Bila Terkelola Baik, Perhutanan Sosial Mampu Memberikan Jaminan Ketahanan Pangan

Tanaman talas salah satu sumber pangan yang sangat potensial, dan bisa dikembangkan menjadi alternatif sumber pangan nasional. Talas kini banyak dikembangkan kelompok tani hutan, di kawasan perhutanan sosial, Firman Soebagio, perlu sinergi dalam mengembangkan sumber pangan, tidak harus dimonopoli satu kementerian, karena menjadi sumber kehidupan rakyat.

TROPIS.CO, JAKARTA – DPR RI memberikan respon positif atas pengembangan Program Perhutanan Sosial yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan  masyarakat dan kelestarian lingkungan .

Firman Soebagio, anggota Komisi IV dari  Fraksi Golongan Karya, menjawab Tropis.co, mengatakan, program perhutanan sosial dengan pendekatan lima skema, yakni hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan, akan memberikan multiplaer effect luar biasa, tidak sebatas pertumbuhan ekonomi, tapi juga terhadap lingkungan.

Firman Soebagio, kembangkan sumber pangan alternatif, manfaatkan potensi  perhutanan sosial dengan melibatkan  masyarakat di sekitar kawasan  hutan.

“Namun ini dengan catatan, bahwa setiap izin perhutanan sosial yang diberikan, terus dikawal dengan pendampingan yang serius, sehingga konsesi yang diberikan memberikan manfaat optimal,”kata Firman Soebagio.

Artinya, lanjut dia, tidak berhenti pada pemberian izin dengan luasan yang pantastis, hanya untuk mempercepat pemberian akses pemanfaatan seluas 12,7 juta hektar.  Sementara kawasan hutan yang diberikan izin pemanfaatannya, tidak digarap baik hingga tidak  produktiv  dan tidak memberikan kontribusi  pergerakan ekonomi.

Perhutanan sosial, jelas anggota DPR RI  dari  daerah pemilihan Jawa Tengah, bisa diperankan sebagai ujung tombak dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Berbagai potensi hutan non kayu sebagian besar bisa dikembangkan menjadi sumber pangan alternatif, selain beras.

“Nah, andai ini bisa terkelola baik, maka tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya kekurangan pangan, ketahanan pangan  kita terjamin,” tandas anggota Badan Legeslatif DPR RI ini.

Kata Firman Sobagio, gejolak harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi hampir bersamaan belakangan ini, mengingatkan kembali, bahwa kondisi ketahanan pangan nasional relatif rapuh karena tergantung impor. Karenanya, klaim soal swasembada pangan yang kerap digembor-gemborkan Kementerian Pertanian pun,  layak dipertanyakan kebenarannya.

“Kenaikan harga makin terasa mengingat untuk komoditas pangan, Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.”

“Gandum, bawang putih hampir 100 persen impor, kedelai 97 persen impor, gula 70 persen impor, daging lebih dari 50 persen impor,” ungkapnya.

Padahal parlemen selalu mengingatkan, agar persoalan pangan ini untuk tidak dijadikan “barangan dagangan” dengan kondisi data yang tak akurat. Bahwa adanya percepatan peningkatan produksi pangan sudah menjadi keharusan.  Dan ini hendaknya, Kementan tidaklah sendiri, melainkan  juga melibatkan kementerian lain, seperti  Kementerian LHK terkait potensi lahan.

“ Pemahaman  pangan, tidak harus terfokus pada  beras, jagung dan kedelai, tapi  masih sumber pangan lain yang bisa dikembangkan dengan melibatkan kelompok  tani  hutan dalam  pendekatan perhutanan sosial,”kata  Firman  lagi. “ Persoalan  pangan hendaknya tidak dipandang kepentingan sektoral karena menyangkut hajat hidup rakyat dan negara,”tandasnya.

Suatu  langkah yang sangat positif disebut Firman, terkaitan  peran  perhutanan sosial, sebagai  solusi dalam menyelesaikan “keterlanjuran”  perkebunan sawit masyarakat di dalam kawasan hutan.  Semua  tahu  persoalan  keterlanjuran  seperti benang kusut –  yang seakan tak terselesaikan.  Sehingga tidak memberikan kepastian bagi masyarakat dalam kegiatan usaha taninya.

Dan ini suatu yang sangat  ironis, mengingat  persoalan keterlanjuran berpangkal dari ketidak- tegasan,  dan adanya pembiaran  oleh pemerintah. Awalnya memang tidak luas, kata Firman, tapi semakin baiknya  harga  sawit, memancing masyarakat untuk ikut  mernanam kelapa sawit.  Dan mereka seakan tidak peduli, bahkan terkadang banyak   yang tahu, bahwa  lahan yang mereka  tanami kelapa sawit itu,  suatu kawasan  hutan.

Sementara unsur  pemerintahan lokal yang cukup mengetahui status dan fungsi kawasan tersebut, seolah tutup  mata, pura pura tidak tahu.  Dan kini meluas,  mencapai 3,5 juta hektar, pemerintah kaget dan kesan kuat, menyalahkan masyarakat karena melanggar  Undang Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Pendekatan jangka benah dianggapanya sebagai solusi terbaik karena masyarakat tidak dirugikan  karena  masih  diberi  kesempatan  pengelolaan perkebunan  kelapa sawit untuk masa  satu daur,  atau 25 tahun sejak tanam. Walau memang,  dengan pendekatan jangka benah, terhadap  tanaman sawit yang tidak produktif lagi, tidak boleh direplanting, tapi harus  menggantinya dengan tanaman kehutanan.