TROPIS.CO, YOGYAKARTA – Peran yang sudah dimainkan industri sawit dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional sungguh sangat signifikan. Sawit selain menyerap belasan juta tenaga kerja juga peraup devisa yang sangat diandalkan. Layak dikembangkan menjadi komoditas strategis dengan mendapatkan kepastian hukum dan kepastian berusaha yang konkrit. Kini produksi sawit diambang stagnasi.
“Sawit sebagai Komoditas strategis.” Kata ini yang disebut Mukti Sardjono, saat mengawali paparannya dalam Forum Sawit Indonesia 2023, di Yogyakarta, di penghujung November kemarin.
Dalam forum yang rutin diselenggarakan salah satu pergurunan tinggi pertanian itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Imdonesia – Gapki, menyampaikan persoalan industri sawit nasional dalam “ Tantangan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Dalam Ekosistem Bisnis Sinergis.”
Dalam perjalanannya, banyak persoalan dan hambatan yang dihadapi industri sawit nasional dalam meningkatkan perannya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasioal. Industri sawit yang telah memberikan peluang besar dalam membuka kesempatan kerja, dan berkontribusi nyata dalam meningkatkan devisa negara, terkadang masih dipandang sebelah mata dari sekelompok orang.
Statement mendukung percepatan industri sawit, terkadang hanya sebatas di forum ceremonial, tidak dibarengi dengan suatu kebijakan yang menyeluruh dan mengikat untuk semua institusi; kementerian dan lembaga. Sehingga dalam implmentasi suatu kebijakan terkadang kurang singkron dengan kebijakan kementerian atau lembaga lain.
“ Kini ada sekitar 30 instansi yang terlibat dalam urusan kelapa sawit ini,mulai dari kementerian di tingkat pusat hingga bupati di tingkat daerah,”kata Mukti Sardjono. “Karena saking banyaknya instansi yang terlibat, undangan rapat yang datang ke Gapki pun, seakan tak ada hentinya,”seloroh mantan Sekditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian ini.
Nah, terkait dengan “sawit sebagai komoditas strategis”, diterjemakan oleh Mukti Sardjono, sebagai suatu ungkapan yang terkait barang atau benda yang mudah untuk dipasarkan, dan secara ekonomi dapat diandalkan dalam menunjang kesejahteraan masyarakat dan pembangunan. Dan Mukti Sardjono, sebetulnya hanya menegaskan kembali, sebab dalam Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2015, tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, Pasal 3 ayat 3, telah disebutkan komoditas perkebunan strategis, adalah kelapa sawit, kelapa, karet, kopi dan kakao, tebu, juga tembakau.
Tentu tidak salah menempatkan Kelapa sawit sebagai komoditas strategis nasional. Kelapa sawit memang telah berperan nyata dalam menunjang kesejahteraan masyarakat. Kini tak kurang dari 20 juta jiwa yang kehidupannya tergantung pada kelapa sawit. Dan ini yang terlibat langsung dalam lingkaran kelapa sawit, hulu hingga hilir.
Akan lebih banyak lagi dari jumlah itu, andai, multiplaer effect dari ekonomi kelapa sawit bisa dihitung. Berapa banyak warung sembako yang ada di sekitar kawasan lokasi perkebunan kelapa sawit, tumbuh dan berkembang. Berapa banyak pula, keluarga para sopir angkutan pedesaan karena tumbuhnya sarana transfortasi pedesaan. Atau juga, tumbuhnya bengkel kendaraan, bengkel las, dan juga toko material dan bangunan karena adanya perputaran ekonomi sawit, sehingga semangat masyarakat membangun tempat tinggal sangat tinggi.
Tak hanya di hulu tapi juga di hilir. Proses hilirisasi minyak sawit adalah aktivitas industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar, dalam bentuk devisa. Dalam industri sawit terkandung nilai nilai “perintah” yang mungkin tak mampu dilakoni industri lainnya.
Perkebunan kelapa sawit, telah pula menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah. Tumbuh pesatnya ekonomi, telah merangsang pembangunan di berbagai bidang. Bahkan, tak sedikit, bermodalkan ekonomi sawit, suatu wilayah yang awalnya, hanya sebuah desa kecil, berkembang menjadi kota kecamatan – dan kemudian, menjadi kabupaten pemekaran. Eksistensi kelapa sawit, telah menciptakan daerah daerah pertumbuhan baru yang membuka luas lpangan pekerjaan.
Pada saat ini, ada sekitar 16, 4 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit tersebar di sejumlah provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Dan juga sebagian kecil ada di Sulawesi dan Papua. Di Sumatera, areal perkebunan sawit terluas ada di Riau, sekitar 3,4 juta hektar, Sumatera Utara seluas 2,079 juta hektar. Di Kalimantan, sebagian besar di Kalimantan tengah, Kalimantan Timur dan Kalimatan Barat.
