Koalisi Keadilan Iklim Ajukan Mitigasi Perubahan Iklim pada Presiden Jokowi

Batas Ekologis

Dia menilai, konsep pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau seharusnya dilandaskan pada kesadaran batas ekologis dan ketersediaan sumber daya alam yang tidak kekal.

Pertumbuhan yang hanya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) belum tentu menjamin bahwa rakyat sejahtera.

Ekonomi hijau harus dibentuk dengan meletakkan daya tampung dan daya dukung alam sebagai dasar.

Ekonomi akan tumbuh dengan baik jika berbentuk sirkular dan bukan linear, terdesentralisasi dan bukan desentralisasi, diversifikasi tanaman dan bukan monokultur.

“Begitu juga soal transisi energi, spirit melakukan transisi energi adalah hal yang patut dihargai.”

“Namun, kebijakan yang diambil masih berkutat pada aspek BBN (bahan bakar nabati) yang bahan bakunya didominasi kelapa sawit, yang berisiko mendorong deforestasi.”

“Transisi energi juga semata berfokus pada narasi penjualan kendaraan listrik tanpa memandang sumber tenaga listrik.”

“Persoalan mendasar transisi energi, yakni penutupan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) dan penghentian penambangan batu bara, masih sangat lambat implementasinya.”

“Padahal, pembukaan lahan untuk BBN maupun penjualan kendaraan listrik dengan tetap mempertahankan PLTU sama sekali tak memecahkan persoalan.”

“Kebijakan ini hanya seperti memindahkan luka dari satu bagian ke bagian lain,” tutur Nadia.

Sementara Puspa Dewi, Kepala Divisi Kampanye WALHI, menilai pidato Presiden Jokowi membanggakan capaian pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) dan program-program unggulan.

Namun pencapaian-pencapaian ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh PSN sejalan dengan agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Tidak ada evaluasi bagaimana PSN memiliki peta jalan spesifik tentang penurunan emisi dan bagaimana PSN menaikkan atau menurunkan kapasitas adaptasi wilayah, bahkan beberapa PSN justru menambah ancaman krisis iklim,” kata Dewi seraya menunjukkan bahwa aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih bersifat terpisah.

Berbagai indikator pembangunan tidak memasukkan indikator penurunan emisi dan kemampuan adaptif.

Aksi mitigasi terutama di sektor energi dan FOLU (forest and other land use) juga belum memiliki skema dan menjamin transisi dan resiliensi berkeadilan.

“Terbukti dengan terjadinya trade off bahkan pengorbanan lingkungan dan warga di berbagai tempat demi mencapai tujuan mitigasi, misalnya dalam hilirisasi nikel untuk mendukung elektrifikasi.”

“Kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga bencana ekologis menjadi bagian inheren dari tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim saat ini,” kata Dewi.