GAPKI: Faktor-Faktor Penghambat Produksi Minyak Sawit Harus Diatasi

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Joko Supriyono menegaskan bahwa faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi minyak sawit harus segera diatasi. Foto; GAPKI
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Joko Supriyono menegaskan bahwa faktor-faktor penghambat pertumbuhan produksi minyak sawit harus segera diatasi. Foto; GAPKI

TROPIS.CO, JAKARTA – Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Meski status itu masih dipegang Indonesia hingga kini, tapi ada fakta cukup mengganjal bahwa pencapaian produksi crude palm oil (CPO) tahun 2022 sebesar 46,729 juta ton yang lebih rendah dari produksi tahun 2021 sebesar 46,888 juta ton dan merupakan tahun keempat berturut-turut di mana produksi cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia.

Turunnya produksi CPO Indonesia jelas berimbas pada turunnya jumlah ekspor.

Ekspor 2022 sebesar 30,803 juta ton lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton, dan merupakan tahun ke-4 berturut-turut di mana ekspor turun dari tahun ke tahun.

Baca juga: Hadapi Diskriminasi Minyak Sawit Eropa, Indonesia dan Malaysia Harus Kompak

“Oleh karena itu, faktor-faktor penghambat produksi minyak sawit harus diatasi,” tegas Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Joko Supriyono dalam konferensi pers GAPKI yang digelar di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (25/1/2023).

Berkaca dari data sepanjang tahun 2022, Joko memaparkan faktor-faktor yang jadi penyebab merosotnya produksi CPO Indonesia.

“Tahun 2022 di Indonesia diwarnai dengan kejadian-kejadian tidak biasa antara lain cuaca yang ekstrim basah, lonjakan kasus Covid-19 di bulan Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia di bulan Februari, harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi, kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April – 23 Mei, harga pupuk yang tinggi dan sangat rendahnya pencapaian program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” ungkap Joko.

Secara teknis, cuaca ekstrim basah mengganggu aktivitas serangga penyerbuk dan kegiatan panen, pupuk yang mahal dan sulit diperoleh mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman, pelarangan ekspor menyebabkan buah tidak dipanen tidak hanya pada periode pelarangan tetapi juga beberapa bulan sesudahnya ketika stok masih sangat tinggi.

Baca juga: Kelapa Sawit Berkontribusi pada PDB Perkebunan Terbanyak

“Program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600 ribu hektare dalam lima tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit, menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.”

“Harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak,” ujar Joko.