Strategi Pengendalian Bencana Api dan Asap Perlu Disempurnakan

Transtoto Handadhari, Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI) dan Gerakan Masyarakat Peduli Hutan Indonesia (GMPHI), sarankan perubahan strategi pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla. Foto: Istimewa
Transtoto Handadhari, Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI) dan Gerakan Masyarakat Peduli Hutan Indonesia (GMPHI), sarankan perubahan strategi pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla. Foto: Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Bencana api dan asap kebakaran hutan dan lahan sudah sangat lama menjadi fenomena yang sangat sulit dikendalikan.

Di era Jokowi (2015) sebenarnya kesungguhan mengendalikan bencana tersebut nampak sudah dilakukan.

Upaya keras Menteri Lingkungan Hidup dan KehutananK Siti Nurbaya yang juga menggerakkan para korporasi besar seperti Grup Sinarmas, Grup Raja Garuda Mas, sungguh harus diapresiasi.

Namun berbagai kesulitan masih terus menerus dihadapi, khususnya saat nenjelang musim kemarau tiba ini, meski di beberapa daerah seperti Riau, Sumatera Selatan, dan bahkan Kalimantan Tengah saat ini masih ada hujan dan dianggap aman dari kebakaran.

“Faktor utama penyebab bencana tersebut adalah adanya pembuatan api, terutama di lahan gambut, karena tuntutan penyiapan pangan masyarakat.

“Belakanga, pertimbangkan wabah Covid-19 yang ikut mempersulit pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla),” tutur Transtoto Handadhari, Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI) dan Gerakan Masyarakat Peduli Hutan Indonesia (GMPHI), di Jakarta, Kamis (2/4/2020).

Menurutnya, faktor turunan penyebab lainnya sangat komplek. Mulai dari kebiasaan masyarakat membakar karena tidak adanya alat bantu yang murah untuk membuka ladang kecuali dengan api, faktor angin akibat oksigen yang terbakar, aksesibilitas petugas yang sulit menjangkau lokasi, proses buka lahan hutan ilegal terutama jual beli lahan sawit rakyat, sampai ke hal-hal terkait budaya masyarakat seperti budaya sonor dan nglebung untuk mencari ikan, dan lainnya.

Faktor lainnya terkait legalitas seperti perijinan bagi masyarakat untuk membakar lahan seluas 2 hektare yang tertera dalam UU 32/2009 dengan payung kearifan lokal, penerbitan ijin pinjam pakai, alih fungsi dan alih status lahan hutan yang belum clear and clean.

Apakah korporasi iikut melakukan pembakaran lahan konsesinya?

Umumnya tidak, aturan dan pengawasan yang ketat, serta kerugian yang akan dialami jauh lebih besar dan biasa terjadi adalah kehadiran api rembetan yang sangat sulit dicegah meski segala daya telah dilakukan.

Namun banyak praktik di lapangan terjadinya jual beli kebun baru yang prosesnya diawali dengan pembakaran lahan oleh masyarakat sendiri.

Di situlah simpul penyebab kebakaran yang juga harus dicegah.

“Kerumitan pengendalian karhutla ini memang harus bisa diakhiri dan strategi perlu diperbaiki dan disempurnakan disesuaikan kondisi daerah setempat, sosial budaya, bahkan perubahan situasi kepolitikan yang tengah terjadi.”

“Apalagi masuknya wabah virus corona atau Covid-19 sangat berpotensi mempersulit pengendalian karhutla 2020 ini,” tutur Transtoto.

Hujan deras dengan durasi lama adalah harapan utama yang tidak dapat digantikan dengan alat apapun.

Membuat kebijakan zero burning juga akan sia-sia tanpa ada dukungan khusus pemerintah.

“Maka tehnologi hulu membuat api tanpa asap yang terkendali bisa diciptakan dan diuji, salah satunya tehnologi sederhana membuat lahan bakar komunal di daerah peladangan masyarakat,” pungkas Transtoto. (*)