, dalam merealisasikan target ini terkesan lamban, karena proses pelaksanaannya, harus dilakukan oleh Poktan atau Gapoktan, dan koperasi, atau kelembagaan pekebun lainnya. Sementara, persoalan kelembagaan ini di tingkat petani, terkadang tak mudah dituntaskan.
Pentingnya kelembagaan ini, untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan perkebunan untuk menjamin kesinambungan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit. Agar terciptanya kesinambungan ini, ada Kerja sama yang dituangkan dalam perjanjian , diketahui Bupati atau Walikota. Dan setidaknya Kepala Dinas daerah kabupaten/kota atas nama Bupati/Wali Kot
Nah, di dalam perjanjian itu, paling tidak disebutkan, ruang Lingkup, Jangka Waktu, Pembiayaan, dan Hak & Kewajiban. Dan Perjanjian ini dipenuhi paling lama setelah masuk masa produksi.
Hanya memang, dijelaskan Aziz, bahwa perusahaan yang bisa dijadikan mitra bagi pekebun swadaya dalam melakukan peremajaan sawitnya, bila kriteria Perusahaan Perkebunan, memiliki; Keputusan penilaian usaha perkebunan yang masih berlaku, paling rendah kelas III. Ada unit Pengolahan Hasil Sendiri, atau memiliki kerja sama dengan PKS pihak ketiga.
Kemudian, perusahaan perkebunan yang memiliki arana alat berat , atau paling ada daftar pihak ketiga dalam rangka peremajaan kebun sawit. Selain memiliki sumber Benih Kelapa Sawi, atau memiliki kerja sama dengan Sumber Benih Kelapa Sawit.
Dikatakan Aziz, di dalam peremajaan kebun sawit ini, masyarakat mendapatkan subsidi dari pemerintah yang dananya bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit ( BPDPKS). Ada dana dukungan manajemen dan ada pembangunan kebun. “ Kebijakan sumber pendanaan untuk peremajaan sawit ini merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian No 19/2023,” ungkap Aziz lagi.
Diperjelas oleh Aziz, bahwa dana Dukungan Manajemen dimanfaatkan untuk sosialisasi, pendampingan, verifikasi usulan, penilaian fisik kebun, dan pengawasan. Sementara, Dana Pembangunan Kebun, diperuntukan sebagai biaya ahap penanaman, dan juga untuk penggunaan lain sesuai keputusan Komite Pengarah; apabila masih terdapat kelebihan Dana, digunakan untuk pembangunan kebun tahap pemeliharaan.
Adapun sumber dana untuk pembangunan kebun tahap pemeliharaan, dikatakan Aziz, dipenuhi dari Dana Pendamping yang sumbernya, dari Tabungan Pekebun, Poktan, Gapoktan, Koperasi atau Kelembagaan Pekebun lainnya, Perbankan. Atau bisa juga dari sumber pembiayaan lainnya yang sah. Sedangkan dana untuk pembangunan kebun tahap penanaman dan tahap pemeliharaan, besaran biayanya mengacu pada Standar Biaya Peremajaan Kelapa Sawit yang ditetapkan Direktur Jenderal Perkebunan. Pada saat ini sekitar Rp 30 juta/hektar.
Dukungan Kemitraan.
Mengurut kondisi perkebunan sawit swadaya, SDM yang masih lemah SDM dalam melalukan tata kelola kelembagaan pekebun . Legalitas lahan yang belum clear an clean, permodalan yang sangat terbatas, kelembagaan pekebun masih sebatas menjual TBS, memang menuntut adanya dukungan perusahaan sebagai mitra kerja. Kemitraan dengan perusahaan inti, ini akan menimbulkan transfer ilmu, hingga mampu memperkokoh pekebun dalam mengembangkan usaha kebunnya.
Karenanya melalui kemitraan ini, akan lebih mempermudah dalam penyediaan agroinput. Sebut saja misalnya, dalam mendapatkan benih unggul, pupuk, dan pestisida serta berbagai saprodi lainnya yang dibutuhkan pada saat pemeliharaan kebun. Perusahaan dapat menjadi fasilisator kepada kelembagaan pekebun, bagi lahan pekebun yang belum clear and clean, terutama kebun swadaya.
