Perlu Kolaborasi agar Produk Perkebunan di Papua dan Papua Barat Punya Nilai Tambah

Komoditas coklat Papua bisa dikembangkan lebih jauh lewat kolaborasi antarpihak terkait. Foto: Yayasan Inisiatif Dagang Hijau
Komoditas coklat Papua bisa dikembangkan lebih jauh lewat kolaborasi antarpihak terkait. Foto: Yayasan Inisiatif Dagang Hijau

TROPIS.CO, JAKARTA – Guna melaksanakan skema investasi hijau maka Pemerintah Papua dan Papua Barat membutuhkan kerja sama dengan para mitra.

Dr. Ir. Yacob Fonataba M.Si, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, Provinsi Papua Barat, menyatakan bahwa komoditas perkebunan unggulan Papua Barat adalah kakao, kelapa, pala, kopi dan sagu.

Kolaborasi dengan berbagai pihak diperlukan agar produk perkebunan bisa dikaitkan dengan nilai tambah tujuan wisata, atau perikanan yang bisa dikaitkan untuk ketersediaan pangan.

“Melalui kolaborasi ini, maka sektor ekonomi masyarakat dapat dibangun bersama mitra, tanpa merusak lingkungan,” ungkap Yacob dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/1/2020).

Baca juga: Tingkatkan Daya Saing Papua dan Papua Barat Lewat Kemitraan Hijau

Sementara itu, Provinsi Papua telah membagi pengelolaan komoditas ke dalam lima wilayah adat yaitu Mamta, Sareri, Anim Ha, La Pago, dan Mee Pago dengan komoditas unggulan yang tergantung pada kondisi alam masing-masing daerah; baik daerah pesisir, daratan, maupun pegunungan.

Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH), sebagai salah satu mitra Pemerintah Papua dan Papua Barat menawarkan konsep Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI) untuk membantu mengelola empat kelompok komoditas di atas secara berkelanjutan.

“PPI berarti meningkatkan produksi sumber daya alam sambil melindungi kawasan hutan di sekitar lokasi usaha, dan menjadikan masyarakat sebagai aktor yang masuk dalam rantai nilai komoditas berkelanjutan.”

“Model bisnis ini akan berjalan baik apabila melibatkan semua pihak, baik pemerintah daerah, swasta sebagai penyandang dana, lembaga swadaya masyarakat, serta petani.”

“Mereka berada dalam satu lembaga yang bersifat setara dan diikat dalam sebuah perjanjian, yaitu PPI Compact,” urai Zakki Hakim, Direktur Program YIDH.

Zakki menjelaskan bahwa para pemangku kepentingan dari kedua provinsi telah kerap bertemu untuk berbagi pandangan dan bersama-sama menetapkan peran para pihak.

“Kami juga bergerak maju untuk menyiasati sejumlah tantangan di provinsi ini.”

“Misalnya, pembangunan infrastruktur untuk memudahkan akses, peningkatan kompetensi petani, terciptanya transparansi sepanjang rantai pasok, penyediaan pembiayaan dan kelancaran anggaran dalam bisnis, perbaikan peraturan dan penegakan hukum terhadap akusisi lahan, serta terjaminnya keamanan dan kenyamanan dalam berbisnis,” papar Zakki.

Baca juga: Sawit Bahan Baku Energi Masa Depan

YIDH selanjutnya membantu pemerintah provinsi dalam mencari pemodal dan turut menyertakan 30 persen modal dari total nilai investasi.

“Investasi dari YIDH adalah untuk memastikan bisnis tetap berjalan.”

“Setelah tiga atau empat tahun, kami harap bisnis bisa berjalan secara mandiri,” pungkas Zakki. (*)