Areal perkebunan sawit seluas ini, dikelola oleh sejumlah perusahaan perkebunan besar swasta – PBSN, dan perkebunan rakyat. Ada sekitar 8,64 juta hektar, 53 persen, perkebunan sawit swasta. Dan ada hampir 7 juta hektar, 41 persen, perkebunan sawit rakyat atau masyarakat yang dikembangkan swadaya atau mandiri, dan juga, sebagai perkebunan plasma. Hanya sebagian kecil, atau sekitar 800 ribu hektar, sekitar 5 persen, perkebunan kelapa sawit Negara.
Pada tahun 2022, produksi minyak sawit kasar atau CPO-Crude Palm Oil yang dihasilkan areal seluas itu, mencapai 58, 290 juta ton. Meningkat sangat signifikan ketimbang tahun sebelumnya, 2022, yang baru sekitar 51,502 juta ton. Dan pada tahun ini, 2023, diprediksikan, bakal mencapai 59,540 juta ton.
Produksi minyak sawit sebanyak ini, kata Mukti Sardjono, sekitar 35, 278 juta ton diperuntukan konsumsi dalam negeri. Dan ini dipergunakan untuk industri minyak makan, seperti cooking oil, Cocoa Butter, margarine, Ice Cream, Non Dairy Cream, salad Dressing, dan juga supplement serta vitamin. Sementara Oleo Chemical lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri home dan personal care. Sebut saja misalnya, produk cosmetic, soap atau sabun dan sejumlah produk lainnya. “ Untuk food dan oleo Chemical derivative ini, tak kurang dari 12,310 juta ton, dan ada indikasi meningkat setiap tahunnya,”kata Mukti Sardjono lagi.
Lainnya, untuk mendukung industri biofuel yang tahun kemarin mencapai 22,968 juta ton. Dan dalam masa dua tahun ini, dengan mulai dikembangkan B35, maka pasokan untuk industri biofuel ini, bakal ditingkatkan sebanyak 3 juta ton, hingga menjadi 25 juta ton lebih. Nah, sisanya, sekitar 23,277 juta ton untuk memenuhi pasaran ekspor, dengan Negara tujuan, China, India, Uni Eropa, Pakistan, Middle East, Amerika Serikat, Banglades, dan sejumlah Negara lain.
Devisa yang berhasil diraup dari ekspor ini setiap tahun, nilainya sangat besar. Tahun 2022 saja misalnya, mencapai 39,07 miliar dolar. Dan ini, menurut Mukti Sardjono, merupakan nilai devisa terbesar yang berhasil diraih dari ekspor minyak sawit berikut sejumlah produk turunannya. “ Tahun ini, 2023, hingga Agustus, nilai devisanya sudah mencapai US 20,60 miliar dolar, dan diperkirakan, hingga akhir tahun, nilainya tak beda jauh dengan tahun kemarin,” kata mantan Sekretaris Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian ini.
Ekspor produk sawit ini, lanjut Mukti Sardjono, kini tak lagi didominasi oleh CPO, melainkan sudah bergeser pada produk hilir. Sebut saja misalnya, sekitar 4 tahu lalu, kontribusi CPO terhadap ekspor produk sawit masih mendekati 20 persen, atau tepatnya 19,7 persen. Namun pada tahun 2022, kontribusi ekspor CPO, tinggal 10,2 persen.
Adapun, produk hilir yang mendominasi ekspor produk sawit, berupa Refined Palm Oil, Refined PKO, Crude PKO, Olechemicals, dan juga biodiesel – yang pada tahun 2018 sebanyak 1.356 ton, dan di 2019 sebanyak 1.090 ton. Lalu tahun tahun berikutnya, ekspor biodiesel menurun sangat signifikan, haya dalam kisaran 167 ton hingga 435 ton. Bahkan, di tahun 2020, ekspor biodiesel Indonesia hanya sebanyak 31 ton.
Dan ekspor produk sawit dalam 4 tahun terakhir ini, cenderung turun terus. Rasio ekspor terhadap produksi, bila di tahun 2018, masih mencapai 77 persen, tahun berikutnya, tinggal 72 persen. Lalu kemudian, dalam 3 tahun berturut turut, 2020 hingga 2022, rasionya tinggal 66 persen. Tahun ini, diperkirakan tinggal 65 persen.
“ Secara keseluruhan ekspor produk sawit Indonesia, dalam 5 tahun terakhir, turun cukup signifikan, dari 36.333 juta ton 2018, tinggal 33,928 juta ton di 2022, walau dalam nilai, mengalami peningkatan yang cukup bearti, lantaran pengaruh dari membaiknya harga di pasaran luar negeri yang sempat di atas US 1500 dolar perton.
Cenderung Turun.
Dalam paparan yang bertemakan “ Tantangan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Dalam Ekosistem Bisnis Sinergis” Direktur Eksekutif Gapki itu, memang menyebutkan, adanya indikasi penurunan produksi produk sawit. Bahkan, dalam 4 tahun terakhir, produksi cenderung stagnan dan cenderung turun. Padahal, arah pengembangan industri kelapa sawit dalam masa 25 tahun ke depan, sudah kian jelas. Pada tahun 2045 nanti, produksi ditargetkan mencapai 93,790 juta ton.
