Dibutuhkan Terobosan Dalam Percepatan Multi Usaha Kehutanan

Prof Dodik memaparkan tentang kebijakan multi usaha kehutanan dalam optimalisasi pemanfaatan kawasan hutan, hingga mampu memberikan nilai ekonomi tinggi.

Multi usaha  kehutanan -MUK, program  optimalisasi pemanfaatan  potensi kehutanan,  dirasakan  kurang berjalan lancar.  Proses perijinan terlambau rijit dan cenderung menghambat, terutama dalam mendapatkan dokumen lingkungan. Perlu ada terobosan yang bisa mempercepat pengembangan MUK.

TROPIS.CO – BOGOR,  Dalam Focus Group Discusion – FGD di Bogor,  Senin, 21 Nopember.  Pakar  kehutanan, Prof (Ris) Dr. Ir Subarudi M. Wood Sc, merespon paparan sejumlah panelis, terkait perkembangan dan permasalahan, dalam mengoptimalisasi pemanfaatan  potensi sumberdaya hutan, melalui   program  Multi Usaha Kehutanan atau MUK.

Peneliti dari Badan  Riset dan Inovasi  Nasional atau BRIN ini,  seakan  tak membantah, bahwa perkembangan  program MUK sangat lamban. “Sosialisasi kebijakan pelaksanaan  MUK sudah  cukup lama, yakni sejak 2020, tetapi hingga kini, 2023, pelaksanaannya  masih terseok seok dengan hambatan dan kendalanya sendiri,”jelas Prof Subarudi, dalam  FGD yang diprakarsai  Pasca Sarjana University IPB Bogor.

Prof  (Ris) Subarudi, perlu ada terobosan dalam percepatan mendapatkan dokumen lingkungan agar misi dari program multi usaha kehutanan berkontribusi nyata dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi masyarakat  pedesaan.

Sudah berulangkali, lanjutnya, dilakukan  sosialisasi terhadap kebijakan MUK, tetapi banyak pengusaha atau pemegang Persetujuan Berusaha Pemanfaatan  Hutan – PBPH, mengeluh lamanya proses pembaharuan  ijin. “Hal ini penting dikaitkan dengan  artikel yang pernah ditulis  Prof.  Sudarsono, bahwa  rezim kehutanan sebagai penghambat pembangunan.”

Padahal, dalam upaya optimalisasi  pengembangan  MUK, sudah berulangkali diselenggarakan webinar terkait dengan konsep dan implmentasi MUK.  Terakhir, Kamis, 9 Nopember kemarin, webinar  FREE  terkait  pelaksanaan  MUK dalam meningkatkan penerimaan  Negara dari sector kehutanan. Dan,  hari  ini,  Senin, 20 Nopember, dilangsungkan  FGD bertemakan “Sinergitas  Kebijakan  Pengelolaan  Hutan Lestari dan MUK”.

Nah FGD ini sengaja diselenggarakan,  dalam upaya percepatan pelaksanaan  MUK dan sekaligus menyusun langkah langkah konkrit penyelesaian  terhadap  hambatan dan kendala dalam pelaksanaannya. Dan salah satu yang disarankan,  Prof  Subarudi, terhadap perusahaan  PBHP yang sifatnya hanya beralihan  perijinan dari  sebelumnya, Ijin  Usaha Pemanfaatan Hasil  Hutan Kayu – IUPHHK atau  Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu – IUPHHBK,  sejatinya  Kementerian  LHK melakukan suatu terobosan. Terlebih lagi, jenis multi usaha  yang akan dikembangkan  tidak mengubah bentang alam.

“ Memahami misi yang diembankan MUK, sejatinya  perlu ada terobosan dalam  proses percepatan dokumen lingkungan,  tidak harus rijit, terlebih terkait dengan  dokumen lingkungan,”tandasnya. Mungkin, agak beda  dengan pemohon PBPH yang baru memulai. “Karena baru memulai, masih diperlukan adanya dokumen lingkungan.

Sebagai  solusi  dari pada harus menunggu lama,  Prof  Subarudi, menyarakankan  agar perusahaan yang selama ini sudah  memegang  IUPHHK atau  IUPHHBK, untuk terus melakukan kegiatan sembari menginventarisasi berbagai potensi yang ada di dalam konsesinya. “ Sebaiknya,  perusahaan  PBPH memahami akan potensi konsesinya, kemudian menginventarisasi jenis potensi  hutan yang dapat dikembangkan, tanpa harus  memiliki dokumen lingkungan atau  AMDAL,”katanya.

Prof  Subarudi menyebut, salah satunya ekowisata yang dalam  pemanfaatannya, tidak akan mengubah bentang alam.  Atau  kegiatan usaha lain yang tidak ada perubahan landscape.

