Pastikan Program Food Estate Mampu Atasi Krisis Pangan

Para narasumber dalam Webinar bertema Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisis Pangan Saat Pandemi? yang digelar pada Kamis (22/7/2021).Foto: Indonesia Communications
Para narasumber dalam Webinar bertema Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisis Pangan Saat Pandemi? yang digelar pada Kamis (22/7/2021).Foto: Indonesia Communications

TROPIS.CO, JAKARTA – Pegiat lingkungan dari EcoNusa dan Pantau Gambut menilai respon pemerintah untuk menghadapi ancaman krisis pangan saat pandemi melalui program food estate belum tepat karena program tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak serius pada lingkungan secara jangka panjang.

Keduanya mendukung lembaga negara Ombudsman untuk melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap perencanaan dan pelaksanaan program food estate.

Data Kementerian Pertanian mencatat ketersediaan pangan masih masih aman, bahkan surplus 7,39 juta ton hingga akhir tahun 2020.

Pada akhir Juni 2021, surplus beras sebanyak 10,28 juta ton.

Di akhir Desember 2021, perkiraan suplus beras adalah sebanyak 9,62 juta ton.

Merefleksikan data tersebut, Iola menegaskan bahwa tidak ada urgensi untuk program cetak sawah baru melalui food estate untuk merespon dampak pandemi.

“Permasalahan akibat pandemi adalah berkurangnya akses pada pangan, sehingga rantai suplai menjadi terganggu dari sisi produsen, pemasukan, transportasi, pabrik pengolahan, pengiriman dan lainnya.”

“Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian, bukan pada persoalan penambahan produksi,” tutur Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, dalam Webinar bertema Apakah Food Estate Efektif Menghadapi Ancaman Krisis Pangan Saat Pandemi? yang digelar pada Kamis (22/7/2021).

Iola juga mengkhawatirkan adanya Permen LHK Nomor 24 tahun 2020 yang muncul setelah kegiatan food estate di Kalimantan Tengan dan Sumatera Utara berjalan yang justru dapat mengancam lingkungan.

Pada Pasal 19 Permen tersebut tertulis bahwa kawasan hutan lindung boleh dibuka untuk dijadikan kawasan food estate.

“Hal ini jelas bertentangan dengan UU Nomor 41 tahun 1999, Pasal 16 yang menyatakan pemanfaatan hutan lindung hanya sebatas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.”

“Artinya penggunaan kawasan tidak boleh mengurangi fungsi utama kawasan itu sendiri,” tegas Iola.

Baca juga: Food Estate dan Strategi Ketahanan Pangan Lokal