Mantan KSAL Laksamana TNI Purn Sumarjono Pimpinan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia

TROPIS.CO, JAKARTA – Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) era Presiden Soesilo Bambang Yudoyuno, Laksamana TNI (Purn) Sumarjono terpilih menjadi Ketua Himpunan Nelayan  Seluruh Indonesia (HNSI), priode 2023 – 2028, dalam Munas HNSI VIII yang berlangsung, Senin (30/10/2023) hingga Rabu (1/11/2023) di Sentul, Bogor.

Sumarjono dipilih secara aklamasi oleh 34 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) HNSI dan mendapat dukungan dari tak kurang 300-an Dewan Pimpinan Cabang (DPC) HNSI.

Sebelumnya, selain Sumarjono, sejumlah DPD dan DPC juga mengusung  Anton Leonard,  Sekjen HNSI priode  2018 – 2023, untuk menggantikan Yusuf Solihin, Ketua Umum priode 2018 – 2023, yang  sejatinya masa jabatannya berakhir Mei 2023, namun diperpanjang selama enam bulan, hingga Oktober kemarin. Namun saat proses pemilihan berlangsung,  Anton Leonard, mengundurkan diri, dengan alasan memberikan  dukungan penuh kepada Sumarjono.

Masyarakat nelayan yang terhimpun dalam HNSI penuh harapan dengan kepemimpinan  pejabat Inspektorat Jenderal Departemen Pertahanan priode  2005-2007 ini.  Terutama dalam hal menegosiasikan kembali kepada pemerintah dan DPR RI, terkait  berbagai kebijakan yang memberatkan  masyarakat nelayan.

Salah satunya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Sebelumnya, pemerintah pada awal Maret  tahun ini telah mengundangkan suatu kebijakan  terkait penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), di perairan laut dan laut lepas yang dituangkan di dalam PP Nomor 11 Tahun 2023, 6 Maret 2023.

Dalam kebijakan  itu, ditetapkan zona penangkapan ikan terukur, dan juga diatur  mengenai kuota penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur.

Adapun system perhitungan kuotanya, berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.

Kebijakan ini dinilai akan sangat merugikan nelayan, mengingat serba ketidak-pastiannya hasil tangkapan setiap tahunnya.

Andai hasil tangkapan tahun sebelumnya rendah karena bebagai factor alam, karena  kebijakan PP Nomor 11 Tahun 2023, maka  penetapan kuotanya, merujuk pada hasil tangkapan yang rendah  tersebut.  Dan ini  jelas sangat merugikan, hingga menutup peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan  yang lebih memadai tahun berikutnya.

Hal lain, terkait  penggunaan  anak buah kapal  atau  ABK dari wilayah  pengelolaan perikanan atau  WPP yang harus berdomisili  di wilayah administrative, sesuai dengan zona  penangkapan  ikan terukur berdasarkan  kartu  tanda penduduk.  Padahal, biar diketahui, sebagai contoh, sejumlah kapal dari Karangsong, Kabupaten Indramayu, selama ini mencari ikan di perairan Papua (WPP 718). Jika ketentuan mengenai ABK itu diterapkan, maka nahkoda kapal dari Karangsong akan kesulitan mencari ABK dari Papua.

Andaipun ada, tentu tidak mudah mempekerjakan  ABK yang belum dikenal baik tingkat keterampilannya, dan jiwa kebersamaannya.  Sementara bekerja diatas kapal penangkapan ikan itu, dibutuhkan kekompakan, sehingga satu dengan lainnnya, harus saling kenal dan bersenergi, hingga terjalin harmonisasi, agar mendapatkan hasil tangkapan optimal.

Selain terbatasnya  area WPP dan aturan bongkar ikan di WPP setempat,  terkait terbatasnya area WPP, ini akan menjadi kendala bagi nelayan, dikarenakan factor cuaca.  Seperti halnya di Laut Jawa yang seringkali terkendala cuaca buruk dan gelombang tinggi. Sehingga memaksa  nelayan, harus menyeberang ke WPP lain, seperti  ke perairan Natuna atau  perairan lain, agar bisa memperoleh ikan.

Dalam pasal 15 ayat (1) PP No 11/2023 memang disebutkan,  kapal penangkap ikan diberikan daerah penangkapan ikan pada satu Zona Penangkapan Ikan Terukur diatas 12  mil laut, bagi kapal penangkap ikan yang perizinan berusahanya diterbitkan oleh menteri. Dengan kebijakan ini artinya, setiap kapal  yang ijinnya diterbitkan oleh menteri, hanya boleh menangkap ikan di satu WPP.

Tidak kurang dari 34 pimpinan DPD dan 300-an pengurus inti DPC HNSI, memberi dukungan terhadap Laksamana TNI Purn Sumarjono, untuk memimpin HNSI priode 2023- 2028. Sumarjonio berkomitmen penuh untuk bekerjasama dengan DPDdan DPC HNSI mempercepat kesejahteraan nelayan , sekaligus mengatasi berbagai persoalan yang menghambat percepatan peningkatan pendapatanan nelayan.

Sungguh ini sangat merugikan, pada saat terkendala cuaca buruk, nelayan  tidak bisa melaut. Padahal melaut,  menangkap ikan, adalah mata pencaharian yang menjadi sumber kehidupan utama keluarganya. Sementara sebagian besar dari mereka, tidak memiliki kemampuan  untuk bekerja di darat.  Pun ada kemampuan, tapi untuk mendapat pekerjaan di darat  tentu tidaklah mudah.

Begitupun terkait  aturan bongkar ikan di WPP setempat, hal itu tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa kapal penangkap ikan yang melakukan penangkapan ikan pada Zona Penangkapan Ikan Terukur, wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Pangkalan yang ditentukan dalam Zona Penangkapan Ikan Terukur. Padahal, berbagai inprastruktur di wilayah itu,  terutama pelabuhan  belum tentu memadai.

Banyak kebijakan lain yang akan menjadi Pekerjaan  Rumah ( PR), bagi Ketua Umum HSNI  terpilih.  Dan sebagian besar kebijakan  pemerintah, cenderung tidak memihak kepada nelayan.  Termasuk diantaranya, terkait dengan  perijinan  kapal tangkap yang persoalannya, perlu diinventarisasi satu persatu yang kemudian, disepakati langkah langkah pendekatannya dengan pemerintah dan  DPR-RI.  Keberadaan DPP HNSI di bawah kepemimpinan Laksamana Purn  Sumarjono diharapkan memberikan  kontribusi nyata  kepada nelayan.

“ Karenanya,  kita berharap, dalam 100 hari pertama, Ketum HNSI terpilih, Pak  Sumarjono, perlu turun ke daerah daerah untuk mengali aspirasi kaum nelayan,  termasuk ke Papua yang kehidupan nelayannya perlu mendapat perhatian prioritas dan serius,”kata Alex, salah seorang  pengurus DPC HNSI di Papua Barat Daya di sela sela Munas  HNSI VIII di Sentul, Bogor.