Penerapan RIL dalam Penebangan di PBPH Dapat Menurunkan Emisi hingga 41 Persen

Sekditjen Pengelolaan Hutan Lestari Drasospolino menyebut kini KLHK tengah merancang standar dokumen lingkungan kehutanan untuk mempelancar PBPH dalam pengembangan multi usaha kehutanan,

TROPIS.CO, JAKARTA – Sejumlah  strategi kini ditempuh  Ditjen  Pengelolaan  Hutan Lestari  dalam upaya meningkatkan stok karbon dari praktek  pengelolaan  hutan lestari, dan upaya itu mencakup penerapan  Reduced Impact Logging (RIL),  Silvikultur Intensif (Silin) dan  pengoptimalan pemanfaatan  potensi sumberdaya hutan melalui pendekatan  multi usaha.

Penerapan  Reduced Impact Logging atau RIL mampu  meningkatkan  daya serap CO2 sebesar 1,7 kali lipat, dan dapat meningkatkan  jumlah simpanan karbon hutan sekitar 1,56 kali lipat, ketimbang  penyimpanan  karbon biomassa hutan pada penebangan  konvensional yang hanya sebesar  45 persen.

Sedangkan pada  penebangan  RIL, kata  Dr. Ir. Drasospolino, M.Sc,  Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari dalam Workshop  hari Lingkungan Hidup Sedunia bertemakan   “ Zero Waste Zero Emission”, mencapai  77 persen.  Dan, selain itu, lanjutnya,  RIL mampu  menurunkan emisi  CO2 hingga sebesar 41 persen.

“ Bukan hanya itu, penerapan RIL di hutan alam tropis dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 29-50% dari emisi CO2 yang disebabkan oleh deforestasi dan perubahan penggunaan lahan,”kata Ino, panggilan  Drasospolino.

Bagi  pemegang Perijinan  Berusaha  Pemanfaatan  Hutan atau PBPH, jelasnya,  manfaat penerapan  RIL, semua kegiatan, mulai  dari perencanaan, pemanenan  hingga pasca panen, terukur dengan baik. Kemudian,  dengan penerapan Reduced Impact Logging  ini,  maka tingkat kerusakan hutan menjadi lebih rendah.

Mengapa ?  karena semuanya terkendali; pembukaan areal terkendali, kerusakan tegakan terkendali, segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan dapat dikendalikan dengan baik.  Tidak hanya, penerapan  RIL, juga  membuat aktivitas Chain of Custody (CoC) menjadi lebih tentu  berdampak pada pendapatan operator,  operator Chain Saw  dan Traktor,  secara otomatis.

Begitupun dengan menerapkan  teknik  Silvikultur Intensif atau SILIN,  Ino mengatakan juga akan berdampak dalam penyerapan karbon.  Dan ini, paling tidak  250 ton C perhektar untuk masa waktu 25  tahun.  “  Ini dua kali lipat dari kemampuan sistem TPTI yang hanya 115 ton C/Ha,”tandasnya.

Teknik  SILIN  merupakan, tindakan memanipulasi lingkungan dan pengelolaan organisme pengganggu tanaman tegakan pohon dan lingkungannya untuk mempercepat pertumbuhan tanaman.

Manfaat lain dari  SILIN pun sangat jelas.  Meningkatkan produktivitas  hutan alam sekunder sebagai  basis penyediaan  bahan baku industri kayu.  Kemudian,  membantu menyelamatkan  hutan alam yang tersisa untuk mempertahankan fungsinya sebagai obat dan sumber daya genetik. Berikutnya, itu tadi,  memperbaiki lingkungan dengan kemampuannya menyerap CO2.

Penerapan SILINpun, ungkap Ino, tidak akan berpengaruh dalam aspek vegetasi, karena  tidak mengubah struktur vegetasi hutan alam, menggunakan   bibit unggul lokal.  Justru sebaliknya,  dapat meningkatkan  nilai variabilitas genetic sebesar 12 persen dibanding permudahan alami. Lalu juga,  mengurangi laju erosi tanah hingga 76 persen dan aliran  air permukaan  tanah hingga 62 persen, dan inipun  bakal menjaga tingkat kesuburan tanah.

Bagi sektor kehutanan,  penerapan  RIL dan  SILIN,  jelas ini merupakan salah satu sasaran  dari aksi mitigasi NDC, karena  ini bakal mengurangi deforestasi dan sangat seiring dengan prinsip pengelolaan  hutan lestari.  Dan  dukungan  SILIN  untuk mencapai  target NDC tersebut, kata  Ino, ditempuh melalui  regenerasi intensif dan  peningkatan  cadangan karbon.

Suatu kegiatan Workshop terkait “Zero Waste Zero Emision diselenggarakan Dtjen Sampah Limbah dan B3, bertepatan dengan Festival Pengelolaan sampah dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023.  Selain, Drasospolino, Sekditjen  PHL  juga hadir Direktur Penanganan Sampah Novrizal Tahar dan sejumlah pakar dan praktisi lainnya. Adapun Retno Gumilang Dewi, Lektor Kepala pada Fakultas Teknologi Industri ITB, dan Wahyunanto Agung Nugroho dari Universitas Brawijaya, hadir sebagai penanggap.

Multi Usaha.

Draspolino juga menyebut multi usaha  pada sektor kehutanan sebagai  peluang bisnis hijau.  Setidaknya, ada  3 prinsip  kelestarian  yang disebutnya  ada pada  multiusaha kehutanan. Dan prinsip itu, kelestarian  lingkungan, penerimaan  sosial dan kelayakan ekonomi.  “Strategi penerapan  multi usaha dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan  hutan,  sangat memungkinkan  pemanfaatan  sumberdaya hutan secara optimal, sesuai dengan  aspek biofisik dan sosial ekonomi budaya,”tandas Drasospolino.

Selama ini, diakuinya, ada sejumlah masalah dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya daya hutan.  Karena terfokus pada satu komoditas yakni hanya pada  hasil  hutan kayu, membuat nilai ekonomi riil lahan  huatn rendah.  Persentase luas efektif pemanfaatan  hutanpun  ikut rendah.

Nah kondisi ini,  tegas Ino,  berakibat terus terjadinya   pengundukabn  hutan, bisnis  kehutanan menurun karena produktivitas hasil hutan kayu  rendah.  Dampak lanjutnya,  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kehutanan rendah.  “Lebih parah lagi,  kawasan yang tidak dikelola dengan baik, menjadi akses terbuka yang mengarah pada perambahan lahan dan konflik tenurial lainnya,”ungkapnya.

Dijelaskan juga oleh Drasospolino, bahwa di dalam  aktivitas multi usaha kehutanan,  telah terjadi  suatu integrasi dalam pemanfaatan  kawasan  hutan, yakni dikembangkannya  kawasan wisata alam, dan di bawah tegakan bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman semusim, atau jenis tanaman lain yang lebih productive.

Tidak sebatas itu,  ada peluang  pemanfaatan jasa lingkungan, seperti pengelolaan aliran air. Dan   itu tadi, penyerapan dan penyimpanan karbon. Kemudian, semua jenis potensi bisa dikembangkan, hasil hutan kayu dan pemanfaatan  hasil bukan kayu.