Investasi Industri Sawit Indonesia Terganjal Kampanye Negatif

Kampanye positif sawit mesti terus dikobarkan dan dijalankan guna melawan kampanye negatif. Foto: TROPIS.CO/Jos
Kampanye positif sawit mesti terus dikobarkan dan dijalankan guna melawan kampanye negatif. Foto: TROPIS.CO/Jos

TROPIS.CO, JAKARTA – Persaingan dagang antara produsen minyak nabati dunia kian memanas sejak munculnya minyak kelapa sawit yang menjadi primadona.

Bagaimana tidak, minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati paling produktif sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dunia.

Selain itu sawit juga bisa dijadikan sebagai bahan dasar beragam industri seperti makanan, kosmetik, hingga bioenergi.

Tekanan pada komoditas strategis bagi perekonomian Indonesia inipun semakin berat.

Meskipun beberapa penelitian menyebutkan sawit sebagai minyak nabati dengan penggunaan lahan paling kecil namun isu deforestasi kerap ditujukan kepada industri ini.

Baca juga: Perlu Strategi Diplomasi Hukum dan Investasi untuk Perang Dagang Sawit Jangka Panjang

Isu lainnyapun terus bergulir yakni isu hak asasi manusia (HAM), keanekaragaman hayati dan pengelolaan lahan gambut serta isu kesehatan.

Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menyebutkan, isu-isu tersebut merupakan bagian dari kampanye hitam dalam perang dagang minyak nabati global.

Joko menegaskan kampanye negatif tersebut memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi sawit dalam negeri.

Hal tersebut disampaikan Joko dalam acara #INAPalmOil Talkshow yang digagas Forum Komunikasi Sawit (FKS) yang diadakan secara online pada hari Rabu (20/5/2020).

Joko mengungkapkan, telah terjadi fenomena baru dalam dunia investasi global yang menekan industri sawit dalam negeri.

Bank-bank di dunia terutama dari Eropa dan Amerika saat ini menerapkan kebijakan baru menolak memberikan pinjaman bagi industri yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia ini.

“Selama ini industri sawit mengajukan pinjaman melalui beberapa bank Asia, seperti bank Jepang, Tiongkok, dan Korea.”

“Dua tahun terakhir bank Jepang tidak memberikan kredit lagi ke industri sawit karena mendapat pressure dari NGO maupun efek dari kampanye negatif sawit yang kian menyebar,” tutur Joko.

Menurut Joko, saat ini kampanye yang dilakukan Indonesia baik pemerintah dan pengusaha belum optimal.

Sementara itu arus isu negatif kelapa sawit terus digulirkan oleh negara produsen minyak nabati lainnya terutama di Eropa.

“Oleh sebab itu kampanye positif tentang sawit mesti terus dikobarkan dan dijalankan baik di dalam maupun luar negeri.”

“Saya mengapresiasi kinerja rekan-rekan media yang selama ini memberikan informasi positif tetang sawit kepada masyarakat.”

“Berkat hal tersebut, setidaknya di dalam negeri, sebagian besar masyarakat sudah memberikan persepsi positif terhadap sawit,” ungkap Joko.

Senada dengan Joko, Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman, Arif Havas Oegroseno mengungkapkan keprihatinannya terhadap kampanye hitam industri kelapa sawit khususnya Sawit Indonesia.

Menurut diplomat yang sudah berkarier lebih dari 30 tahun tersebut, seharusnya Indonesia memiliki long term strategy dalam menghadapi kampanye negatif sawit.

Havas menyatakan upaya memerangi kampanye negatif dan diskriminasi sawit Indonesia terkendala masalah anggaran.

Baca juga: Forum Jurnalis Sawit Bersama GIMNI, Aprobi, dan Apolin Donasikan 250 Paket Sembako

Sementara itu, Uni Eropa selain melakukan berbagai upaya proteksi terhadap pertaniannya, juga mengalokasikan 65 persen anggarannya untuk mensubsidi pertanian.

“Kita menghadapi serangan dari negara maupun industri yang memberikan modal besar.”

Sementara yang kita lakukan jumlahnya banyak tapi nilainya sedikit.”

“Bandingkan dengan kampanye yang dilakukan oleh perusahaan Avril Group yang merupakan perusahaan agro Industri asal perancis yang mengalokasikan dana kampanye anti sawit sebesar US$75 juta setiap tahunnya,” ujar Havas. (*)