Pemerintah Perlu Rumuskan Skema Dana Murah untuk Program Silin

Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto bersama Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Hilman Nugroho dan Wakil Ketua APHI Rahardjo Benjamin (dari kiri ke kanan). Foto : Istimewa
Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto bersama Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Hilman Nugroho dan Wakil Ketua APHI Rahardjo Benjamin (dari kiri ke kanan). Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemerintah hendaknya segera merumuskan skema pendanaan murah untuk memperlancar penerapan teknik Silin dalam pengelolaan hutan alam.

“Pemerintah perlu melakukan terobosan merumuskan skema pendanaan sebab penerapan teknik Silin dalam pengembangan hutan alam, sangat tak mungkin dibiayai skema pendanaan komersial biasa,” tutur Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto di Jakarta belum lama ini.

Ia menilai, penerapan teknik Silin merupakan investasi jangka panjang dan membutuhkan dana besar. Selain adanya kepastian kepemilikan aset.

Dengan masa investasi 20 hingga 30 tahun, kecil kemungkinan ada lembaga keuangan yang mau membiayai program ini sehingga tidak ada pilihan lain demi suksesnya program ini maka pemerintah mesti membuat terobosan dengan menciptakan skema pembiayaan relatif murah.

Purwadi mengakui langkah sangat positif yang ditempuh pemerintah mengembangkan multi usaha kehutanan dalam upaya mengoptimal pemanfaatan potensi hutan alam.

“Kami sambut baik konsep multiusaha, karena bisa menjadi pendapatan antara sebelum investasi, seperti Silin diperoleh hasilnya,” lanjut Purwadi lagi.

Kendati demikian, dalam penentuan jenis-jenis komoditas yang akan dikembangkan perlu fleksibilitas.

Artinya, kalangan pengusaha bisa menentukan sendiri komoditas yang diyakini mampu memberikan keuntungan usaha dan prospektif.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah menunjuk Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Dodik Nurrachmad sebagai Ketua Tim Kajian multi-usaha kehutanan.

Multi usaha kehutanan ini dilaksanakan dalam konteks optimalisasi pengelolaan kawasan hutan dan hanya dapat diimplementasikan bila didukung oleh payung kebijakan.

“Karenanya payung kebijakan ini perlu dirumuskan dan ditetapkan,” ujar Prof Dodik Ridho Nurrachmat.

Dia berpandangan, pemberian izin multi usaha kehutanan memungkinkan terwujudnya optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan sesuai karakteristik biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Hal ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas dan pengawasan dalam usaha pemanfaatan hutan serta menghindari adanya tumpang tindih perijinan pada lahan hutan yang sama, atau mengurangi terjadinya izin di atas izin.

Tentu yang tak kalah penting adalah menurunkan potensi konflik pemanfaatan hutan karena beragam kepentingan dapat diakomodir dalam izin multi usaha.

“Multi usaha kehutanan dapat dilakukan di dalam konsesi hutan atau di wilayah tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan dengan pola pemanfaatan ruang sesuai potensinya.”

“Dengan demikian seluruh bagian hutan dapat dikelola secara efektif dan menghasilkan manfaat yang optimal,” ungkap Prof Dodik. (*)