Pemerintah Bebaskan DR dan Tetapkan Kayu Budidaya Menjadi Asset Perusahaa

SILIN MERBAU; Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan,, Senin (29/11) meluncurkan Teknik SILIN Merbau dalam upaya meningkatkan produktivitas kayu Merbau Papua dabn Papua Barat. Dirjen PHL Agus Justrianto minta dukungan semua pihak agar program ini bisa berjalan optimal.

TROPIS.CO, JAKARTA –  Pemerintah membebaskan pemegang ijin Berusaha Pemanfaatan Hutan –PBPH,  dari kewajiban membayar Dana Reboisasi- DR,  bagi mereka yang mengembangkan budidaya tanaman kayu dengan teknik Silvikultur Intensif atau SILIN di areal bekas tebangannya.

Pemerintah juga menetapkan pohon yang ditanam menjadi asset perusahaan. Sehingga ada peluang bagi pemegang ijin untuk mendapatkam dana perbankan dalam pembiayaan penanaman.

Kabar baik bagi dunia usaha perkayuan ini disampaikan  Dirjen  Pengelolaan  Hutan Lestari, Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agus Justianto, saat meluncurkan Silvikultur Intensif – SILIN Merbau  di Jakarta Senin (27/11).

Dan ini merupakan  peluncuran kedua, setelah sebelumnya,  22 Januari 2019, telah  dicanangkan Teknik SILIN jenis Meranti. Strategi ini ditempuh guna mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Layanan Prima Dunia Usaha Kehutanan.

Bersamaan dengan itu juga  diluncurkan  Sistem Informasi Rencana Kerja dan Pelaporan  atau SI-CAKAP.  SI- CAKAP  merupakan upaya pemerintah memberikan kemudahan bagi PBPH dalam proses perencanaan dan merupakan salah satu bentuk komitmen Pemerintah untuk memberikan layanan prima bagi dunia usaha.  Kemudahan dalam berusaha diharapkan dapat meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja di sekor kehutanan.

Kebijakan ini ditempuh pemerintah dalam upaya merangsang dunia usaha untuk meningkatkan produktivitas kayu hutan alam, di bekas areal tebangan. Dengan teknik Silvikultur  Intensif diharapkan  produktivitas kayu bulat,  bisa mencapai  sedikitnya,  120 m3/hektar.  Masa panennya,  20 -25  tahun untuk jenisd kayu meranti, dan 30  tahun jenis kayu Merbau.

Suatu peningkatan yang sangat drastis ketimbang produktivitas kayu tumbuh alami yang hanya berkisar 15 hingga 20 m3/hektar  dalam masa panen yang relative lebih lama, di atas  30  tahun.

Usai meluncurkan Teknik SILIN, Ditjen Agus bersama Prof Naim, sang pencetus Teknik SILIN dan  sejumlah pengurus APHI, sempat foto bersama

Melalui penguatan kebijakan multisistem silvikultur, multiusaha kehutanan dan teknik Sivikultur Intensif di dalam pengelolaan hutan produksi, kata  Agus Justianto,  menjadi  strategi jitu dalam upaya meningkatkan produktivitas hutan alam.

“Pemerintah akan terus mendorong penerapan SILIN melalui dukungan regulasi dan partisipasi para pihak,”kata Agus lagi.

Partisipasi semua pihak terkait, adalah  kunci kebehasilan penerapan SILIN. Karenanya, perlu  dibangun komitmen bersama terkait pengelolaan sumberdaya hutan;  unit manajemen, lembaga swadaya masyarakat, institusi perguruan tinggi, dan masyarakat.

“SILIN tidak boleh berhenti, karena merupakan salah satu strategi Kementerian LHK dalam mewujudkan pengelolaan hutan alam produksi yang lestari,”tandas  Agus Justianto.

Karenanya Agus meminta kepada unit manajemen PBPH, hendaknya melaksanakan SILIN dengan baik. Dan pencanangan SILIN Merbau menjadi momentum penanda peran penting dan strategis SILIN dalammewujudkan peningkatan produktivitas hutan alam dan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan. Khususnya di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai daerah produsen kayu merbau.

