Harga Sawit Melonjak Tinggi B30 Terancam

Alokasi FAME Diblending

Namun Dadan Kusdiana dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam rapat virtual, 22 Oktober kemarin, seperti dikutif Reuter, menyatakan bahwa dari 9,2 juta alokasi FAME tahun 2021, 6,64 kilo liter diantaranya sudah diblending menjadi biodesel.

Melonjak tingginya harga  CPO di pasar  global, sungguh  tak menguntungkan bagi  BPDPKS.

Pasalnya, BPDPKS harus memberikan subsidi lebih besar. Sebut saja, dalam periode Januari hingga September, besaran subsidi biodesel yang harus dikucurkan rata-rata di atas Rp6000 per kiloliter.

Terendah Januari Rp4.744,61 per kiloliter dan tertinggi Agustus kemarin, Rp7.052, 66 per kiloliter.

Walau September turun menjadi Rp 6.708,4 per kiloliter, tapi dapat dipastikan untuk periode Oktober – Nopember – Desember nilai subsidi itu bakal membengkak.

Ini seiring naiknya harga CPO yang diperkirakan akan bertahan tinggi hingga memasuki akhir kuartal pertama tahun depan.

Namun ironisnya, di saat harga CPO tinggi, pemerintah menempuh kebijakan sebaliknya terhadap bea keluar.

Bea keluar CPO yang sebelumnya US$438 per ton per Juli kemarin diturunkan hingga tinggal US$291 per ton hingga berkurang US$147 per ton.

Kondisi ini membuat beban BPDPKS terasa sangat berat karena harus  memberikan subsidi lebih tinggi sehingga akan menguras dana cadangan yang juga sangat terbatas.

Kendati demikian, seorang pakar sawit, Sahad Sinaga, menilai melonjaknya harga CPO di pasar global tidak bakal berpengaruh banyak terhadap pasokan FAME di dalam negeri.

Dengan pola regulasi yang ada sekarang, yakni  PMK  Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Dana Pungutan dan PMK Nomor 166/PMK.010/2020 tentang Bea dan Tarif Barang Ekspor Sawit yang dikenakan tinggi pada produk hulu dan levy yang rendah bagi produk hilir maka harga sawit untuk domestik market jauh lebih menarik dari pada  ekspor.

Karenanya, Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) itu yakin pasokan untuk FAME atau biodesel akan aman.

Terlebih lagi, kondisi harga juga ditunjang oleh kenaikan harga minyak fosil, berupa brent oil yang meningkat tajam, mencapai 100 persen ketimbang harga Oktober tahun lalu.

Kondisi ini, menurut Sahad Sinaga, telah menjadikan selisih harga FAME dan solar impor menjadi lebih kecil dan situasi ini memberikan kenyamanan bagi FAME di pasar domestik.  (*)