Target ini memang sangat pantastis ketimbang, tahun 2025 yang ditargetkan hanya 60.750 juta ton, dan naik sekitar 6 juta ton, dalam masa 5 tahun kemudian, yakni 2030, sekitar 67, 670 juta ton. Target produksi sebanyak ini, memang untuk antisipasi adanya peningkatan konsumsi di dalam negeri – yang pada tahun 2045 itu, mencapai 57,640 juta ton. Naik sangat signifikan ketimbang konsumsi 2030, sebanyak 38,160 juta ton, atau penggunaan dalam negeri di 2025 sebesar 30,970 juta ton.
Peningkatan drastis penggunaan dalam negeri ini, kata Mukti Sardjono, untuk biodiesel yang pada tahun 2045 itu mencapai 25,310 juta ton. Sementara penggunaan untuk food, olekimia, itu hanya dalam kisaran 16 juta ton. Dan arah pengembangan industri sawit ini, sesuai dengan road map industri kelapa sawit nasional yang telah dirancang Kemenko Perekonomian.
Mukti Sardjono, memang terkesan pesimis atas target ini. Terlebih bila berbagai persoalan yang menghambat pengembangan industri sawit nasional tidak segera dibenahi. Menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas strategis, hendaknya diimplementasikan dalam berbagai kebijakan yang meransang agar iklim berusaha di industri sawit ini lebih kondusif.
Penurunan produksi sawit nasional, menurut Mukti, sulit dibendung, andai berbagai permasalahan yang kini dihadapi tidak dibukakan jalan keluarnya. Mukti, menyebut, bahwa kini kalangan dunia usaha di industri sawit, merasakan tidak jelasnya kepastian hukum dan kepastian berusaha. Sebut saja, dalam berbagai kebijakan yang selalu berubah, kasus minyak goreng adalah contohnya.
Kebijakan larangan ekspor, dinilai Mukti, telah menyebabkan minyak sawit Indonesia kehilangan pasar. Lalu di dalam negeri sendiri, perusahaan perkebunan sawit, terpaksa harus mengerem produksi, lantaran terbatasnya pasar domestik. Sementara harga minyak goreng di tingkat masyarakat, tidaklah turun signifikan.
Itu salah satu contoh kasus. Kini ada persoalan yang lain, terkait banyaknya perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan. Sudah tertanam, bahkan di antaranya, sudah ada Hak Guna Usaha ( HGU), bila besok hasil kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terkena pasal 110 B, Undang Undang Cipta Kerja – UUCK, ini berarti hanya diberikan kesempatan satu daur. Nah, artinya, bila masanya habis yakni sekitar 15 tahun, maka perkebunan sawit itu tidak berproduksi lagi.
Kata Mukti Sardjono, bila merujuk pada Data Inventarisasi yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya ada 3.351 unit perusahaan yang berlokasi di dalam kawasan hutan dengan luas sekitar 2,145 juta hektar. Dari jumlah itu, ada sekitar 2.887 perusahaan sawit dengan luas 2,45 juta hektar. “ Dari jumlah itu ada sebanyak 543 unit perusahaan anggota Gapki dengan areal seluas 810 ribu hektar,”kata Mukti Sardjono.
Dapat dibayangkan betapa besarnya penurunan produksi sawit nasional, andai dari 2,45 juta hektar atau separuh saja dari luas itu, masuk kategori 110 B. Bila masuk kategori ini, maka sudah dapat dipastikan, dengan asumsi produktivitas perhektar pertahun, rata rata 4 ton minyak sawit, maka bakal terjadi penurunan produksi setidaknya, 4,2 juta ton. Tentu ini menjadi persoalan tersendiri, di tengah terus meningkatnya konsumsi dalam negeri.
Jadi suatu yang sangat ironis, sebagai komoditas strategis, tapi perlakuan terhadap kelapa sawit, tak beda dengan komoditas yang tak strategis. Sejatinya, pemerintah memberikan kebijakan khusus, mengingat keberadaan sawit, sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, menyerap jutaan tenaga kerja, meraup ratusan miliar dolar devisa.
Kebijakan terhadap sawit dirasakan tidak seimbang dengan kementeria atau lembaga yang terlibat dalam tata kelola industri sawit yang disebut Mukti Sardjono, ada 31 istansi pemerintah. Di tingkat pusat, sederet kementerian, mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, kementerian ART/BPN, kementerian Tenaga Kerja, kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan sejumlah kementerian lainnya, termasuk Menko Info, dan Kementerian Sosial, terlibat dalam tata kelola industri sawit. Lalu di tingkat daerah, ada gubernur dan bupati yang terlibat. “ Semua ikut mengatur tata kelola industri sawit,”kata Mukti.