TROPIS.CO-JAKARTA, Pada Festival Perhutanan Sosial Nasional atau Festival PeSoNa, di Manggala Wanabakti, Senin hingga Rabu, pekan kedua Juni ini, Maman, Ketua Kelompok petani Citaman Lawang Taji Gunung Karang Pandeglang, bercerita singkat terkait kopi Menir yang berasal dri pohon kopi yang berusia ratusan tahun.
“Mengapa disebut kopi Menir karena kala itu, yang bisa menikmati kopi ini hanyalah kelompok petinggi Belanda, dan ini merupakan bukti sejarah, bahwa sejak dulu Banten punya kopi,”katanya.
Sebenarnya, kopi Menir ini, berupa kopi Robusta lokal biji kecil yang sudah sempat dimakan kelelawar. Masyarakat di daerah Lawang Taji, Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang menyebutnya sebagai kopi “ leupeh lalay atau ludah kelelawar. Dan hingga kini, jenis kopi masih tumbuh subur di atas batu karang.
Kopi Menir ini, cerita Maman, sembari memperlihatkan biji kopi kecil kecil dalam kemasan, memang dipanen secara alami oleh kelelawar. “Kopi tadi dimakan kelelawar, tapi hanya memakan daging buahnya yang sudah matang, kemudian bijinya dibuang ke tanah,”tuturnya.
Nah, biji biji yang dileupeh ini, banyak berserakan di tanah. Inilah yang kemudian dikumpulkan, tentu dalam jumlah yang sangat terbatas, kemudian diolah masyarakat hingga menjadi kopi leupeh lalay.
Kata Maman, Bank Indonesia Banten, telah ikut terlibat dalam membina kelompok petani ini, hingga kopi Menir tetap eksis. Keunikan kopi menir, memiliki aneka rasa, ada pahitnya, ada manisnya, dan asamnya. “Mungkin, ada rasa asamnya karena didekat laut,”ungkapnya.
Provinsi Banten diakui Maman cukup potensial dengan tanaman kopi. Dan ini, tak sebatas Robusta, tapi juga ada Arabika dan Liberika. Lokasi terluas ada di wilayag Gunung Karang, Gunung Asepan dan Gunung Pulo Sari Kabupaten Pandeglang, dan juga ada di Kabupaten Lebak.