Perlu Strategi Diplomasi Hukum dan Investasi untuk Perang Dagang Sawit Jangka Panjang

Duta besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno menilai, Indonesia membutuhkan strategi berkesinambungan dan terstruktur dalam menghadapi permainan panjang yang terus menekan industri kelapa sawit. Foto: Gapki
Duta besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno menilai, Indonesia membutuhkan strategi berkesinambungan dan terstruktur dalam menghadapi permainan panjang yang terus menekan industri kelapa sawit. Foto: Gapki

TROPIS.CO, JAKARTA – Minyak kelapa sawit terbukti memiliki produktivitas yang tinggi dengan penggunaan lahan paling rendah.

Hal tersebut menjadikan industri kelapa sawit yang berkembang di Indonesia dan Malaysia sebagai sebuah ancaman besar bagi Industri minyak nabati global.

Sengitnya persaingan dagang memunculkan berbagai isu mulai dari deforestasi, pengelolaan lahan gambut bahkan hak asasi manusia (HAM).

Semua isu digulirkan sebagai amunisi untuk menjatuhkan industri kelapa sawit yang dilancarkan di luar negeri maupun bahkan dalam negeri.

“Ini adalah long fight, Indonesia membutuhkan strategi yang jelas untuk melakukan kampanye sawit.”

Baca juga: Antisipasi Kemarau, Kinerja Tampungan Air Dioptimalkan

“Kita tidak bisa hanya bersikap reaktif tapi harus proactif, offensive and smartly aggressive,” ungkap Duta besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno dalam #INAPalmOil Talkshow yang digagas Forum Komunikasi Sawit dengan tajuk “Indonesia Menanggapi Isu Kesehatan Sawit di tengah Covid-19” yang diadakan secara online, pada hari Rabu (20/5/2020).

Menurut Havas, Indonesia membutuhkan strategi berkesinambungan dan terstruktur dalam menghadapi permainan panjang yang terus menekan industri kelapa sawit.

Selama ini kampanye yang sudah dilakukan diakuinya belum optimal.

Langkah pertama yakni kampanye sawit di dalam negeri atau domestic front.

Dalam hal ini, kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha dalam negeri penting untuk mendorong kampanye terstruktur pada level internasional.

Strategi kedua yakni dengan mengoptimalkan foreign front (luar negeri) melalui kampanye investasi dan kampanye legal.

Havas mencontohkan perusahaan-perusahaan Indonesia dan Malaysia yang memiliki investasi di Eropa harus berkolaborasi untuk melakukan diplomasi kepada pemerintah dan masyarakat setempat sebagai langkah kampanye terstruktur.

Bicara soal kampanye legal atau hukum juga menjadi langkah strategis yang bisa disasarkan langsung kepada pihak-pihak antisawit.

Menurutnya, Indonesia harus lebih tegas dalam mengajukan gugatan hukum kepada perusahaan, tempat makan maupun supermarket yang memberikan label “No Palm Oil”.

Langkah hukum ini menunjukkan ketegasan Indonesia sebagai produsen minyak sawit dalam melindungi komoditas strategisnya.

“Dalam melakukan kampanye luar negeri, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen sawit harus mengesampingkan persaingan internal dan memperjuangkan kelapa sawit secara bersama,” ujar Havas.

Baca juga: Kendati Covid-19, Aktivitas Industri Sawit di Sumbar Tetap Beroperasi Normal

Sementara Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada kesempatan yang sama menyatakan tekanan dari luar negeri terus bertambah dengan berbagai isu baru yang diciptakan untuk mendiskreditkan industri sawit.

“Bahkan, kampanye negatif sawit dan tekanan NGO membuat bank-bank di Eropa dan Amerika tidak mau memberikan kredit kepada pengusaha sawit.”

“Hal ini tentu saja sangat merugikan Industri sawit Indonesia,” pungkas Joko. (*)