Koalisi Keadilan Iklim Ajukan Mitigasi Perubahan Iklim pada Presiden Jokowi

Koalisi Keadilan Iklim melihat situasi saat ini semakin membuka kesenjangan keadilan iklim di Indonesia. Foto: Instagram @pakindro
Koalisi Keadilan Iklim melihat situasi saat ini semakin membuka kesenjangan keadilan iklim di Indonesia. Foto: Instagram @pakindro

TROPIS.CO, JAKARTA – Koalisi Keadilan Iklim yang diwakili oleh Yayasan PIKUL, Yayasan Madani Berkelanjutan, WALHI, dan KEMITRAAN menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang disampaikan pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (16/8/2023), belum menunjukkan urgensi pemerintah mewujudkan keadilan iklim.

Padahal dalam pidato tersebut, Presiden Jokowi menyebutkan, perubahan iklim menimbulkan ancaman serius terhadap pembangunan dan ekonomi dunia termasuk Indonesia.

“Rancangan APBN 2024 hanya mengangkat capaian pertumbuhan ekonomi dan tahun politik, namun luput mengedepankan komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Dinamisator Koalisi Keadilan Iklim.

Lampiran pidato presiden telah memasukan ketahanan lingkungan dan perubahan iklim sebagai misi pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Namun, kami mencermati bahwa lingkungan hidup dan perubahan iklim masih dilihat secara sektoral.”

“Pertumbuhan ekonomi diperlakukan sebagai semata pertumbuhan.”

“Pemerintah tidak memperhitungkan kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim sebagai faktor pengurang pertumbuhan ekonomi.”

“Padahal, kenyataannya, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim cukup besar, serta berdampak pada progres ketahanan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Torry.

Menurutnya, perubahan iklim hanya muncul beberapa kata dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan di beberapa bab Lampiran Pidato Presiden sebagai salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian.

“Namun ide-ide besar dalam Lampiran Pidato Presiden belum menjawab persoalan mendasar terkait perwujudan keadilan iklim, salah satunya manfaat bagi kelompok paling rentan di masyarakat, seperti petani dan nelayan, masyarakat adat dan komunitas lokal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia, dan kaum miskin perkotaan,” tutur Torry.

“Secara umum, kami mengapresiasi arahan presiden soal transformasi ekonomi hijau.”

“Pemanfaatan nilai ekonomi hayati dan investasi hijau memang harus didorong sepenuh tenaga.”

“Namun, kami melihat bahwa fakta di lapangan, niatan tersebut dijalankan secara sebaliknya.”

“Ekonomi hijau kerap disederhanakan sebagai perdagangan karbon, dengan penguasaan ekonomi masih berada pada kekuatan elite.”

“Sementara, rakyat yang paling berpotensi terkena dampak malah tetap terpinggirkan, ditambah belum adanya kerangka pengaman yang harus diterapkan untuk memastikan mekanisme ini benar-benar akan menurunkan emisi.”

“Akhirnya, ekonomi hijau hanya menjadi sebuah alat untuk menyejahterakan elite, tapi mengabaikan urusan emisi,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.