Pemerintah dan Pengusaha Sepakat Indonesia Jadi Acuan Harga CPO Dunia

Empat Aspek

Dwi juga menyampaikan, bahwa pembentukan tata niaga sawit, setidaknya harus mencakup empat aspek, antara lain aspek keadilan, efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan.

“Keterlibatan pemerintah, BUMN, dan swasta, diharapkan bisa menciptakan sinergi yang positif dalam mendesain tata niaga sawit Indonesia yang adil, efisien, transparan, dan terpercaya,” ungkapnya.

Sementara Didid Noordiatmoko, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), mengatakan bahwa strategi membentuk harga rujukan CPO Indonesia merupakan bagian dari membangun kedaulatan industri sawit di dalam negeri.

Karena itulah, Bappebti sedang menyusun aturan baru yang akan mewajibkan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melalui bursa berjangkan komoditas.

Baca juga: Mendorong Keterlibatan Masyarakat Perdesaan Hasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan

Aturan tersebut masih digodok dan membutuhkan kajian matang dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kebijakan domestic market obligation (DMO) dan eksportir.

Lalu, akan dikaji pula produk CPO yang wajib diekspor melalui bursa berjangka. Selanjutnya mekanisme bursa untuk memfasilitasi perdagangan.

Peranan Bappebti membentuk referensi harga komoditas di Indonesia sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

”Bappebti berhasil membangun price reference timah yang berada di dua bursa yaitu BBJ dan ICDX. Itu sudah menjadi harga acuan bagi dunia,” ujarnya.

Baca juga: GAPKI: Faktor-Faktor Penghambat Produksi Minyak Sawit Harus Diatasi

Menurut Didid bahwa tujuan dari harga referensi ini adalah membentuk harga pasar yang transparan dan diyakini semua pihak sehingga dapt menjadi referensi harga.

Rahmanto Amin Jatmiko, Direktur PT. KPBN, mengatakan bahwa KPBN sudah punya persyaratan sebuah bursa yang memungkinkan untuk secara resmi dijadikan sebagai bursa CPO Indonesia dalam waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan bursa yang lain atau membentuk bursa yang baru.

Ada enam pertimbangan KPBN layak dijadikan acuran harga CPO sesuai keinginan pemerintah. Pertama, KPBN mampu mempertemukan penjual dan pembeli dalam sebuah platform market place yang fair, efisien, mampu membentuk harga harian yang disepakati, dan kontinyu.

Kedua, harga CPO KPBN telah menjadi acuan harga patokan TBS provinsi dan besaran insentif biodiesel.

Baca juga: GAPKI: Industri Sawit Butuh Dukungan Pers Lawan Diskriminasi dan Kampanye Negatif

Selain itu, dijadikan acuan harga oleh Oilworld, Indef, Gapki, Bloomberg Intelligent Analysis, Kemenko Marves.

Ketiga data harga KPBN 2008 – saat ini tercatat dan tampil dalam sistem platform media global Bloomberg dan Reuters (refinitive).

Keempat, bursa harian yang dijalankan di KPBN sudah dimulai sejak 1968 dan sudah diverifikasi oleh BPK RI pada tahun 2017.

Kelima, KPBN adalah anak perusahan dari PTPN sehingga bisa menjalankan misi sebagai sebuah korporasi yang professional maupun misi untuk kepentingan nasional sesuai arahan pemerintah.

Baca juga: Nilai Ekspor dan Permintaan Dalam Negeri untuk Produk Minyak Sawit Naik

Keenam, Bursa CPO KPBN dijalankan dengan e-tender sehingga fair, efisien, dan transparan dan KPBN juga memiliki fasilitas tanki timbun di dua pelabuhan utama perdagangan CPO yaitu Belawan dan Dumai.

Lalu Kabul Wijayanto, Direktur Perencanaan dan Pengelolaan Dana BPDPKS, sepakat dengan adanya acuan harga komoditas CPO Indonesia yang diharapkan dapat dijadikan acuan harga sawit global.

Selain itu, harga acuan komoditas yang mudah diakses dapat menjadi acuan pengambil kebijakan memudahkan BPDPKS dalam menyusun rencana belanja program.

“Harapan kami dengan adanya bursa, menjadikan Indonesia harga acuan dunia. Karena itulah, kita perlu satu data soal ini baik terkait harga, luas perkebunan maupun neraca komoditas untuk produksi, konsumsi, dan ekspor,” pungkas Kabul. (*)