Tanpa Sawit, SDGs Gagal

Pietro Paganini, peneliti dari John Cabot University, Roma, Italia, berpandangan, boikot terhadap minyak kelapa sawit dapat membahayakan tercapainya tujuan SDGs. Foto : Jos/tropis.co
Pietro Paganini, peneliti dari John Cabot University, Roma, Italia, berpandangan, boikot terhadap minyak kelapa sawit dapat membahayakan tercapainya tujuan SDGs. Foto : Jos/tropis.co

TROPIS.CO, NUSA DUA – Industri kelapa sawit sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs). Boikot terhadap minyak kelapa sawit justru membuat tujuan SDGs gagal karena sejatinya kelapa sawit merupakan salah satu hasil panen dengan tingkat keberlanjutan yang tinggi.

Pandangan itu disampaikan oleh Pietro Paganini, peneliti dari John Cabot University, Roma, Italia, saat menjadi pembicara di hari kedua 14th Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) & 2019 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Jumat (2/11/2018).

Hal itu diungkapkannya terkait dengan kampanye negatif dan reputasi buruk yang sering ditujukan kepada industri kelapa sawit.

Pietro menyatakan, berdasarkan riset yang dia lakukan, penegasan citra negatif kelapa sawit berbanding lurus dengan perang dagang.

Sebagai contoh, ia telah meneliti implikasi dari pelabelan free from palm oil pada produk makanan di Uni Eropa (EU).

Saat ini di Eropa terdapat ketakutan mengenai minyak kelapa sawit yang banyak dicitrakan berbahaya.

Pelabelan

Reputasi negatif tentang kelapa sawit ini terbentuk karena kekuatan dari pelabelan.

Pelabelan tersebut hanya berfungsi sebagai alat pemasaran dan periklanan yang berhubungan dengan perilaku manusia serta tren yang sedang berlaku.

“Bicara mengenai minyak kelapa sawit, maka akan berbicara mengenai perang iklan, promosi dan pangsa pasar,” ujar praktisi di bidang strategi dan komunikasi massa itu.

Misalnya, dengan label “free from” maka konsumen biasanya akan merasa lega dan akan membeli produk tersebut.

Pasar biskuit dan makanan manis lainnya di Italia serta negara EU yang lain saat ini berada di kondisi yang matang, terfragmentasi, dan sangat agresif.

Oleh sebab itu, adanya perang untuk memperebutkan konsumen dan pangsa pasar membutuhkan adanya alat pemasaran baru yang lebih kuat.

Terkait dengan minyak kelapa sawit, saat ini EU tengah berusaha untuk mencantumkan label bebas dari minyak kelapa sawit (free from palm oil) di berbagai produk makanan mereka.

Dia menilai, di industri makanan EU, adanya label “no palm oil” dilakukan semata untuk tujuan komersial, terutama untuk diferensiasi pasar dan gerakan “palmwashing”.

“NGOs memiliki peran yang sangat signifikan dalam kampanye ini,” ungkapnya.

Sebagai bukti, antara tahun 2016 hingga awal 2018 terdapat perang yang sangat besar melawan minyak kelapa sawit.

Banyak berkembang argumen yang mengatakan bahwa minyak kelapa sawit berbahaya karena memiliki kandungan lemak yang tinggi, banyak terkontaminasi, dan sangat karsinogenik.

“Argumen-argumen tersebut sering kali dibuat meskipun secara ilmiah belum terbukti,” cetus Pietro.

Ia menyangsikan produk berlabel “free from palm oil” lebih baik daripada kelapa sawit.

Salah satu contoh, secara keilmuan, dilihat dari tingkat kandungan dan lemak jenuh yang ada di produk, banyak perusahaan yang menyatakan bahwa produk mereka baik bagi kesehatan karena memiliki kandungan lemak jenuh yang rendah.

Sementara, hasil temuan riset yang ia lakukan menegaskan bahwa 90% tidak ada pengurangan kandungan lemak jenuh yang signifikan antara produk yang berlabel “free from palm oil” dengan produk yang mengandung minyak kelapa sawit.

Produk yang berlabel “free from palm oil” ternyata belum tentu memiliki kandungan lemak jenuh yang rendah, sehingga perusahaan-perusahaan ini ternyata tidak sepenuhnya bebas dari lemak jenuh.

Hal ini tentunya menjadi menyesatkan bagi para konsumen. Untuk membuktikan hal ini, riset yang ia lakukan dipresentasikan kepada lembaga pemerintah yakni Kementerian Pembangunan Ekonomi Italia.

“Sebagian besar label “free from” ternyata menyesatkan, namun tidak ada penegakan hukum untuk mengatasi masalah ini,” ujar Pietro.

Perang Iklan

Kampanye tersebut menyebabkan terjadinya penurunan impor minyak kelapa sawit untuk makanan sebesar 18%, penurunan impor dari minyak kelapa sawit Indonesia sebesar 70% untuk produk makanan dan 33% untuk produk non makanan.

Tapi, meskipun reputasinya negatif, di sisi lain terdapat kenaikan penjualan sebesar 12,9% terhadap barang yang berlabel “free from” pada tahun 2017 dan 13,5% pada tahun 2016.

Oleh karena itu, ia menyarankan kepada pemerintah Italia, ketimbang memboikot minyak kelapa sawit, sebaiknya mereka mulai menentang penggunaan label “free from”, karena hal ini hanya akan menjadi bumerang buat mereka.

Adanya penentangan ini juga berhasil menurunkan sentimen negatif terhadap minyak kelapa sawit menjadi 43% dari 49% di Italia.

Secara politik, banyak anggota parlemen yang masih membuat peraturan yang bertujuan untuk melarang penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan baku makanan.

Perusahaan-perusahaan tersebut pada awalnya memang mengaku bahwa perang terhadap minyak kelapa sawit ini dilakukan demi alasan kesehatan, namun kemudian alasan tersebut berganti menjadi demi menyelamatkan lingkungan hidup.

Ternyata, alasan tersebut tidak terbukti karena berdasarkan laporan keberlanjutan perusahaan (sustainability book report) perusahaan yang mengganti minyak kelapa sawit dengan minyak bunga matahari, menyatakan minyak kelapa sawit yang mereka gunakan 100% lebih sustainable dibandingkan minyak bunga matahari yang hanya memiliki tingkat keberlanjutan sebesar 28%.

Terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs), boikot terhadap minyak kelapa sawit, menurut Pietro juga dapat membahayakan tercapainya tujuan SDGs.

Adanya minyak kelapa sawit yang sustainable dapat berdampak kepada tercapainya tujuan SDGs. “No palm oil, no SDGs,” katanya sambil menegaskan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu hasil panen dengan tingkat keberlanjutan yang tinggi.

Bagi Pietro, pada akhirnya ini semua hal tentang penghalang kemajuan industri kelapa sawit hanya masalah perang iklan.

“Dalam perang iklan kita harus bisa melihat siapa musuh kita. Yang jelas, musuhnya bukanlah konsumen, karena mereka sebenarnya menjadi korban,” ujarnya.

Industri kelapa sawit perlu mendidik para NGOs, memberitahukan mereka bahwa mereka salah, karena bagi mereka hal ini hanya bisnis semata.

“Keseimbangan yang baik antara alam dengan manusia juga perlu didukung, dan saat ini Indonesia tengah mengarah ke arah yang lebih baik,” pungkas Pietro. (*)