“Merbau, merupakan jenis kayu niagawi yang secara alami banyak tumbuh di Provinsi Papua dan Papua Barat. Teknik Silvikultur Intensif Merbau merupakan inovasi yang dibangun secara kolaboratif untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dengan tercapainya optimalisasi fungsi hutan baik dari sisi ekologi maupun ekonomi dan sosial,” kata Agus Justianto.

Tidak sebatas itu,   Agus juga meminta kepada seluruh PBPH untuk membangun persemaian yang baik, sesuai dan memenuhi kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi. Bibit-bibit yang digunakan harus sesuai standar dan berasal dari pohon induk yang baik, dijamin baik kualitasnya dan yang paling penting adalah persentase hidup tinggi, karena peningkatan produktivitas hutan alam produksi hanya akan tercapai apabila pohon yang ditanam mampu hidup dan tumbuh dengan baik. Bibit yang ditanam juga harus senantiasa dilakukan perawatan dan pemeliharaan untuk mendapatkan kayu dengan kuantitas dan kualitas yang baik.

Dikatakan Agus, seiring dengan apa yang telah dinyatakan Presiden RI dalam forum COP ke 26 di Glasgow tentang komitmen Indonesia dalam melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sebagaimana tertuang dalam dokumen updated Nationally Determined Contribution (NDC), target Indonesia dalam penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2030 adalah sebesar 29% dengan National Effort sampai sebesar 41% dengan International Support.

Prof Naim, salah seorang pakar kehutanan dari  UGM  pencetus Teknik SILIN awal 90an

Terkait dengan hal ini, Agus menyampaikan bahwa dibanding sektor lain, sektor kehutanan memiliki porsi terbesar didalam target penurunan emisi GRK sebesar 59,76%. Untuk itu, kita mengakselerasi penurunan emisi GRK menuju Net Sink FOLU yang dituangkan dalam dokumen Long Term Strategy Low Carbon Climate Resilience (LTS-LCCR). Salah satu aksi mitigasi sektor FoLU adalah Pengelolaan Hutan Lestari, antara lain melalui penerapan Reduced Impact Logging (RIL), multiusaha kehutanan, dan sistem silvikultur yang sesuai disertai penerapan teknik SILIN. Berdasarkan semua upaya yang telah dilakukan, Pemerintah optimis dapat mencapai Forest and Other Land Use (FoLU) Net Sink pada tahun 2030.

Kebijakan ini sangat direspon positif bagi kalangan pemegang ijin berusaha pemanfaatan hutan.  “APHI menyambut baik pengembangan SILIN untuk Merbau, menyusul jenis Meranti yang sudah dikembangkan sebelumnya,”kata Purwadi.

Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia ini, mengatakan karena habitat utama Merbau di Papua,maka perlu upaya2 intensif untuk meningkatkan produktivitasnya – yang salah satunya dengan Sirvilkulture Intensif.

Hanya memang, menurut David, salah seorang Ketua APHI, sebaiknya kebijakan ini jangan dipaksakan mandatori melainkan dilakukan voluntory, mengingat setiap pemegang ijin memiliki kuntur lahan yang berbeda. “Namun kebijakan ini sangat  positif bagi dunia usaha perkayuan, terlebih dengan dibebaskannya  kewajiban membayar DR dan dijadikannya tanaman sebagai asset perusahaan,”ujar Ketua Bidang  Produksi Hutan Alam.

Pemahaman  dari teknik silin atau silvikultur intensif, membangun kembali hutan tropis bekas tebangan menjadi hutan sehat, prospektif dan lestari. Teknik silin telah diterapkan lebih dari 70 ribu hektar di berbagai lokasi. Bahkan dengan teknik ini, produktivitas kayu naik menjadi 8-10 kali lipat dan jangka waktu masa panen lebih cepat.