Hilirisasi Nikel Beri Nilai Tambah dan Tingkatkan Daya Tahan Ekonomi Indonesia

Neraca Sumber Daya Nikel

Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton).

Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.

“Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono pada kesempatan yang sama.

Dia mengungkapkan, kegiatan eksplorasi nikel harus terus berjalan agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam produksi nikel.

Melalui proses hilirisasi maka bisa menambah nilai tambah bagi negara.

“Kami di Badan Geologi juga giat ekplorasi (nikel) ini untuk rekomendasi wilayah baru laporkan ke Ditjen Minerba sebagai Wilayah Usaha Pertambangan.

Potensi logam ikutan pada endapan nikel laterit perlu evaluasi dan identifikasi untuk bisa memanfaatkan nikel dengan lebih baik,” tutur Eko.

Berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, Budi menjelaskan eksplorasi cebakan nikel lebih mudah diarahkan pada endapan mineral logam tipe laterit dibandingkan tipe primer karena potensinya lebih ekonomis.

“Sejauh ini cadangan di laterit itu jauh lebih besar daripada yang primer,” kata Eko.

Indonesia sendiri telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019.

Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni). (*)