Sebelumnya,  FGD yang diikuti sejumlah  pakar kehutanan,  kalangan  praktisi, dunia usaha  yang diwakili  Sekjen  APHI dan  Perhutani, sejumlah  mitra  asing, dan para pengambil keputusan dari sejumlah kementerian, termasuk dari Menko  Maritim dan Investasi dan Menko Ekonomi, diawali  paparan pengantar  oleh  Dekan  Pasca Sarjana IPB, Prof Dodik  Ridho Nurochmat, setelah dibuka  oleh  Wakil Rektor, Iskandar Z  Siregar.

Dalam paparannya, Prof. Dodik  Ridho  Nurochmat, menjelaskan bahwa  MUK merupakan cara pandang , pintu masuk, kebijakan pemungkin pengelolaan  hutan yang  inklusif dan  berkelanjutan –  yang dalam implementasinya, menganut prinsip keadilan, kemakmuran dan prinsip keberlanjutan.

Dan,  MUK disebutkan, Prof Dodik, akan memberikan  akses yang lebih adil kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Selain dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan, dan menjadikannya sebagai nilai ekonomi hutan yang dapat diperdagangkan. Juga tentu, dapat meningkatkan kesejahteraan sekaligus mengurangi deforestasi.

Persoalan deforestasi yang disebutkan  oleh  Prof  Dodik Ridho Nurochmat, suatu permasalahan yang harus dapat dikendalikan dalam  upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, agar tak  terjadinya peningkatan perubahan iklim, hingga menambah panasnya  suhu bumi.  Luasan kawasan  hutan harus dipertahankan, paling tidak pada angka luasan  60 juta hektar. Pada saat ini,  Indonesia memiliki 35 juta hektar kawasan  hutan tak berhutan, dan  ada sekitar 93 juta hektar kawasan hutan  yang berhutan.

Diakuinya,  bahwa   dalam   rasionalitas multiusaha kehutanan,  terutama optimalisasi  pemanfaatan  lahan  untuk kemakmuran  dan lingkungan,  Indonesia  masih relative tertinggal dengan  Efhiopia.  Ethiopia disebut Prof Dodik ternyata lebih optimal, sembari memperlihat slide kehidupan masyarakatnya yang sedang memanfaatkan  potensi lahan yang kering krontang, kemudian menyulapnya menjadi areal tanaman sayur.

Sementara di Indonesia, digambarkan  Prof  Dodik, suatu kegiatan eksploitasi kawasan  hutan potensial yang belum jelas pemanfaatannya – yang digambarkannya dalam bentuk tanda tanya.  “ Mungkin, kita malu dengan Ethiopia yang tingkat produktivitas lahannya sangat  tinggi,”katanya.

Antusiasme  dunia usaha.

FGD yang diselenggarakan IPB Bogor dakam rangkaian menggali pendapat dan masukan dari semua stakeholder. Mengoptimalisasi pemanfaatan kawasan hutan denga mengembangkan komoditas bernilai tinggi, namun daklam implementasikannya harus diawali dengan konsultasi potensi pasar.

Sekjen Asosiasi Perusahaan Hutan Indonesia –  APHI, Purwadi Soeprihanto, dan  Wakil Ketua Umum KADIN Bidang  Lingkungan  Hidup dan Kehutanan Silverius Oscar  Unggul, memaparkan peran yang sudah dimainkan dunia usaha  dalam merespon kebijakan pemanfaatan  potensi sumberdaya hutan dalam  satu persetujuan berusaha  pemanfaatan hutan – PBHP melalui  pendekatan  Multi Usaha Kehutanan, sebagai amanah dari  Undang Undang  Cipta Kerja- UUCK.

“ Kami melihat kebijakan  multi usaha kehutanan ini sebagai peluang yang diawali dengan pendekatan pasar,”kata  Silverius Oscar.  Dan kini, sejumlah pengusaha anggota Kadin, sudah ada yang memulai  dengan melakukan  pilot project pada komoditas tertentu. namun,  kemudian terbentur dengan pasa. “ Jadi sebelum menentukan jenis usaha apa atau potensi hutan yang bagaimana yang mau dikembangkan, hendaknya diawali dengan  tanya dulu pada caon buyernya,”tambahnya

Purwadi  Soeprihanto pun berucap sama dengan  Wakil Ketua Umum Kadin, bahwa  persoalan pasar adalah yang utama.  Hanya memang, diakui  Purwadi, kendati dunia usaha sangat antusias dan merespon atas kebijakan multi usaha kehutanan, tapi ada kesan kuat, bahwa  antusiasme pemegang ijin ini, nafsu besar strategi kurang. “ Ujicoba  dalam budidaya berhasil, tapi tidak  dalam mendapatkan pasar, sejatinya sejak awal sudah berkonsultasi dengan pasar,”katanya.

Terkait hambatan , baik  Silverus Oscar maupun Purwadi mengakui, bahwa  pihaknya sempat mendengar pembicaraan terkait kelengkapan persyaratan dalam  mendapatkan  Persetujuan Berusaha  Pemanfaatan Hutan.  Ada sejumlah perusahaan  yang sudah menyampaikan  permohonan namum  yang sudah mendapatkan persetujuan dokumen lingkugan, baru sekitar  50 persen, atau kurang lebih  70 perusahaan.