Lebih dari itu perusahaan mitra, dapat berperan menjadi off-taker bagi kelembagaan pekebun. Perusahaan mitra juga, berperan membina kelembagaan pekebun. Melakukan transfer of knowledge, mendorong koperasi lebih berperan dalam manajemen kebun. Dengan demikian, koperasi memperoleh nilai tambah, selain hanya sebagai pengepul TBS.
Bentuk dukungan lain oleh perusahaan mitra, lanjut Aziz, Kelembagaan pekebun , dapat berperan sebagai penggerak kegiatan ekonomi lain. Seburt saja misalnya, melakukan kegiatan tumpang sari, perikanan dan peternakan,, bahkan juga sebagai perusahaan pencari pasar.
Di dalam PSR, berbagai program implmentatif kemitraan strategis, perusahaan dan lembaga pekebun sawit, sebut saja tadi, Poktan dan Gapoktan, ini antara lain; terkait dengan sosialisasi program PSR dan pendataan. Kemudian sosialisasi terkait dengan Penjelasan Skema Kemitraan. Penjelasan Skema Kredit dan Pembiayaan, Pendataan Pekebun, dan Pengumpulan Berkas Kelengkapan Administrasi.
Selain juga program yang terkait dengan Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas Pekebun dalam Penggunaan Benih Bermutu Bersertifikat. Peningkatan Kapasitas dan Kapabilitas Pekebun dalam Menerapkan Praktik Budidaya yang Baik, atau GAP – Good Agriculture Practices, Kelapa Sawit. Bahkan juga dalam upaya meningkatkan Akses Pendanaan Peremajaan Tanaman bagi Pekebun. Dan juga, Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Pekebun,
Dalam hal kemitraan strategis ini, Aziz mencontohkan, capaian kegiatan kemitraan yang dikembangkan PT SMART Tbk, dalam PSR seluas 14.745 hektar terdiri 7.372 kepala keluarga – yang masing masing di wilayah 2, Sumatera Selatan dan Jambi, seluas 6.951 hektar, 3.475 kepala keluarga dan di wilayah 3, mencakup Sumatera Utara dan Riau, seluas 7.794 hektar, terdiri dari 3.897 kepala keluarga. “ PT BRI telah menyetujui permohonan fasilitas kredit PSR ini senilai Rp 1,756 triliun,”kata Aziz lagi.
Apa yang akan diperankan PT SMART, Aziz menjelaskan, bahwa PT SMART, dalam perjanjian kemitraan strategis PSR-nya dengan Koperasi Pekebun Plasma dan swadaya tersebut, antara lain, akan menjamin tersedianya Bibit Unggul bersertifikat, dan pupuk. Kemudian melaukan sosialisasi PSR. Meningkatkan c. Capacity building, dan pendampinghan dalam penerapan GAP; Pembukaan Lahan tanpa Bakar, Penanaman, Pemeliharaan, Pemanenan. Dan pengolahan TBS menjadi tanggung jawab PT SMART dengan ketentuan harga TBS, paling tidak sesuai Penetapan Harga Permentan No.01/2018.
Dalam kemitraan strategis dengan Koperasi sawit – Kopsa di Riau, benih yang digunakan, Benih Unggul bersertifikat DxP Dami Mas Eka 1 dan 2, yang potensi produktivitas CPO 10 ton/ha/tahun, atau lebih tinggi dari semula yang hanya dalam kisaran 7,5 – 8 ton/ha/tahun.
Hasil capaiannya sangat membanggakan. Bagaimana tidak, PT.SMART Tbk dengan Kopsa Berkat Ridho, Kabupaten Kampar, seluas 91,71 Ha yang tahun tanamannya, Juni 2015, kini Tanaman Menghasilkan tahun pertama, (TM1) 2019 – 2020, produktivitas rata-rata = 2 ton TBS perhektar perbulan. Lalu untuk TM2, 2020, produktivitasnya meningkat mencapai rata rata 2,4 ton, dan TM3, 2021, produktivitas rata rata 2,5 ton perhektar perbulan.
Lalu PT SMART dengan Kopsa Swadaya Mas Bersama, Kabupaten Siak, pada areal 124,91 Ha, pada tahun tanam, September 2016. Pada TM 1, 2020 – 2021, produktivitas rata rata 1,7 ton, lalu TM 2, Nopember – Desember 2021, produktivitasnya meningkat mencapau 2,77 ton TBS rata rata perhektar perbulan.