Pastikan Program Food Estate Mampu Atasi Krisis Pangan

Perlu Dikaji Ulang

Rencana pemerintah untuk membuka cetak sawah di lahan eks-PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Kalimantan Tengah, sangat perlu dikaji ulang.

“Hasil analisis Pantau Gambut menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahunnya. Pada tahun 2019 saja, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektare dan tentunya akan menimbulkan permasalahan baru,” ungkapnya.

Tidak adanya transparansi serta minimnya keterlibatan publik dalam program food estate, membuat dampak program ini terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya tidak dapat dipastikan.

“Sampai sekarang proyek food estate di Kalimantan Tengah belum mempunyai dokumen grand design, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengawalnya.”

“Saya berharap Lembaga Ombudsman dapat mengkaji lebih dalam kebijakan food estate, terkait apakah ada manfaatnya pada ketahanan pangan dan bagaimana dampaknya pada lingkungan dan sosial akibat alih fungsi hutan dan gambut,” jelas Iola.

Hal senada juga disampaikan oleh Bustar Maitar, pendiri dan CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation).

“Kami ingin memastikan agar rencana pemerintah dalam mengembangkan produksi pangan tidak perlu merusak ekosistem. Inilah yang perlu kita kawal bersama,” katanya.

Bustar mengungkapkan bahwa dalam catatan sejarah, food estate baik yang sudah dilakukan pemerintah sebelumnya, maupun pihak swasta, selalu berujung dengan kegagalan.

Pada tahun 1995, Presiden Soeharto mengembangkan lahan gambut seluas 1,45 juta hektare di Kalimantan Tengah, dimana kayu hutan habis namun tidak menghasilkan pangan.

Ia menambahkan, kegagalan juga terjadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) dengan lahan seluas 1,9 juta hektare.

Pada tahun 2008, proyek ini berubah nama menjadi The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), dengan luas lahan 1.282.833 hektare yang melibatkan 32 investor.

Pada akhirnya proyek tersebut berujung pada perusakan ekosistem, tetapi tetap tidak menghasilkan pangan bagi masyarakat.

“Saat ini, di Papua sudah ada rencana penataan batas kawasan hutan yang akan dilepaskan untuk cetak sawah baru di Kabupaten Merauke, Mappi dan Boven Digul yang diimplementasikan pada tahun 2020 dan 2021 dengan luas lahan mencapai 2.038.951,09 hektare,” ungkapnya.

Dengan pembukaan lahan jutaan hektare, maka akan terdapat banyak kayu bernilai jual tinggi yang ditebang.

Bustar mempertanyakan transparansi kelanjutan penjualan dari kayu tersebut dan manfaatnya bagi masyarakat, serta dampaknya bagi konservasi hutan di Indonesia.