TROPIS.CO, JAKARTA – Penghentian ekspor minyak sawit kasar atau CPO ke kawasan Uni Eropa, sungguh sangat dimungkinkan andaikata pasokan untuk memenuhi pasar domestik meningkat drastis, seiring sukses program pengembangan biodesel, B40 di dalam negeri.
Namun kebijakan ini dinilai Gabungan Perusahaan Kelapqa Sawit, Gapki, kurang taktis, mengingat kondisi pasar minyak sawit nasional hingga satu dekade mendatang, masih sangat bergantung pada pasar ekspor.
“Bisakah kita stop ekspor sawit ke Eropa? “Bisa saja, tapi itu sebuah strategi perdagangan yang tidak taktis, negara-negara di Eropa masih akan tetap butuh minyak sawit sebagai bahan baku pangan dan oleokemikal,”kata Topan Mahdi. “ Dan Uni Eropa merupakan pasar ekspor minyak sawit Indonesia terbesar ke tiga setelah RRT dan India”, tandas Ketua Bidang Komunikasi Gapki itu.
Dengan posisi negara ketiga terbesar penyerap CPO Indonesia, tentu perlu proses panjang untuk menghentikan pasokan ke negeri penghasil minyak kedelai dan minyak matahari terbesar dunia itu. Terlebih hanya sebatas keterbatasan stock CPO sebagai dampak mentoknya produksi, lantaran keterbatasan areal pengembangan dampak dari kebijakan penghentian pemberian ijin baru untuk perkebunan sawit.
Topan mengakui, kemungkinan adanya rekomposisi kebutuhan domestik terhadap ekspor bergeser. Pasokan domestik bertambah dan ekspor berkurang, ini bisa saja terjadi. Bila saat ini, komposisinya, 30%, dan 70%. Karena kebutuhan dalam negeri meningkat, berubah menjadi 40 : 60.
Kendati ada perubahahan komposisi pasokan, tapi lanjut Topan Mahdi, tidak harus dibarengin dengan penghentian atau menghapus pasar ekspor. Terlebih itu, Uni Eropa sudah dapat dikatakan sebagai pasar tradisionil minyak sawit Indonesia.
“Penyerapan di pasar domestik akan bergantung kepada kelanjutan program mandatori biodiesel yang sekarang mencapai bauran B30. Bisa jadi, saat program mandatori biodiesel mencapai bauran B40, komposisi pasar domestik terhadap ekspor bergeser menjadi 40 : 60,”jelas mantan wartawan yang juga Vice President Of Commucations Astra Agro Lestari.
Topan sependapat dengan Sahad Sinaga, praktisi sawit yang juga Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia – GIMNI, bahwa dalam kurun waktu yang tak berapa lama, produksi sawit Indonesia, bakal stagnan pada tingkatan volume tertentu. Sahad Sinaga menyebutnya 50 juta ton pada 2023.
Namun kondisi ini terjadi, bila pendekatan peningkatan produksi itu hanya berbasiskan keluasan lahan. Tapi kinikan, teknologi budidaya pengembangan industri kelapa sawit, sudah kian berkembang dan maju. Sehingga upaya peningkatan produktivitas bisa melalui pemanfaatan teknologi dengan pendekatan intentifikasi lahan.
“Artinya kini peningkatan produktivitas itu, lebih diorientasikan kepada intentifikasi dengan mengoptimalkan teknologi, dan tidak lagi pada ektentisifikasi atau perluasan lahan, ”ujarnya.
Firman Soebagio, anggota Komisi IV DPR-RI yang salah satunya membidangi pertanian, menilai kurang bijak Indonesia menghentikan ekspor pada suatu negara, hanya dengan alasan keterbatasan produksi disebabkan tidak bisa melakukan ekspansi, karena ketiadaan areal pengembangan.
“ Di DPR kita sudah sejak lama menyuarakan agar industri sawit berbenah diri, dan tidak lagi berorientasi pada perluasan lahan dalam meningkatkan produksi minyak sawit nasional,”kata Firman Soebagio. “Pendekatan intentisifikasi sudah saatnya dilakukan sembari memanfaatkan teknologi yang berkembang,”tambahnya.
Menurut anggota DPR RI dari Partai Golong Karya daerah pemilihan Jawa Tengah yang juga Wakil Ketua Badan Legeslatif DPR-RI, tingkat produktivitas perkebunan sawit Indonesia masih relatif rendah ketimbang negara tetangga, Malaysia.
Walau ada yang menyebut, produktivitas sawit Indonesia, sudah mencapai 5 ton/hektar, tapi umumnya, sawit Indonesia, baru dalam kisaran 4 ton/hektar. Dan inipun masih terbatas pada perusahaan perkebunan besar yang dikelola dengan manajemen yang baik. ” Produktivitas ini masih relatif rendah ketimbang Malaysia yang minyak sawitnya, sudah mencapai 7 – 8 ton/hektar.”