TROPIS.CO, JAKARTA – DPR RI memberikan respon positif atas pengembangan Program Perhutanan Sosial yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan .
Firman Soebagio, anggota Komisi IV dari Fraksi Golongan Karya, menjawab Tropis.co, mengatakan, program perhutanan sosial dengan pendekatan lima skema, yakni hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan, akan memberikan multiplaer effect luar biasa, tidak sebatas pertumbuhan ekonomi, tapi juga terhadap lingkungan.

“Namun ini dengan catatan, bahwa setiap izin perhutanan sosial yang diberikan, terus dikawal dengan pendampingan yang serius, sehingga konsesi yang diberikan memberikan manfaat optimal,”kata Firman Soebagio.
Artinya, lanjut dia, tidak berhenti pada pemberian izin dengan luasan yang pantastis, hanya untuk mempercepat pemberian akses pemanfaatan seluas 12,7 juta hektar. Sementara kawasan hutan yang diberikan izin pemanfaatannya, tidak digarap baik hingga tidak produktiv dan tidak memberikan kontribusi pergerakan ekonomi.
Perhutanan sosial, jelas anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah, bisa diperankan sebagai ujung tombak dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Berbagai potensi hutan non kayu sebagian besar bisa dikembangkan menjadi sumber pangan alternatif, selain beras.
“Nah, andai ini bisa terkelola baik, maka tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya kekurangan pangan, ketahanan pangan kita terjamin,” tandas anggota Badan Legeslatif DPR RI ini.
Kata Firman Sobagio, gejolak harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi hampir bersamaan belakangan ini, mengingatkan kembali, bahwa kondisi ketahanan pangan nasional relatif rapuh karena tergantung impor. Karenanya, klaim soal swasembada pangan yang kerap digembor-gemborkan Kementerian Pertanian pun, layak dipertanyakan kebenarannya.
“Kenaikan harga makin terasa mengingat untuk komoditas pangan, Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.”
“Gandum, bawang putih hampir 100 persen impor, kedelai 97 persen impor, gula 70 persen impor, daging lebih dari 50 persen impor,” ungkapnya.
Padahal parlemen selalu mengingatkan, agar persoalan pangan ini untuk tidak dijadikan “barangan dagangan” dengan kondisi data yang tak akurat. Bahwa adanya percepatan peningkatan produksi pangan sudah menjadi keharusan. Dan ini hendaknya, Kementan tidaklah sendiri, melainkan juga melibatkan kementerian lain, seperti Kementerian LHK terkait potensi lahan.
“ Pemahaman pangan, tidak harus terfokus pada beras, jagung dan kedelai, tapi masih sumber pangan lain yang bisa dikembangkan dengan melibatkan kelompok tani hutan dalam pendekatan perhutanan sosial,”kata Firman lagi. “ Persoalan pangan hendaknya tidak dipandang kepentingan sektoral karena menyangkut hajat hidup rakyat dan negara,”tandasnya.
Suatu langkah yang sangat positif disebut Firman, terkaitan peran perhutanan sosial, sebagai solusi dalam menyelesaikan “keterlanjuran” perkebunan sawit masyarakat di dalam kawasan hutan. Semua tahu persoalan keterlanjuran seperti benang kusut – yang seakan tak terselesaikan. Sehingga tidak memberikan kepastian bagi masyarakat dalam kegiatan usaha taninya.
Dan ini suatu yang sangat ironis, mengingat persoalan keterlanjuran berpangkal dari ketidak- tegasan, dan adanya pembiaran oleh pemerintah. Awalnya memang tidak luas, kata Firman, tapi semakin baiknya harga sawit, memancing masyarakat untuk ikut mernanam kelapa sawit. Dan mereka seakan tidak peduli, bahkan terkadang banyak yang tahu, bahwa lahan yang mereka tanami kelapa sawit itu, suatu kawasan hutan.
Sementara unsur pemerintahan lokal yang cukup mengetahui status dan fungsi kawasan tersebut, seolah tutup mata, pura pura tidak tahu. Dan kini meluas, mencapai 3,5 juta hektar, pemerintah kaget dan kesan kuat, menyalahkan masyarakat karena melanggar Undang Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Pendekatan jangka benah dianggapanya sebagai solusi terbaik karena masyarakat tidak dirugikan karena masih diberi kesempatan pengelolaan perkebunan kelapa sawit untuk masa satu daur, atau 25 tahun sejak tanam. Walau memang, dengan pendekatan jangka benah, terhadap tanaman sawit yang tidak produktif lagi, tidak boleh direplanting, tapi harus menggantinya dengan tanaman kehutanan.