Solusi Atasi Krisis Pangan Akibat Dampak El Nino, Hidupkan Kembali Potensi Pangan Lokal

Beras Masih Mendominasi

Hingga kini, beras masih mendominasi sebagai pangan utama dengan persentase konsumsi sebanyak 90 persen.

Sebagai solusi jangka panjang, Bapanas sedang mempersiapkan sebuah struktur untuk memastikan pengembangan pangan lokal.

Salah satunya melalui program B2SA atau Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman yang mendukung diversifikasi pangan lewat kearifan pangan lokal.

“Lewat program ini, Bapanas mendorong masyarakat untuk konsumsi pangan lokal.”

Baca juga: Perlu Percepatan Pemanfaatan PLTA untuk Hadapi Krisis Perubahan Iklim

“Namun, untuk dapat menyukseskan program ini, kami membutuhkan partisipasi dari pegiat pangan lokal.”

“Sejak dulu, sudah banyak sumber karbohidrat seperti papeda, olahan sagu di Papua.”

“Pangan tersebut harus dipopulerkan kembali melalui inovasi, seperti dibuat menjadi olahan lain yang lebih menarik untuk menarik minat konsumsi tapi tetap bergizi,” ungkapnya.

Terkait pangan lokal, Emil Kleden, Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), menyoroti semakin terdesaknya keberlangsungan pangan lokal tersebut, khususnya di Papua.

Baca juga: Langkah Nyata Inisiatif Ekonomi Sirkular di Indonesia

Sebagian besar warga Papua sudah beralih dari sagu dan ubi jalar sebagai makanan pokok menjadi beras.

Menurut Emil, ada persoalan yang problematik karena beras dianggap berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada sagu.

Ada persepsi ‘kenaikan kelas’ yang mereka dapatkan ketika makan nasi sehingga kebutuhan akan sagu semakin menurun.

Akibatnya, praktik tradisional untuk penyimpanan ubi dan sagu semakin ditinggalkan.

Baca juga: Roadmap Pengurangan Sampah Indonesia

Sementara, lumbung sagu adalah komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat adat di sana.

“Tidak hanya mengenai beras, bencana kekeringan di Papua juga menyebabkan mengancam ketersediaan bahan pangan utama masyarakat Papua yaitu ubi jalar dan sagu.”

“Utamanya, karena dalam menyimpan cadangan sagu memerlukan tanah basah.”

“Stok sagu tidak bisa bertahan lama jika disimpan di tanah yang kering.”

Baca juga: Festival Iklim 2022: Mendorong Aksi Iklim, Jadikan Indonesia Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat

“Selain itu, konversi hutan sagu untuk kebutuhan lain ini semakin mengancam keberlangsungan pangan lokal dari Orang Asli Papua (OAP) karena berkurangnya lahan produksi untuk sagu.”

“Belum lagi tentang potensi hilangnya sumber protein hewani seperti rusa, babi, dan kasuari karena habitat asli mereka sudah dihancurkan.”

“Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat adat yang masih menggunakan praktik tradisional untuk menghasilkan dan menyimpan pangan,” tegas Emil Kleden.

Dia mengingatkan bahwa setiap tahunnya dalam 40 tahun terakhir, selalu ada daerah di Papua dan Papua Barat yang mengalami bencana kelaparan akibat cuaca ekstrem, musim dingin, kekeringan, dan gagal panen.

 

“Saya melihat dari sisi ekonomi, sagu, keladi, ubi jalar yang bukan produk hasil budi daya belum diperhitungkan sebagai komoditas yang dihitung dalam sektor bisnis.”

“Oleh karena itu, komoditas seperti ini juga tidak diperhitungkan dalam perhitungan ekonomi negara.”

“Faktor ini menyebabkan pangan lokal semakin bergeser dan digantikan oleh komoditas lain yang memiliki nilai jual.”

“Hal ini sangat disayangkan karena jika pangan lokal diperhitungkan secara ekonomi, maka potensi keberlangsungannya juga jadi lebih tinggi.”

 

“Ketahanan pangan dan kearifan lokal akan tetap terjaga dengan konsep kita menjaga alam dan alam juga akan menjaga kita,” ujar Emil.

Emil juga menyampaikan bahwa semua pihak, termasuk di dalamnya pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan ketahanan pangan di lokal dapat tercapai.

Terutama peran pemerintah daerah dalam membantu peningkatan produksi dan teknik penyimpanan jangka panjang pangan lokal OAP seperti sagu, ubi jalar, umbi keladi dalam mengantisipasi cuaca ekstrem dan El Nino.

Kemudian memastikan bahwa sektor bisnis telah konsisten menjalankan prinsip yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dalam aspek sosial dan lingkungan.

Baca juga: Presiden Jokowi Perlu Evaluasi Kebijakan Food Estate

Upaya mempopulerkan kembali pangan lokal juga tengah dilakukan di Siak, Provinsi Riau, Cindi Shandoval, Founder SKELAS dan Heritage Hero Siak sepakat pangan lokal mesti dijaga meskipun ada tantangan dalam memastikan kelestariannya, yang bisa membantu menjaga fungsi lahan setempat.

“SKELAS menawarkan pengalaman exclusive Siak traditional dining yang diadakan di Istana Siak.”

“Acara ini menyajikan makanan tradisional Siak yang dimasak langsung oleh maestro.”

“Setiap menu disajikan bersama dengan narasi yang disampaikan kepada tamu terkait asal usul makanan, makna dari makanan, hingga bahan baku yang digunakan.”

Baca juga: COP27: Prediksi Pemanasan Global Memburuk, Indonesia Perlu Adaptasi

“Menu dimasak menggunakan resep turun temurun dan rempah-rempah lokal yang hanya tumbuh di kawasan hutan di Siak sehingga, pengalaman ini hanya bisa didapatkan di Siak.”

“Oleh karena itu, kami juga berusaha agar timbul kesadaran bersama menjaga lahan agar rempah lokal tersebut tetap dapat tumbuh di hutan.”

“Selain itu, ada perputaran ekonomi di sana yang bermanfaat bagi masyarakat lokal,” jelas Cindi.

“Adapun hal ini bisa SKELAS lakukan melalui dukungan penuh dari pemerintah kabupaten Siak.”

Baca juga: Bukan Food Estate, Pemberdayaan Keanekaragaman Pangan Lokal Solusi Hadapi Ancaman Krisis

“Ini merupakan bagian dari upaya kami untuk menjaga kelestarian makanan tradisional dan kearifan lokal di Siak.”

“Saya berharap semoga dengan upaya ini, kita bisa memastikan bahwa makanan tradisional dan bahan pangan lokal di Siak bisa tetap dinikmati oleh anak-cucu kita ke depannya,” pungkas Cindi. (*)